Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenali Masalah Emosi Anak di Masa Pandemi, dan Cara Mengatasinya

Tak sedikit anak yang memberikan reaksi berteriak, melempar barang-barang di rumah, atau mengalami tantrum dalam waktu yang cukup lama, terkait kondisi ini.

Psikiater dan dosen di Harvard Medical School, Christopher Willard memberikan ulasannya mengenai fenomena tersebut.

Willard mengatakan, perilaku ini mungkin disebabkan anak-anak tersebut sedih karena merindukan teman atau rutinitasnya sebelum pandemi.

"Mereka merasakan emosi yang sama seperti orang dewasa tentang pandemi," ungkap Willard.

"Bedanya, anak-anak mengekspresikan dengan cara lain, seperti menangis, memotong rambut, berteriak, menjerit, berdebat, dan berkelahi dengan saudaranya," sambung dia.

Namun demikian, sesungguhnya orangtua dapat membantu anak-anak mereka melewati masa yang sulit ini.

Orangtua dapat mencegah kehancuran di masa depan dengan mendukung stabilitas emosional anak-anak, dan menyediakan ruang untuk mengekspresikan perasaan mereka.

Mengenali akar dari perilaku buruk

Willard mengungkapkan, orangtua yang baik pun pasti akan mengalami kesulitan ketika harus bekerja dari rumah dan mengurus anak-anak mereka secara bersamaan.

Sehingga, meskipun orangtua berada di rumah, namun kesibukan pekerjaan membuatnya tidak dapat memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anak.

Dan, hal tersebut bisa menyebabkan sejumlah perilaku buruk terhadap anak-anak, karena mereka merasa tidak mendapatkan penguatan di situasi yang krisis ini.

"Jika anak-anak sudah terlibat dalam perilaku yang lebih merusak seperti memotong rambut, maka berkonsultasi ke ahlinya," ujar Psikolog yang berbasis di Maryland, Mary Alvord.

Alvord menambahkan, kurangnya perhatian orangtua bisa menjadi alasan di balik kehancuran atau perilaku yang lebih menantang pada anak-anak.

Belum lagi, kalau orangtua merasa stres dan tidak sabar, mereka cenderung akan membentak yang justru memperburuk perilaku anak-anak.

"Anak-anak yang lebih kecil tidak bisa serta merta atau dengan jelas mengartikulasikan perasaan mereka. Seringkali hal itu muncul dalam tindakan," kata Alvord.

Akhir-akhir ini, anak-anak juga dihadapkan pada tantangan perkembangan baru.

Di mana, mereka menjadi bosan karena menghabiskan banyak waktu untuk mengikuti kelas secara virtual dengan minimnya waktu bermain atau berinteraksi bersama teman sebaya.

"Mereka akan mengalami tantrum atau berperilaku secara berlebihan karena mereka sedih, kesepian, atau lelah," kata Willard.

Pada saat yang sama, orangtua harus memerhatikan dan mempertanyakan perilaku buruk yang terus-menerus dilakukan sebagai tanda potensial dari masalah yang lebih serius.

Bisa saja anak-anak mengalami depresi, kecemasan, atau masalah perhatian.

Membantu anak-anak mengatasinya

Jika pada akhirnya seorang anak mengakui apa yang sebenarnya terjadi, itu momen yang bagus karena dia mempercayai orangtuanya.

Willard menyarankan agar orangtua dapat memvalidasi perasaan anaknya, memberikan pelukan, dan menunjukkan rasa sayang, serta memahami situasi ini sangat sulit.

Orangtua juga dapat membantu anak-anak menjadi lebih nyaman dengan apa yang saat ini tidak tersedia bagi mereka, lalu meletakkan fokus pada hal yang bisa dikendalikan.

"Kita bisa mencari tahu area yang paling mereka lewatkan, dan dapat membantu anak-anak mendapatkan koneksi dengan teman, sepupu, kerabat, dan siapa pun," ujar Alvord.

Dengan demikian, meskipun kehidupan sosial mereka tidak sama, anak-anak tetap dapat merasakan beberapa aspek kehidupan bisa diprediksi, aman, dan layak untuk dinantikan.

Mengajarkan kecerdasan emosional

Kecerdasan emosional adalah bagian penting dari pertumbuhan untuk dapat bertahan melewati masa-masa yang sulit seperti ini.

Menurut American Psychological Association, kecerdasan emosional juga memungkinkan seseorang untuk memproses informasi emosional dan menggunakannya dalam penalaran maupun aktivitas kognitif lainnya.

Setiap orang membutuhkan keterampilan ini agar berhasil dalam kehidupan pribadi dan profesionalnya.

Situasi anak yang sedang mengalami tantrum ini bisa menjadi momen bagi orangtua untuk membangun kecerdasan emosional yang lebih intens.

"Orangtua harus mengajarkan anak-anak untuk mentoleransi sejumlah kesusahan dan menenangkan emosinya karena hidup ini penuh dengan banyak kesusahan kecil," ujar Alvord.

Mulailah dengan menyebutkan emosi yang muncul dalam karakter buku, acara televisi favorit, atau film yang kita tunjukkan kepada anak-anak.

Bicarakan dan jelaskan perasaannya, sehingga anak-anak segera dapat mengenali, serta melabeli emosi mereka sendiri.

"Melakukan hal tersebut dapat membuat mereka jauh lebih mampu mengatur emosi dan memiliki kecerdasan emosional yang baik," ujar Willard.

Kita juga bisa memberikan permainan yang dapat mengajarkan pengendalian impuls dan membangun kapasitas anak untuk memahami perspektif dan pengalaman orang lain.

Waktu bermain merupakan periode bagi anak-anak untuk bersantai dengan orangtua, sehingga mereka mungkin akan berbagi sesuatu yang lebih.

Setelah bermain, kita bisa melanjutkan percakapan tentang perasaan yang dialami oleh anak anak sepanjang hari, dan memperkuat kebiasaan berbagi atau membicarakan masalah yang dapat mengubah perilakunya.

"Ini adalah waktu yang sangat sulit bagi kita semua, jadi jangan terlalu keras pada diri sendiri maupun anak-anak," tegas Willard.

Baik orangtua dan anak-anak harus saling bekerja sama untuk mengatasi dan mengelola perasaan sedih di masa yang sulit ini.

Tetapi, jika kita membutuhkan bantuan lebih lanjut, jangan ragu-ragu untuk menghubungi profesional atau psikolog sosial untuk mendapatkan bantuan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/03/26/072937820/mengenali-masalah-emosi-anak-di-masa-pandemi-dan-cara-mengatasinya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke