Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penjualan Sepatu High Heels Alami Penurunan

KOMPAS.com - Di masa pandemi Covid-19 ini ada banyak sekali hal yang berubah, termasuk tren sepatu. Karena lebih banyak beraktivitas di rumah, sepatu formal seperti high heels mengalami penurunan penjualan.

Menurut situs mode Glossy, penjualan sepatu bertumit tinggi (high heels) turun hingga 71 persen pada kuartal kedua tahun 2020.

Apalagi, sepanjang tahun kita lebih banyak bekerja dari rumah (WFH). Jadi, kemungkinan besar sepatu-sepatu kerja tersebut akan mulai terlupakan.

Namun, seorang analis alas kaki dan tren mode untuk Grup NPD New York, Beth Goldstein mengatakan, bahwa alas kaki yang tidak nyaman itu sudah kehilangan popularitasnya sejak sebelum pandemi.

Para pekerja milenial dan generasi Z telah merevolusi pakaian kerja mereka sepenuhnya dengan mendefinisikan ulang istilah "bisnis kasual".

Munculnya streetwear dalam mode kelas atas secara simultan telah mengubah seluruh keyakinan terhadap apa yang "pantas" atau "terhormat" di lingkungan tradisional seperti kantor.

Sementara beberapa desainer seperti Lanvin dan Celine ikut bertanggung jawab atas perubahan ini. Banyak desainer lainnya berusaha keras untuk mengakomodasi selera yang berubah dengan cepat.

"Doc Martens, Crocs, Uggs, dan Birkenstock adalah titik terang di tahun 2020," ungkap Goldstein.

Kebutuhan akan sepatu-sepatu yang resmi ini juga terus menghilang akibat pembatalan beberapa acara resmi bergaya tradisional seperti pesta pernikahan.

Bloomberg News melaporkan, secara global, permintaan sepatu desainer turun 21 persen pada tahun 2020.

Hal ini menyebabkan Galeries Lafayette -toko yang identik dengan gaya Prancis yang elegan- merombak interior untuk memberi ruang lebih banyak bagi sepatu kets atau sneakers.

Kendati demikian, tidak semua orang akan mengubah cara berpakaiannya saat harus kembali ke kantor.

"Gaya berpakaian saya tidak akan berubah sama sekali ketika saya kembali ke kantor nanti," terang seorang litigator di firma hukum internasional Paul Hastings LLP, Nicole Lueddeke (31 tahun).

Dia mendefinisikan seragam kantornya adalah Bebe pantsuit bergaya vintage, yang dipadukan dengan sepatu mules berhak tinggi dari Zara atau Louboutins.

Lueddeke menyebutkan, dia memiliki koleksi sebanyak 50 pasang sepatu berhak tinggi.

"Perusahaan kami masih tradisional dan saya menyukainya. Berdandan membuat saya memiliki karakter," katanya.

Rasa nyaman

Berpakaian rapi untuk acara-acara khusus akan selalu menjadi hal yang menarik. Tetapi lebih banyak wanita muda tidak mau sakit kaki hanya untuk terlihat feminin saat sedang bekerja atau kencan.

"Ada norma tentang apa yang diharapkan dari wanita, tetapi pandemi menantang semua itu," ujar Chanel Kenner (36 tahun) dari Los Angeles.

Sebelum Covid-19 melanda, Kenner sudah meninggalkan kariernya sebagai marketing di sebuah tempat hiburan karena dia dituntut untuk selalu menggunakan sepatu hak tinggi yang tidak sesuai keinginannya.

"Sepatu hak tinggi sudah mati. Saya membuang setengah sepatu saya," terangnya.

Saat ini, dia sedang menyelesaikan gelar master untuk bekerja sebagai ahli gizi dengan gaya sepatu boots, jeans, dan sweater yang lebih santai.

Para wanita telah menyadari, bahwa yang mereka inginkan hanyalah rasa aman dan nyaman. Sepatu hak tinggi adalah versi lama standar kecantikan yang menjadi pengikat kaki.

Aturan berpakaian yang kaku tampaknya akan hilang untuk selamanya dan akan lebih banyak pilihan dalam kebebasan mode.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/02/11/123326420/penjualan-sepatu-high-heels-alami-penurunan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke