Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dianggap Bisa Deteksi Covid-19, Perlukah Kita Punya Pulse Oximeter?

Dilansir CNET, pulse oximeter berfungsi untuk mengukur saturasi oksigen dalam sel darah merah dan detak jantung.

Cara kerja alat ini dengan menyinari kulit melalui ujung jari, kemudian mendeteksi warna dan pergerakan sel darah dalam tubuh.

Sel darah teroksigenasi berwarna merah cerah, sel terdeoksigenasi berwarna merah tua.

Perangkat itu kemudian akan membandingkan jumlah sel darah merah terang dan sel darah merah gelap untuk menghitung saturasi oksigen ke dalam persentase.

Misalnya, pembacaan 99 persen berarti hanya satu persen sel darah di aliran darah kita yang kekurangan oksigen.

Setiap kali jantung berdetak, darah akan terpompa ke seluruh tubuh dalam denyut nadi cepat.

Pulse oximeter akan mendeteksi gerakan ini, dan menghitung detak jantung dalam detak per menit, atau BPM.

Menurut Mayo Clinic, pembacaan kadar oksigen normal menggunakan pulse oximeter berkisar antara 95 persen hingga 100 persen.

Sementara angka di bawah 90 persen dinilai terlalu rendah. Beberapa dokter melaporkan, pasien Covid-19 masuk ke rumah sakit dengan kadar oksigen di 50 persen atau lebih rendah.

Sementara denyut jantung istirahat normal berkisar antara 60 hingga 100 BPM.

Pada umumnya, lebih rendah lebih baik, karena denyut jantung rendah biasanya merupakan indikasi sistem kardiovaskular yang kuat.

Di beberapa negara, pulse oximeter banyak dicari karena dianggap bisa membantu mendeteksi virus corona.

Sebab, level oksigen dalam tubuh bisa juga diakibatkan oleh penyakit paru-paru, seperti Covid-19.

Namun, apakah kita benar-benar memerlukannya?

Spesialis Penyakit Paru dari Wexner Medical Center, Ohio State University, Jonathan Parsons, MD, menerangkan mengapa kita tidak terlalu memerlukan perangkat tersebut.

Menurut dia, ada kalanya pemantauan di rumah diperlukan oleh pasien, terutama pasien yang memiliki penyakit paru-paru kronis atau bergantung pada kadar oksigen.

Namun, pengecekan menggunakan pulse oximeter adalah bagian dari perawatan mereka yang sebagian besar perlu diawasi oleh dokter.

"Pulse oximeter mungkin bisa membantu mengukur kesehatan seseorang dan angkanya dapat dipahami."

"Namun perangkat ini saja tidak dapat menyampaikan informasi secara lengkap," ungkap dia.

Beberapa alasan lain mengapa kita tidak perlu memiliki pulse oximeter, antara lain:

1. Angka pulse oximeter tidak selalu berkorelasi dengan tingkat penyakit

Parsons mengungkapkan, ada orang-orang yang tetap merasa tidak enak badan, meskipun tingkat oksimetri nadinya sangat baik.

Di rumah sakit, pulse oximeter bukan satu-satunya perangkat kesehatan yang digunakan untuk mengukur kesehatan pasien.

"Untuk itu, kita juga sebaiknya tidak (bergantung pada satu perangkat)," kata Parsons.

2. Menghabiskan waktu melihat angka

Parsons biasanya tidak akan memberikan pulse oximeter kepada pasiennya, karena perangkat itu terlalu mudah difiksasi.

Beberapa pasien akan menyimpan data di dalamnya yang menjadi tidak relevan dengan kesehatan mereka secara keseluruhan.

"Jika saya diberitahu pasien bahwa tingkat oksigen biasanya di 97 namun sekarang di 93, apa artinya itu? Dalam ruang hampa, itu tidak ada artinya," kata dia.

Ia menegaskan, pulse oximeter hanyalah salah satu perangkat pengukur kesehatan dan para dokter perlu mengetahui informasi lebih banyak untuk menerjemahkan apa yang terjadi pada tubuh.

Meski begitu, Parsons memahami keinginan banyak orang untuk memiliki kendali atas tubuhnya masing-masing di masa pandemi Covid-19.

Namun, tindakan terbaik adalah membatasi paparan dan memberi perhatian lebih terhadap apa yang kita rasakan.

"Jika kita merasakan gejala, berkonsultasilah dengan dokter. Biarkan pulse oximeter tetap tersimpan di lemari," kata Parsons.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/09/07/094557320/dianggap-bisa-deteksi-covid-19-perlukah-kita-punya-pulse-oximeter

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke