Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Media Sosial Pemicu Depresi? Coba Pahami Dulu Fakta Ini...

Beberapa penelitian membuktikan media sosial memiliki korelasi dengan emosi negatif.

Misalnya saja salah satu kajian dari para mahasiswa di University of Pennsylvania.

Kajian tersebut mengungkapkan fakta, saat kita membatasi penggunaan media sosial setidaknya 30 menit sehari, kita mengalami peningkatan kesejahteraan yang signifikan.

Namun demikian, ada satu hal yang perlu diingat, media sosial bukanlah penyebab satu-satunya seseorang mengalami depresi.

Dalam banyak penelitian dikatakan, aktivitas fisik, kurang tidur, konsentrasi yang terganggu, dan perundungan di media sosial dapat terkait dengan depresi.

“Inilah alasannya studi terkait penggunaan media sosial dengan depresi bersifat korelasional, bukan kausasional."

"Sebab sangat sulit untuk mengungkap penyebab depresi, apakah karena media sosial atau ada hal lain,” ujar Lea Lis MD seperti dikutip Psychology Today.

Psikiater dari Shameless Psychiatrist itu menambahkan, terlepas dari apa pun penyebab depresi, penggunaan media sosial tetap memberikan pengaruh.

Media sosial bisa membuat seseorang merasa depresi dan terisolasi karena media sosial adalah dunia maya.

Di dunia maya, setiap orang tidak mendapatkan hal-hal yang umumnya terjadi lewat interaksi langsung seperti sentuhan dan isyarat sosial.

Selain itu, interaksi langsung dapat mengeluarkan feromon yang menyebabkan dopamin di otak menyala.

Lis mengatakan, bagi sebagian orang interaksi tatap muka bisa menjadi sangat penting. Bahkan, interaksi langsung terbukti berdampak positif pada umur panjang.

Dalam studi yang dilakukan di zona biru (tempat orang hidup paling lama dan paling bahagia), interaksi langsung dapat memprediksi kebahagiaan lebih dari hampir semua variabel lain, seperti diet dan olahraga.

Saat ini, semua orang memiliki interaksi sosial yang jauh lebih sedikit dibanding sebelum pandemi. Jadi wajar apabila sebagian besar merasa agak terisolasi.

Namun, media sosial dapat mendorong perasaan terisolasi lebih mendalam karena sering melihat kebahagiaan orang lain. Padahal, belum tentu kebahagiaan itu terjadi di dunia nyata.

Bagaimana pun, hal-hal yang diunggah ke media sosial umumnya menunjukkan versi paling bahagia dari seseorang.

“Hal ini dapat membuat pengguna media sosial berpikir hidup orang lain jauh lebih bahagia dan sempurna,” kata Lis.

Contohnya, saat putus dengan pacar, sebagian orang memilih tidak menunjukkan kesedihannya di media sosial.

Sebaliknya, mereka akan mengunggah hal-hal yang bahagia seperti berkenalan dengan orang baru.

Beda halnya ketika orang yang baru putus itu bertemu teman secara langsung. Mereka mungkin akan memeluk, meminta saran, dan menceritakan tentang kandasnya hubungan.

Pertukaran timbal balik sosial dan emosional antara teman dengan keluarga ini akan mengurangi perasaan kesepian.

Hal tersebut pula yang membuat seseorang merasa lebih terhubung dengan orang-orang di sekitarnya, sekaligus melindungi dari depresi.

Lalu, apa yang harus dilakukan dengan media sosial, Lis menyebut sesuai dengan penelitian yang ada, batasilah penggunaan media sosial setiap hari.

Jika bisa, cobalah untuk membatasi di bawah 30 menit dulu, demi membantu meningkatkan kesejahteraan.

Selain itu, tetapkan batas penggunaan layar atau screen time menggunakan aplikasi maupun fitur di ponsel.

Di luar waktu itu, berfokusklah pada kehidupan nyata dan alihkan perhatian dari ponsel khususnya media sosial.

“Saya juga sangat menyarankan untuk mematikan notifikasi di ponsel terkait pesan singkat dan email."

"Ini dapat mendorong seseorang untuk membina lebih banyak hubungan tatap muka dan empati dengan orang-orang yang dicintai,” cetus Lis.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/11/18/071809220/media-sosial-pemicu-depresi-coba-pahami-dulu-fakta-ini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke