Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pajak Makanan dan Minuman Bergula Sebagai Pencegahan Gigi Berlubang

Gigi berlubang masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar pada saat ini dan memengaruhi kira-kira 3,9 milyar orang di seluruh dunia. Salah satu penyebab gigi berlubang adalah banyaknya konsumsi karbohidrat yang dapat difermentasi, yaitu gula dalam bentuk glukosa, fruktosa dan maltosa.

Dalam melakukan pencegahan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gula (termasuk gigi berlubang), organisasi kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan bahwa asupan gula tidak boleh lebih dari 10 persen dari jumlah total asupan energi, namun paling ideal asupan gula tidak boleh lebih dari 5 persen dari total asupan energi1.

Penerapan pajak untuk makanan dan minuman yang mengandung gula di seluruh dunia 

Konsep penerapan pajak untuk makanan dan minuman yang mengandung gula, merupakan salah satu pendekatan masyarakat untuk mengurangi risiko penyakit kronis, termasuk obesitas dan gigi berlubang.

Diharapkan konsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula akan berkurang akibat tingginya harga oleh penambahan pajak.

Pajak semacam itu pertama kali diterapkan di California, Amerika Serikat dan setelah 1 tahun dilaporkan penjualan makanan dan minuman yang mengandung gula menurun.

Negara-negara yang telah menerapkan pajak pada makanan dan minuman yang mengandung gula, antara lain Inggris, Irlandia, Jerman, Perancis, Spanyol, Portugal, dan Australia.

Beberapa tahun belakangan, Filipina, India, Afrika Selatan dan Thailand juga berinisiatif untuk mengimplemetasikan kebijakan pajak untuk makanan dan minuman yang mengandung gula di negaranya.

Analisis hubungan pajak makanan dan minuman yang mengandung gula terhadap kesehatan menghasilkan pengaruh terhadap penurunan berat badan.

Di Afrika Selatan, pajak sebesar 10 persen pada makanan dan minuman yang mengandung gula menghasilkan penurunan jumlah kematian akibat diabetes melitus tipe-2 dan pengurangan jumlah pengeluaran terkait perawatan kesehatan yang menyebabkan bencana.

Meksiko memiliki prevalensi diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular yang sangat tinggi, pada tahun 2014 negara tersebut memberlakukan pajak nasional untuk makanan dan minuman yang mengandung gula.

Dengan menggunakan analisis perhitungan model risiko untuk penyakit kardiovaskular, mengindikasikan adanya penurunan sebesar 10 persen pada konsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula (akibat adanya penambahan pajak).

Selama periode 10 tahun penyakit diabetes melitus berkurang hingga 190.000 kasus, berkurangnya 20.000 kasus jantung dan stroke, serta berkurangnya 19.000 kasus kematian.

Penghematan biaya di Meksiko mencapai 1 miliar dolar.

Contoh di Thailand

Pada tahun 2017, Thailand menerapkan sistem pajak campuran, yaitu pajak dihitung dari harga eceran yang disarankan dan pajak spesifik yang berasal dari kadar gula yang terkandung di dalam makanan dan minuman tersebut.

Misalnya kadar gula lebih dari 14 gram per 100 ml menyebabkan pajak menjadi tinggi, kadar gula 8-14 gram per 100 ml masuk kategori pajak sedang, dan kadar gula 6-8 gram per 100 ml masuk kategori pajak rendah. Sedangkan kadar gula kurang dari 6 gram per 100 ml tidak dikenakan pajak sama sekali.

Setelah diterapkan, pajak ini akan naik setiap 2 tahun sampai dengan tahun 2023. Makanan dan minuman yang mengandung gula yang dikenakan pajak antara lain, produk kemasan dan siap minum seperti minuman ringan berkarbonasi dengan tambahan gula, jus buah dan sayur, kopi, teh, minuman energi dan konsentrat minuman untuk vending machine.

Dengan kebijakan pajak tersebut, diharapkan konsumsi gula di Thailand akan berkurang, yang akhirnya mengarah kepada penurunan prevalensi obesitas, diabetes melitus tipe-2 dan kerusakan gigi.

Namun demikian, pajak tersebut tidak berlaku untuk minuman yang tidak tersedia dalam kemasan atau tidak siap minum seperti minuman herbal, teh dan kopi di kedai kopi dan pedagang kaki lima.

Selain makanan penutup dan makanan ringan Thailand, minuman manis dari kedai kopi dan pedagang kaki lima merupakan sumber tambahan gula yang umum dikonsumsi oleh penduduk Thailand.

Gigi berlubang berkaitan dengan gula

Beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan insidensi gigi berlubang, gigi hilang dan gigi yang ditambal, berhubungan langsung dengan penerapan pajak pada makanan dan minuman yang mengandung gula.

Sebuah penelitian di Taiwan menyebutkan bahwa anak-anak yang mengalami gigi berlubang parah disebabkan oleh kebiasaan makan dan minum minuman yang mengandung gula. Begitu pula di Jepang, penelitian menyebutkan anak usia 6 sampai 7 tahun memiliki kebiasaan mengonsumsi minuman mengandung gula minimal dua kali sehari, sehingga mengakibatkan peningkatan insidensi gigi berlubang sebesar 22 persen.

Sebuah studi kasus di Polandia melaporkan bahwa mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula dapat menurunkan prevalensi gigi berlubang.

Dari beberapa penelitian mengenai hubungan konsumsi gula dan gigi berlubang, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsumsi gula berhubungan erat dengan tingkat karies berdasarkan penelitian di Amerika Serikat.

2. Konsumsi gula dihubungkan dengan faktor sosio-ekonomi, termasuk ketersediaan produk dan kebiasaan makan dan minum di rumah.

3. Anak-anak harus dibiasakan untuk mengurangi konsumsi gula sejak dini.

4. Dokter gigi harus mencatat konsumsi gula pada pasien anak-anak dan memberikan perhatian penting pada masalah ini.

5. Pentingnya menerapkan peraturan khusus di tempat umum seperti sekolah, mengenai bahaya mengonsumsi gula yang berlebihan. Peraturan tersebut dapat berupa pemberian label di tiap kaleng minuman yang dijual di sekolah dan pemberian pajak penjualan makanan dan minuman yang mengandung gula.

Penerapan pajak di Indonesia

Di Indonesia, Menteri Perindustrian berencana menganalisis dampak penerapan pajak untuk minuman yang mengandung gula (tidak termasuk makanan), yang diusulkan oleh Menteri Keuangan atas industri minuman di Indonesia.

Menteri Kesehatan Indonesia setuju mengenai penerapan pajak ini, karena secara kualitatif, kenaikan pajak akan menyebabkan penurunan konsumsi minuman yang mengandung gula akibat harganya yang mahal.

Merujuk pada usulan kebijakan Kementerian Keuangan, teh manis kemasan akan dikenakan cukai sebesar Rp 1.500 (11 sen dolar AS), sedangkan minuman berkarbonasi, minuman energi, kopi pekat dan minuman sejenis akan dikenakan pajak sebesar Rp 2.500.

Tarif cukai lebih rendah untuk teh kemasan karena kandungan gula dalam minuman ini lebih rendah dibandingkan minuman manis lainnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, peningkatan obesitas dan penyakit terkait gula membuat bea cukai minuman manis harus diberlakukan.

“Kita tahu ada beberapa penyakit akibat konsumsi gula yang berlebihan, misalnya diabetes melitus, obesitas dan lain-lain. Prevalensi diabetes melitus dan obesitas meningkat hampir dua kali lipat dalam kurun waktu 11 tahun”, kata Menkeu saat audiensi dengan Komisi XI DPR di Jakarta, 19 Februari 2020, seperti dikutip Kompas.com.

Dia menambahkan, pajak baru bisa menaikkan pendapatan hingga Rp 6,25 triliun. Namun, kebijakan tersebut tidak berlaku untuk produk yang dibuat dan dikemas di luar pabrik non-manufaktur, barang ekspor atau produk madu dan jus nabati tanpa tambahan gula, kata Sri Mulyani.

Jika diberlakukan, Indonesia bukan negara pertama yang memberlakukan pajak khusus minuman yang mengandung gula4.

Kesimpulan:
Penerapan pajak untuk makanan dan minuman yang mengandung gula menjadi hal yang penting untuk mengurangi insidensi penyakit jantung, obesitas, diabetes melitus tipe-2 dan risiko gigi berlubang, serta diharapkan dapat mengurangi beban perekonomian nasional.

Drg. Citra Kusumasari, SpKG(K), Ph.D

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/11/05/155132120/pajak-makanan-dan-minuman-bergula-sebagai-pencegahan-gigi-berlubang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke