Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tertawalah Lebih Sering Sebelum Pandemi Ini Berakhir

Oleh: Bonar Hutapea

"Humor is just another defence against the universe." – Mel Brooks (Sarkis, 2011)

DENGAN angka kematian yang sudah mencapai 1.943.131 dari 90.691.625 kasus di dunia serta dampak buruknya pada hampir semua segi kehidupan, Covid-19 ini tak pelak lagi menjadi sedemikian menakutkan.

Sejak dinyatakan sebagai pandemi global oleh WHO pada Maret 2020, belum ada pihak mana pun yang berani meyakini juga menjelaskan bagaimana dan kapan Covid-19 ini akan berakhir.

Apalagi dengan kabar tentang varian baru yang lebih cepat penyebarannya ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan (Gallagher, 2020), dan di Jepang yang juga berbeda varian daripada yang ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan tersebut (KompasTV, 2021).

Tidak mengherankan, meski vaksinasi sedang diupayakan, masih menjadi tanda tanya bagaimana dampak selanjutnya.

Jika Covid-19 saja belum jelas penanganannya di dunia, apalagi jika benar muncul varian barunya. Intinya, saat ini dunia berada dalam ketidakpastian yang ditimbulkan pandemi ini.

Bersama dengan berbagai pengalaman tak menyenangkan seperti keharusan menjalani karantina, pembatasan sosial berskala besar, keharusan menerapkan protokol kesehatan, masalah ekonomi, serta stigma dan diskriminasi, menyebabkan sejumlah masalah psikologis dan perilaku.

Gejala-gejala stres pascatrauma, ketakutan dan kecemasan, frustrasi, rasa bosan yang luar biasa, kemarahan, bahkan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga juga banyak ditemukan (Brooks et al., 2020).

Sejumlah masalah psikis ini dapat memperburuk kondisi kesehatan. Bahkan, dalam beberapa kasus juga ditemukan adanya keinginan dan upaya bunuh diri (Khan et al., 2020).

Lalu, apa yang disarankan para ahli untuk menanggulangi masalah mental dan perilaku ini?

Sesi-sesi konseling dan psikoterapi secara daring (Feijt et al., 2020; Harususilo, 2020; KompasTV, 2020), termasuk konseling pastoral (mis. Situmorang, 2020), sudah dicoba ditawarkan rekan-rekan psikolog dan praktisi kesehatan mental, terutama untuk meningkatkan ketangguhan atau daya lenting (resiliensi), sebagai salah satu yang terpenting selama pandemi (Habersaat et al., 2020).

Salah satu cara yang dapat dilakukan secara mandiri oleh setiap orang sebagai mekanisme penanggulangan yang efektif (coping) dalam menghadapi kondisi sulit ini adalah humor.

Humor bisa sebagai penyanggah terhadap dampak negatif dari stres, sekaligus sebagai cara untuk menghadapi situasi sulit ini karena membantu agar lebih mudah dan lebih cepat dalam penyesuaian diri (Samson et al., 2014).

Cara seperti ini, menurut sejumlah penelitian, terbukti sangat bermanfaat bahkan dalam situasi yang berat sekali pun. Misalnya, selama perang dunia, termasuk dalam kamp konsentrasi (Samson et al., 2014).

Salah satu contoh yang paling mengesankan adalah kisah Viktor Emil Frankl, seorang penyintas kamp konsentrasi Nazi yang menuliskan pengalamannya dalam buku yang terkenal dan salah satu yang paling banyak dicetak ulang serta diterjemahkan ke berbagai bahasa, Man's Search for Meaning.

Frankl mengakui humor sebagai senjata jiwa dalam perjuangan untuk bertahan hidup saat teman-temannya yang lain meninggal lebih cepat karena sangat stres, depresi bahkan mencoba bunuh diri karena situasi yang sangat mengerikan (Henman, 2001).

Frankl mengajak temannya bersepakat dan berjanji satu sama lain untuk membuat setidaknya satu cerita lucu setiap hari mengenai apa yang bisa terjadi sehari setelah mereka dibebaskan.

Cerita-cerita lucu ini membuat para tahanan sejenak lupa akan derita mereka dan menemukan arti kehidupan (makna hidup).

Menangani emosi

Mengapa humor bisa membantu daya juang dan meningkatkan ketangguhan? Ya, karena orang yang humoris cenderung melihat segi positif dari situasi dan coping dengan cara menangani emosi  negatif dengan baik selain berfokus pada penyelesaian masalah yang menjadi sumber stres (Abel, 2002).

Tak hanya psikologis, humor juga meningkatkan kesehatan fisik.

Kita bisa jadi pernah bahkan sering mendapatkan respon dari orang atau teman dalam media sosial seperti ini: "Mari kira mem-posting konten yang lucu-lucu supaya imun kita naik."

Benarkah demikian? Menurut para ahli, humor memiliki hubungan langsung dan tidak langsung dengan kesehatan fisik.

Humor berdampak langsung dan menguntungkan, semisal peningkatan aktivitas kardiovaskular dan berkurangnya ketegangan otot yang berdampak pada meningkatnya fungsi sistem kebebalan tubuh (Fry, 1994).

Jadi, tertawa dapat merangsang produksi opioid endogen seperti beta-endorfin, sehingga meningkatkan toleransi nyeri saat menghadapi penyakit fisik.

Adapun hubungan tak langsung adalah seperti yang dinyatakan sebelumnya. Selera humor yang tinggi mendorong penilaian yang lebih positif terhadap peristiwa negatif dan meningkatkan dukungan dari orang-orang sehingga membuat stres lebih rendah dan pada gilirannya berdampak positif terhadap kesehatan fisik.

Barangkali itu sebabnya para tahanan seperti Frankl dan teman-temannya memiliki daya tahan fisik meski menjalani kondisi yang sangat berat dalam kamp.

Mereka masih bisa tertawa dalam kondisi paling buruk sekalipun, bahkan berani mengambil risiko terkena penyiksaan agar bisa menceritakan lelucon melalui dinding kepada tahanan lain yang mereka anggap perlu dihibur (Henman, 2001).

Orang yang memiliki selera humor yang tinggi, memiliki persepsi yang positif tentang kesehatan antara lain berkurangnya rasa takut terhadap kematian atau penyakit yang serius, dan bisa mengalihkan perhatian dari rasa nyeri (Nicholas & Sorrel, 2004).

Dari penggunaannya, Martin et al., (2003) membagi humor menjadi empat gaya:

Keempat bentuk humor ini dapat dibedakan menjadi humor positif dari humor negatif.

Humor positif adalah humor yang membuat diri sendiri dan orang lain tertawa dan terhibur tanpa meremehkan, tidak menyakiti perasaan, disampaikan pada "tempatnya" (waktu dan situasi yang tepat), dan tidak dimaksudkan untuk menyembunyikan perasaan sebenarnya. (Martin et al., 2003).

Humor bukan sarkasme, bukan ironi, apalagi sinisme. Humor itu menghibur yang bersifat simpatik, toleran, menerima dunia yang tak sempurna ini dan memandangnya secara jenaka, juga menerima kelemahan manusiawi, disertai pandangan filosofis tentang kehidupan. Kedua gaya humor yang bersahabat tadi termasuk dalam jenis humor ini.

Meski demikian, humor negatif bukan berarti tak bermanfaat. Misalnya humor yang ditujukan kepada seseorang yang bertindak menyakiti orang lain (agresor) bisa membantu orang (korban) menghadapi situasi yang sangat menegangkan dan mengancam.

Misalnya dalam pengalaman para tawanan perang. Dengan melontarkan lelucon tentang para penjaga dan kesulitan yang mereka alami, mereka merasakan masih memiliki harga diri dan bisa menerima kekalahan dalam situasi yang tidak bisa mereka kendalikan.

Demikian pula dalam situasi saat ini, dengan mentertawakan hal-hal terkait pandemi dan kehidupan yang diakibatkannya dapat membantu membuat kita merasakan adanya harapan dengan lebih dahulu menerima kenyataan.

Samson dan Gross (2012) menyatakan bahwa mekanisme humor positif dan negatif memang berbeda, yakni humor positif mendorong melihat situasi dari perspektif yang berbeda dan positif sedangkan humor negatif membantu menciptakan jarak emosional dari peristiwa negatif tanpa harus terpaku pada sisi negatifnya.

Selain itu, ntuk mengalihkan perhatian dari peristiwa negatif lebih mungkin menggunakan humor negatif dari pada humor positif atas alasan tadi, yakni untuk bisa mengalihkan perhatian dibutuhkan jarak emosi dari peristiwa tersebut dan orang terkait, dan jarak emosional dimungkinkan dengan menjadikannya lelucon atau tertawaan.

Kecerdasan

Secara umum diyakini bahwa mengalami, dan terutama memproduksi humor yang berhasil itu membutuhkan kemampuan kognitif yang memadai.

Artinya, sesuatu menjadi lucu dan lalu membuat orang tertawa karena adanya kebaruan, mengandung ketidakselarasan atau kejanggalan, kemustahilan, kekonyolan, kejutan, dan ada resolusi atau penyelesaian dengan bermain-main (jenaka) (Sultanoff, 2002).

Dalam humor juga dibutuhkan bakat alami dalam menggunakan kata-kata dan ide-ide yang cepat lalu menciptakan dari yang sebelumnya tidak ada (Samson et al., 2009).

Humor juga sesuatu yang serius, dalam arti dibutuhkan upaya serius untuk mendapatkan manfaat besar dalam situasi sulit seperti saat ini.

Agar bisa melihat sisi jenaka dari pengalaman sehingga bisa mengurangi emosi negatif dan meningkatkan emosi positif, orang harus berani mengubah perspektif secara mendasar terhadap peristiwa negatif, sehingga tercipta jarak emosional yang lebih besar dan bisa menghasilkan regulasi emosi yang lebih efektif.

Untuk itu, diperlukan cara berpikir tak biasa (out of the box) sebagaimana untuk menciptakan lelucon dibutuhkan sudut pandang tak biasa.

Tidak cukup hanya sebagai reseptif atau pasif menerima tapi harus berupaya menciptakan konten humor/lelucon (Henman, 2001).

Kecemasan yang wajar

Terlepas dari kemanfaatannya, perlu juga dipertimbangkan efek merugikan yang timbul jika tidak berhati-hati, bahkan tidak mustahil mengarah kepada kematian (Samson & Gross, 2012).

Salah satu sebabnya adalah karena rendahnya kekhawatiran terhadap risiko kesehatan. Jangan sampai karena konten lucu menyebabkan rendahnya kewaspadaan karena hilangnya kecemasan.

Sebagai manusia biasa, kita membutuhkan kecemasan yang wajar agar selalu waspada dan tidak menganggap remeh keadaan. Para filsuf dan psikolog eksistensialis bahkan mengatakan kecemasan sebagai syarat hidup.

Selain itu, juga perlu diingat agar humor yang diciptakan bersifat kondusif terhadap kesehatan psikologis bagi semua pihak (adaptif) dan disampaikan dengan bijak, terutama dengan semakin populernya cara, semisal stand-up comedy yang beberapa waktu sempat menuai kontroversi karena dianggap menyebabkan ketersinggungan pada etnis tertentu.

Alih-alih mengundang tawa dan kegembiraan, lelucon malah menyebabkan rasa permusuhan dan kemarahan. Hal ini sangat penting dijaga dalam masyarakat kita yang sangat majemuk.

Maka, marilah mengasah selera humor dengan mengapresiasi humor, belajar menciptakan konten humor, membagikannya melalui media yang tepat dan berharap kita lebih mudah keluar dari masalah yang sulit karena mendapatkan dukungan dari orang lain.

Dasarnya adalah humor juga berfungsi sebagai sarana komunikasi. Mereka dinilai lebih kompeten dalam berkomunikasi.

Tidak heran bila mereka lebih dikenang, lebih disukai banyak orang, dan lebih populer dari pada orang yang tidak humoris.

Selain itu, juga tetap merasakan kebahagiaan karena senang melihat orang lain gembira.

Bukankah menyenangkan kalau bisa membuat orang lain tertawa terutama orang yang sedang menghadapi kondisi kehidupan yang negatif?

Karena itu, sebagaimana disebut Mel Brooks bahwa humor sebagai mekanisme pertahanan lain menghadapi alam semesta atau jagad raya ini, maka benarlah saat ini pandemi Covid-19 menjadi permasalahan global terutama dampaknya pada kesehatan fisik dan psikis.

Ini harus dihadapi secara serius tapi juga dengan jenaka, dengan mengasah selera humor yang positif dan berupaya menggunakan humor sebagai strategi regulasi menghadapi emosi negatif dalam kehidupan sehari-hari.

Bonar Hutapea
Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/01/12/114752420/tertawalah-lebih-sering-sebelum-pandemi-ini-berakhir

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke