Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sadari Bahaya Mata Minus dan Pencegahannya

KOMPAS.com - Mata minus atau juga disebut miopia terjadi karena cahaya yang masuk ke dalam mata jatuh di depan retina mata.

Kondisi miopia bisa dipicu oleh panjang bola mata yang bertambah atau kemampuan mata dalam memfokuskan cahaya, sehingga objek yang jauh terlihat buram.

Ahli Pediatrik Oftalmologi di RS Mata JEC, dr Gusti Gede Suardana, SpM(K) menyebutkan, temuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap sekitar 40 persen populasi dunia akan menderita miopia di tahun 2030.

"Bahkan angkanya akan mencapai lebih dari setengah populasi dunia atau 4,8 miliar orang pada tahun 2050."

Begitu kata Gusti dalam virtual "JEC Media Launch: Myopia Control Care, The First Comprehensive Myopia Management in Indonesia" pada Selasa (23/2/2021) siang.

Faktor risiko miopia terdiri dari genetik atau bawaan, dan gaya hidup seseorang.

Kondisi pandemi Covid-19 yang ada saat ini, kata Gusti ditengarai berkontribusi terhadap peningkatan kasus miopia, khususnya pada anak.

"Studi di Cina selama tahun 2020 menunjukkan, anak berumur 6-8 tahun ternyata tiga kali lipat lebih rawan terkena miopia dibandingkan tahun-tahun sebelumnya."

Hal ini, menurut dia, disebabkan oleh kurangnya aktivitas di luar ruangan dan lebih banyak waktu menatap layar.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan RSCM-FKUI selama periode April-Juni 2020, terjadi peningkatan screen time atau waktu menatap layar 11,6 jam per hari.

"Aktivitas di luar ruangan jauh berkurang, sementara paparan perangkat elektronik semakin tinggi," sebutnya.

"Anak belajar jarak jauh secara online, sedangkan kelompok dewasa juga menggunakan gadget untuk bekerja. Artinya semua kalangan usia berpotensi terserang miopia."

Miopia biasanya mulai terjadi pada anak berusia 4-6 tahun, dan prosesnya berlangsung lebih cepat ketika anak memasuki usia 8-15 tahun.

"Progresivitas lebih cepat akan menyebabkan miopia atau mata minus yang lebih tinggi," tutur Gusti.

Jika tidak segera diatasi, miopia bisa menyebabkan komplikasi seperti mata malas, katarak, glaukoma, dan retina lepas.

"Pada kebanyakan kasus miopia, jika seseorang memiliki minus lebih dari lima atau enam, maka akan terjadi perubahan pada retina, chroid, dan sklera."

"Kondisi itu berisiko menyebabkan kebutaan," jelasnya.

Gejala miopia sering dipandang remeh, sehingga orangtua patut mewaspadai adanya gejala penyakit tersebut pada anak.

Umumnya, gejala miopia pada anak yang terjadi adalah kebiasaan memicingkan mata, kesulitan memandang jauh, sering mendekatkan mata ke layar televisi atau ponsel, mata lelah dan tegang, hingga sering mengucek mata.

"Karena itu pemeriksaan mata secara berkala, minimal 6-12 bulan sekali menjadi kunci untuk menentukan apakah anak termasuk dalam kelompok rawan miopia atau tidak," ucap Gusti.

Pemeriksaan mata untuk mencegah progresivitas miopia

Gusti, yang sekaligus Ketua Layanan JEC Myopia Control Care mengatakan tujuan dioperasikannya layanan ini.

"Layanan Myopia Control Care fungsinya agar masyarakat dapat mengetahui informasi seputar miopia, dan memperoleh layanan miopia secara menyeluruh," terang dia.

Sementara itu, menurut dr Damara Andalia, SpM, Wakil Ketua JEC Myopia Control Care, ada banyak langkah pemeriksaan mata untuk pasien yang sudah menderita miopia maupun berpotensi mengalami mata minus.

"Layanan ini akan mengukur seluruh data organ mata, seperti panjang bola mata, keadaan kornea, dan ketebalan lensa."

"Pasien akan mendapat pilihan dan tindakan lanjutan yang cermat untuk mencegah progresivitas miopia," cetus Damara.

JEC Myopia Control Care menyediakan layanan tahapan awal seperti konsultasi dan screening mata, hingga langkah perawatan yang ditentukan berdasarkan kebutuhan dan usia.

Langkah perawatan atau terapi miopia yang direkomendasikan Damara dalam layanan JEC Myopia Control Care adalah terapi Atropin, dan penggunaan lensa kontak khusus Orthokeratology atau Ortho-K.

"Terapi atropin menggunakan obat tetes mata dengan dosis kecil 0,01 persen, yang efektif menghambat progresivitas miopia secara signifikan bagi anak di bawah usia 15 tahun," kata Damara.

Namun Damara mengungkap jika terapi ini hanya efektif diterapkan pada anak. Sebab, penambahan panjang bola mata yang berpotensi memicu miopia biasanya terjadi di usia dini.

"Ada juga terapi dengan menggunakan lensa kontak khusus Ortho-K. Lensa kontak ini dipakai di malam hari saat tidur, sekitar lima hingga enam jam sehari," ujarnya.

Lensa kontak Ortho-K bertujuan membantu pasien miopia agar terbebas dari ketergantungan memakai kacamata, dan sifatnya sementara.

"Bisa digunakan pada semua usia, baik anak usia lima tahun maupun orang dewasa," ujarnya lagi.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/02/23/164528720/sadari-bahaya-mata-minus-dan-pencegahannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke