Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perjuangan Perempuan Mendapatkan Pengakuan di Mata Dunia

Oleh: Annisa Ardiani, Content Writer Rekata

Mengapa semuanya serba “khusus perempuan” atau “khusus wanita”? Mengapa banyak komunitas perempuan? Mengapa ada International Women’s Day? Mengapa tidak ada perlakuan khusus untuk laki-laki?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terlontar dari mereka yang tidak mengikuti sejarah perempuan di dunia. Pasalnya, pengakuan dan keistimewaan tersebut tidak datang dengan sendirinya.

Ada banyak perempuan yang telah berkorban untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia.

Dalam kebanyakan sejarah dunia, kita bisa menemukan berbagai peraturan yang membatasi, mendiskriminasi, bahkan merendahkan perempuan. Dunia seakan terlahir dengan nilai patriarki dan perempuan dianggap tidak bernilai.

Parahnya lagi, beberapa kaum pria memandang perempuan hanya sebagai objek seksual untuk memenuhi nafsu berahi.

Sedari dulu, perempuan tidak memiliki banyak pilihan dalam politik, pekerjaan, bahkan jodoh.

Dalam sejarah politik dunia, perempuan berjuang mati-matian untuk mendapatkan hak memilih.

Begitu pula dalam hal pekerjaan, banyak stigma dan pandangan negatif tentang pemimpin perempuan. Mereka dianggap lemah, terlalu sensitif, dan tidak kompeten.

Tradisi perjodohan juga memaksa perempuan, bahkan yang di bawah umur, untuk menikah
tanpa persetujuannya. Hal ini terjadi di berbagai negara, seperti Pakistan, India, bahkan di Indonesia. Atas nama tradisi dan tuntutan adat, janji suci terucapkan begitu saja.

Salah satu peraturan adat di Indonesia yang memperlakukan perempuan tidak adil adalah tradisi kawin tangkap atau yappa mawine di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Pria dewasa di Sumba bisa dengan bebasnya menculik perempuan yang mereka ingin kawinkan, tanpa persetujuan sang perempuan tersebut. Perempuan dianggap tidak punya pilihan dan tidak punya kekuatan.

Pada Juni 2020 lalu, sebuah video yang diunggah, memperlihatkan seorang perempuan di
Sumba dibawa paksa oleh beberapa lelaki dengan alasan budaya kawin tangkap. Kasus
tersebut terjadi di tahun 2017, tiga tahun sebelum video tersebut viral.

Perempuan tersebut mengaku ditahan berhari-hari oleh pihak keluarga yang ingin
menjadikannya sebagai menantu. Segala ritual serta rayuan dilakukan agar ia mau menikah
dengan anak laki-laki keluarga tersebut.

Ia menangis hingga tenggorokannya kering, tetapi menolak untuk makan dan minum selama
ditahan. Ada kepercayaan bahwa sang perempuan akan terkena sihir yang membuatnya
menuruti keinginan keluarga yang menahannya.

Setelah 6 hari, akhirnya keluarga perempuan berhasil bernegosiasi dengan keluarga penculik
didampingi oleh pemerintah desa dan LSM setempat. Perempuan itu pun bebas dan kembali ke pelukan keluarganya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak turun tangan dan melakukan
penandatanganan kesepakatan terkait hal ini. Diharapkan dengan adanya kesepakatan ini, budaya yang melenceng ini bisa segera dihapuskan.

Cerita tentang kawin tangkap ini juga ditulis oleh Dian Purnomo dalam novelnya berjudul
“Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam”. Novel ini mengisahkan tentang Magi Diela, seorang gadis Sumba, yang menjadi korban penculikan kawin tangkap oleh beberapa pria saat ia sedang dalam perjalanan menuju tempat penugasannya dari kantor.

Ia diperlakukan seperti binatang. Mereka mencoba menjinakkan Magi dengan ancaman
pelecehan seksual. Gadis itu tidak memiliki pilihan lain selain diam dan menangis di dalam
mobil pick-up yang membawanya entah ke mana.

Ternyata, otak dari penculikan tersebut adalah Leba Ali, seorang mata keranjang yang memiliki kekuasaan dan harta berlimpah. Dengan status itu, sulit untuk Magi bisa melepaskan diri darinya.

Kesepakatan keluarga pun tak terhindarkan, orangtua Magi juga tidak punya pilihan. Magi pun harus berkorban untuk mencapai kemerdekaannya. Ada 3 pilihan yang ia miliki: meninggalkan orangtua dan tanah kelahirannya, menyerahkan diri kepada si mata keranjang, atau mencurangi kematiannya sendiri. Semua pilihan seolah tidak berpihak padanya.

Penulis novel ini, Dian Purnomo, adalah seorang lulusan Kriminologi Universitas Indonesia
yang telah menangani masalah perempuan dan anak selama lebih dari 10 tahun.

Novel “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam” merupakan hasil dari residensi penulis di Waikabubak yang diberikan oleh Komite Buku Nasional dan Kemendiknas, yang mengangkat kisah nyata korban kawin tangkap di Sumba yang mirisnya masih terjadi di era modern ini.

Kisah Magi Diela ini bisa dibaca dalam bentuk e-book di sini  Atau mendapatkan buku cetaknya di website Gramedia. 

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/03/08/114410320/perjuangan-perempuan-mendapatkan-pengakuan-di-mata-dunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke