Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Bukan Orang Kesehatan Bicara soal Kesehatan

KOMPAS.com - Sejak pandemi melanda, masalah kesehatan mendadak mencuat menjadi ‘trending topic’ di seantero negri.

Seakan-akan semua orang berusaha ingin tahu apa yang terjadi dari sumber yang bisa dipercaya hingga sumber yang asal bicara.

Di saat yang sama, penyakit satu ini menular begitu hebatnya sampai menciptakan kengerian padahal ‘case fatality rate’ alias angka kematian dibanding penderita terkonfirmasi berkisar antara 3-5%, masih jauh di bawah penyakit menular lainnya yang berkeliaran bersama – sebutlah TBC, misalnya yang mencapai 16%.

Barangkali karena statusnya pandemi, gejalanya akut bahkan proses penderitanya meninggal begitu mengerikan, maka Covid-19 berhasil menarik perhatian ketimbang (sekali lagi) TBC yang sudah kehilangan pamor.

TBC dikenal sebagai penyakit kronik. Hari ini terinfeksi, gejala mungkin baru muncul beberapa minggu ke depan – itu pun tidak spesifik. Bisa jadi tanpa gejala juga.

Penderita cenderung abai, masa bodoh, hingga saat harus foto thorax karena mau melamar kerja atau aplikasi visa mahasiswa di negri orang baru ketahuan: Paru-parunya ada ‘bercak’. Flek, kata orang – yang mau menghindar dari sebutan TBC.

Begitulah. Orang Indonesia lebih takut dengan sesuatu yang menghantam kuat akut hingga langsung ambruk, ketimbang masalah ‘kecil’ yang menggerogoti diam-diam, kronik istilahnya, tapi berujung kematian dan nestapa – yang sudah terlalu sulit untuk diurai benang kusutnya apabila yang kronik ini sudah jadi ‘borok kehidupan menahun’.

Makanya Covid-19 jauh lebih menakutkan ketimbang TBC, anak kurus lebih memalukan buat ibu bapaknya ketimbang stunting, muntah diare lebih mengerikan ketimbang makan minum asyik menyisakan hipertensi, diabetes, stroke dan sindroma metabolik.

Yang menarik, apabila panggung utama penyakit seperti pandemi ini mulai membuka peluang panggung-panggung pendukung.

Jadi, selain dokter yang bicara, selalu akan ada banyak orang yang juga merasa terpanggil untuk 'memeriahkan panggungnya' sendiri-sendiri.

Amat menarik bagaimana saat para penguasa panggung kecil-kecil ini mulai mengecek sound system. Alias berusaha merapat ke panggung utama, agar kelihatan dukungan suaranya dan letak sinerginya. Mulailah yang bukan orang kesehatan bicara soal kesehatan.

Barangkali perlu diingat, kami-kami ini sebagai calon dokter dulu digembleng dengan amat sangat keras, istilahnya sampai babak belur.

Mengocok otak, menempa tenaga, menjaga kestabilan jiwa – sebab selama proses pendidikan yang dihadapi bukan hanya pasien, tapi juga dokter-dokter super senior yang membuat isu medis menjadi isu emosional bagi para ko ass.

Mungkin terbiasa dengan situasi model begini, maka para dokter justru malas berkomentar di tengah riuhnya pandemi.

Akibatnya, yang makin terdengar seru justru mereka yang berada di panggung sebelah.

Seakan merekalah yang paling tahu tentang patofisiologi alias perjalanan suatu penyakit, dampak tindakan preventif promotif yang justru tak tepat sasaran, hingga memberikan harapan palsu tentang keajaiban eliksir anyar hingga akhirnya peta penanggulangan penyebaran infeksi makin ambyar.

Mereka yang bukan orang kesehatan akan dengan enaknya bertanya: jadi obatnya apa? jika ada masalah kesehatan muncul.


Apalagi panggung birokrat dan teknokrat. Mana mau mereka berpikir lelah-lelah soal etiologi, epidemiologi, patofisiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, hingga prognosis. Istilah ‘terapi’ hanya satu bagian sempit diantara diagnosis dan prognosis.

Tapi kilaunya bak berlian di antara batu akik. Menyiratkan keajaiban di tengah kesengsaraan.

Padahal, etiologi Covid-19 berbeda dengan selesma yang cukup istirahat seharian dan gosok minyak kayu putih sambil kerokan.

Pun jika sudah paham sedikit soal virus, tidak bisa mengandaikan semua virus punya karakter yang sama.

Apalagi, jika karakter manusia yang ketempelan virusnya pun beda. Mulai dari susah diatur hingga merasa diri superhero.

Tanpa dirasa, hampir setengah tahun hidup kita sudah banyak berubah. Bukan hanya penghasilan saja yang berubah.

Sayangnya, perubahan ini mestinya membuahkan hasil yang sepadan, bukan malah kontraproduktif.

Perubahan perilaku kita diawali dengan ricuhnya pengeras suara di semua panggung. Hingga panggung utama kehilangan kendali.

Andai saja, sejak mula penggunaan masker dicontohkan dengan benar. Yang ‘bukan orang kesehatan’ itu mau belajar. Nurut sedikit.

Belajar juga soal tata laksana manajemen aseptik antiseptik untuk diterapkan serius. Belajar dasar-dasar pencegahan penyakit infeksius, bukan malah jadi sumber penularan akibat tren salah pakai sarung tangan dan face shield tanpa masker.

Banyak spesialis bedah atau malah perawat ruang operasi yang dengan senang hati bisa diundang naik ke panggung preventif dan promotif untuk mengajari cuci tangan dengan benar, memakai dan melepas masker atau sarung tangan jika memang betul-betul perlu dipakai.

Sementara panggung lain suruh diam dulu, jangan berisik promosi inovasi yang dipaksakan. Agar rakyat bisa konsentrasi.

Sayangnya itu semua tidak terjadi. Sehingga, ada walikota sampai terpingsan-pingsan dan teriak-teriak keluar masuk pasar.

Lebih mengenaskan lagi, beberapa pemerintahan daerah terpaksa kehilangan pemimpinnya.


Kita sama sekali tidak fokus di pencegahan penularan. Bahkan rakyat tidak paham sama sekali. Hanya dituntut untuk patuh – oleh orang yang bukan dari ranah kesehatan.

Tentu dengan cara penyampaian yang tidak tepat sasaran dengan dampak perubahan perilaku tidak sesuai harapan.

Alhasil pandemi yang berkepanjangan ini membuat seluruh siswa di Indonesia kehilangan 1 semester dalam hidup mereka.

Kondisi belajar jarak jauh benar-benar jauh dari harapan. Mulai dari kendala perangkat hingga niat.

Orangtua mulai gelisah, karena mereka tidak punya kendali dengan anak-anaknya sendiri. Diandaikan sekolah tatap muka membuat anak-anaknya ‘punya kegiatan terstruktur’.

Padahal, sangat tidak efektif dan berbahaya membiarkan anak-anak ini keluar rumah atas nama ‘pergi ke sekolah’ 3 kali seminggu, dan hanya menghabiskan 3 jam benar-benar di sekolah, dan sisa jamnya mereka gunakan untuk keluyuran.

Lebih mengenaskan lagi, pengadaan sinyal wifi di komunitas akhirnya membuat anak-anak ini juga keluar rumah, bahkan berkerumun di titik-titik kawasan tertentu, bercengkrama menggunakan gawai masing-masing dengan masker melorot.

Kalau begini jadinya, bukankah lebih baik sekalian saja mereka disekolahkan seperti biasa?

Mungkin belum terlambat mengembalikan fokus kesehatan di ranahnya. Izinkan panggung utama itu menggelar pertunjukan sesungguhnya.

Virus ini tidak akan melemah dengan berjalannya waktu. Belum ada bukti absah yang bicara soal itu.

Negara-negara yang kasus barunya mendekati nol terbukti sebagai negri yang mampu mengendalikan laju penularan, bukan karena virusnya melemah – justru si virus bertingkah dengan mutasi dan mengganas.

Negara-negara itu mampu mendidik masyarakatnya dan mengontrol suara semua panggung yang bicara soal Covid-19.

Mengontrol tidak sama dengan membungkam hak bicara dan berinovasi. Tapi kedua hak itu diletakkan kembali ke jalur yang baik dan benar.

Tidak mungkin memperjuangkan hak dengan melanggar hak hidup itu sendiri.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/08/25/201131020/ketika-bukan-orang-kesehatan-bicara-soal-kesehatan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke