Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mungkinkah Sudah Waktunya Reset Mindset Kita?

Sembilan puluh persen materi berputar di sekitar masalah pandemi yang sudah mulai menjengkelkan karena tak usai-usai.

Dan di antara pendengar yang ikut diskusi interaktif, cukup banyak yang merasa pandemi ini konspirasi tingkat tinggi orang kaya yang ingin semakin kaya dan yang miskin kian tertekan.

Sekali pun jam tidur saya agak mundur, bahkan terkadang malah sulit terlelap, saya semakin yakin bahwa edukasi soal pandemi ini sejak awal sudah salah kaprah.

Lebih konyol lagi, orang-orang yang tadinya saya pikir punya literasi mumpuni, ternyata demi ingin hidup seperti biasanya lalu terjebak dalam protokol konyol.

Ngotot menjalankan protokol, tapi tetap tertular. Bisa jadi mereka berpikir dari ketiga protokol itu cukup dijalankan salah satunya saja – seperti pilihan ganda soal ujian. Tak kurang menggelikannya, orang-orang ‘prominen’ ini rajin tes swab yang mahalnya ampun-ampun.

Bayangkan 1 manusia jika mau hasil ekspres harus menguras 1 juta lebih dari kantong (yang masih tebal barangkali).

Sementara jumlah yang sama bisa dibagi ke 3-5 keluarga setara bansos untuk menyambung hidup sebulan.

Bolak balik swab tes menandakan keraguan pelaksanaan protokol, sebab menyisakan risiko. Ibarat tidak menggunakan alat KB, tapi takut hamil – sementara hubungan seks jalan terus (inginnya seperti biasa). Lalu setiap sekian hari sekali ‘kepo’ mengecek dengan alat tes kehamilan.

Aneh bukan? Lebih aneh lagi protokol konyol ini menjadi ritual orang-orang berduit dan dalam versi lebih murah bernama rapid antigen - dipakai beberapa komunitas yang ‘rajin bikin acara’.

Sementara itu, ekonomi yang diharapkan bisa berjalan sejajar dengan kesehatan ternyata di lapangan tidak seindah yang direncanakan.

Pedagang pasar mengomel panjang lebar karena merasa diatur-atur sementara mereka merasa ‘baik-baik’ saja. Tidak ada sesama pedagang yang ketularan katanya.

Begitu pula pemilik lapak mewah yang istilahnya ‘mall’ berkeluh kesah sepi pengunjung dan penyewa minta negosiasi ongkos sewa.

Jam batas tutup pertokoan dan restoran yang maju mundur semakin memusingkan kepala. Apa bedanya tutup jam 21.00 atau 22.00?

Mengurus negri yang sudah ‘kepalang basah’ memang tidak mudah. Tren gaya hidup kita memang beda.

Di Perth Australia Barat, setiap hari toko tutup jam 5 sore dan hanya 1 hari dalam seminggu (bukan akhir minggu) istilah night shopping diberlakukan: toko tutup jam 21.00 di hari Kamis. Dan tak ada yang protes – karena sudah menjadi gaya hidup di sana.

Dengan demikian setiap orang tanpa kecuali punya waktu cukup untuk keluarga, mulai dari memasak hingga menangani semua pekerjaan rumah tangga – sebab punya pembantu di rumah bukan fenomena yang lazim. Bicara gaya hidup sehat, barangkali lebih masuk akal di sana. Sekaligus hemat.

Bukan maksud ingin melihat rumput tetangga yang lebih hijau, tapi justru Indonesia potensial untuk lebih maju dan lekas ‘naik kelas’ – jika saja rakyatnya sepakat untuk meningkatkan martabat.

Tapi alih-alih mudah diatur, anomali publik kita justru mau saling mengatur dan pantang ditegur.

Lebih ironinya lagi, merasa nyaman dengan situasi yang jelas-jelas menunjukkan kemunduran, terutama di sisi kesehatan.

Geliat ekonomi tidak perlu ditandai dengan pasar buka sampai pagi, tapi seret jual beli. Rakyat kita toh sejak belia sudah fasih mengutak-atik gawai, ketimbang hanya untuk rekreasi sarat sensasi, kenapa tidak selangkah lebih maju untuk orangtuanya berwiraswasta?

Dibutuhkan pemikiran inovatif untuk mengangkat pedagang pasar yang tadinya menggelar jualan, kali ini mereka dididik menata lapak virtual.

Pemerintah daerah yang kalah berinovasi dalam pendampingan berbagai sektor dinamika masyarakat akhirnya akan kewalahan menghadapi situasi hidup yang membutuhkan perubahan di sana-sini. Mulai dari urusan lahan ekonomi hingga edukasi.

Betapa repotnya gawai yang tadinya hanya sebatas alat komunikasi dan ‘menonton sensasi’ tiba-tiba harus dipakai di sarana edukasi.

Saya melihat ini justru sebagai peluang meluruskan kembali fungsi gawai. Istilah ‘smart phone’ tidak mengandaikan alatnya yang pintar tapi pemakainya tidak. Gawai pintar hanya berfungsi optimal di tangan pengguna cerdas.

Sayangnya, peluang ini hanya ditangkap oleh para pelaku industri dan perdagangan besar yang biasa gesit menangkap pasar.

Alhasil penjualan susu dan makanan kemasan meroket, dengan sasaran ibu-ibu dan komunitas muda yang buta gizi sesungguhnya.

Iklan semakin meliar baik di media elektronik maupun menyusup ke media sosial. Bahkan, sudah tidak ada etikanya lagi.

Anak di bawah umur pun dipakai sebagai bintang iklan produk yang tidak semestinya dikonsumsi anak.

Komisi etik periklanan seakan-akan hilang entah kemana. Atau lebih tepatnya, kalah gesit dengan yang dagangannya sedang melejit.

Jika kita sibuk memerangi virusnya tanpa memperhatikan perubahan apa saja yang menjadi imbas pandemi, maka sekali lagi kita akan kehilangan peluang emas untuk menata pranata kehidupan.

Peluang itu justru diambil oleh pihak-pihak oportunis meraup keuntungan manis dari situasi tragis. Yang gulung tikar justru mereka yang tidak inovatif dan masih bergantung (serta berharap) pada ‘business as usual’.

Sebut saja para pemilik warteg. Sejak awal pandemi, saya sudah ‘berisik’ merekomendasikan warteg sebagai penyelamat kebingungan di saat isolasi mandiri.

Apabila negri ini memang mempraktikkan kesetiakawanan sosial yang sesungguhnya, bukan sekadar momen seremonial, maka ketimbang membiarkan masyarakat menikmati kucuran bansos tanpa kerja, kebutuhan isi perut bisa diatur dengan sekaligus memberdayakan ekonomi lokal dalam skala mikro.

Sebagai kelanjutan, menggiring usaha mikro di saat yang sama bisa tersertifikasi tanpa membelit mereka dengan segudang aturan sana sini. Alhasil warteg kita ‘naik kelas’. Terpantau kualitasnya, terjaga keamanan pangannya.


Tanpa proyeksi masa depan, tanpa abstraksi mau ke mana pasca pandemi kita berjalan, kita akan menjadi bangsa yang terbelenggu di masa lalu.

Tak heran semua orang menanti keajaiban kapan kita bisa ‘seperti dulu lagi’. New normal yang beralih menjadi istilah adaptasi baru sudah tenggelam.

Adaptasi paling-paling hanya syarat pakai masker jika keluar rumah apabila tidak mau dipelototi orang. Selebihnya? Biasa.

Bersenggolan di kendaraan umum, mampir ke mall – beli minum – buka masker sambil jalan-jalan dan sedot minuman mengobrol bercengkrama.

Pun biar praktis, maskernya sekarang diberi penggantung seperti tali kacamata. Bisa dipakai-copot-pakai.

Sama sekali tidak paham kapan dan dimana masker sebaiknya dilepas. Dan seharusnya makan minum di mana. Mindset-nya masih seperti itu.

Mungkin sudah waktunya saya menyerah untuk berharap kita bisa seperti negara maju. Yang lekas meraih angka nol untuk kasus baru di masa pandemi.

Yang rakyatnya tidak lagi perlu menghabiskan 12 jam untuk mencari uang sambil berkeliling dan menggelar dagangan di pasar.

Yang ibu-ibunya menggunakan waktu berkualitas buat masak, membangun pembicaraan bermutu di rumah, ketimbang melotot asik di depan media sosial. Karena mungkin inspirasi reset mindset masih jauh di awang-awang.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/03/03/070500720/mungkinkah-sudah-waktunya-reset-mindset-kita-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke