Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jangan Cuma Belanja Pakaian, Ketahui Juga Dampak Fast Fashion pada Lingkungan

KOMPAS.com - Dalam dunia fesyen, kita mengenal dua istilah yang saling bertolak belakang, yaitu fast fashion dan sustainability fashion.

Fast fashion adalah industri fesyen yang bergerak sangat cepat, dengan koleksi baru yang diluncurkan setiap minggu dan dijual dengan harga relatif murah.

Sebaliknya, sustainable fashion dikaitkan dengan produk fesyen yang menggunakan bahan-bahan lebih ramah lingkungan, terkadang daur ulang, atau memanfaatkan bahan alami.

Sebagian besar orang menyadari bahwa ketika mereka membeli produk fast fashion yang harganya murah, sebenarnya mereka ikut berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan manusia.

Pakaian dengan bahan yang tidak ramah lingkungan berpotensi merusak planet bumi ketika pakaian tersebut sudah tidak lagi bisa dipakai dan menjadi sampah.

Masalah pada industri fast fashion

Salah satu film yang membuka mata banyak orang akan pengaruh fast fashion pada lingkungan adalah "The True Cost" yang dirilis pada 2015.

The True Cost mengambil sudut pandang global terkait dampak lingkungan dari konsumsi pakaian, serta kondisi berbahaya dan gaji rendah yang dialami pekerja garmen.

The Council for Textile Recycling memprediksi rata-rata orang Amerika membuang 31,7 kg tekstil dan pakaian setiap tahun. Tidak ada rincian data mengenai jenis pakaian yang dibuang.

Berdasarkan laporan tahun 2017 dari Ellen MacArthur Foundation, terungkap lebih dari 50 persen pakaian fast fashion dibuang satu tahun setelah diproduksi.

"Secara keseluruhan, industri fesyen adalah salah satu sektor yang paling merusak lingkungan dalam ekonomi global, menggunakan energi dan air yang sangat besar serta mencemari planet kita," kata Erin Wallace, vice president of integrated marketing di ThredUp, sebuah situs yang menjual pakaian bekas.

Khusus di tahun 2018, industri fesyen dunia menyumbang 2,1 miliar metrik ton emisi gas rumah kaca.

Angka itu setara dengan total emisi negara Inggris, Perancis, dan Jerman yang digabung menjadi satu.

Pada tahun yang sama, Environmental Protection Agency memperkirakan 11,3 juta ton tekstil yang sebagian besar berupa pakaian berakhir di tempat pembuangan sampah.

Selain urusan limbah, sebuah data menunjukkan sebanyak 70 juta pekerja di industri garmen di seluruh dunia --sebagian besar pekerja adalah wanita-- menghadapi masalah eksploitasi dan kerja paksa.

Produksi dan konsumsi yang berlebihan

Barangkali kita lebih merelakan kaus atau celana panjang murah untuk disumbangkan ketimbang tas dari merek ternama.

Tetapi perlu diingat, barang-barang yang dibuat oleh merek mewah juga sebagian besar tidak ramah lingkungan.

Contohnya, Burberry mendapat kecaman di tahun 2018 karena membakar stok yang tidak terjual senilai hampir 40 juta dollar AS.

Hal itu dilakukan untuk mencegah barang-barang tersebut dijual dengan harga lebih rendah atau didiskon, sekaligus meningkatkan daya tarik Burberry.

The United Nations Environment Programme memperkirakan, setiap detiknya sampah tekstil dalam satu truk sampah dibakar atau dibuang ke tempat pembuangan sampah.

Selain itu, industri fesyen juga dinilai menyumbang limbah sebanyak 20 persen dan emisi karbon 10 persen.

Solusinya

Salah satu solusi untuk menjaga kelestarian planet bumi adalah baik konsumen maupun industri fesyen perlu memanfaatkan item daur ulang (recycling) dan menggunakan kembali (reusing) item fast fashion.

"Kami percaya penjualan kembali (resale) adalah solusi sirkular untuk model industri fesyen tradisional 'ambil-pakai-buang'," tutur Wallace.

"Semakin banyak konsumen menggunakan barang bekas, semakin sedikit permintaan akan produksi pakaian baru."

ThredUp memperkirakan, perusahaan itu sudah mengalihkan lebih dari 100 juta item dari tempat pembuangan sampah sejak berdiri pada 2009.

Beberapa situs resale lain juga melakukan upaya yang sama seperti ThredUp. Salah satunya situs lelang online Goodwill yang menjual kembali barang fast fashion, dan baru-baru ini memeroleh angka penjualan mencapai 1 miliar dollar AS.

Di sisi lain, Teo meyakini kunci masa depan yang berkelanjutan adalah dengan membeli barang lebih sedikit.

"Dengan demikian, lebih sedikit barang yang harus dibuang," katanya.

Baik Teo maupun Diaz juga mendorong pembeli untuk melakukan riset. Kendati semakin banyak merek menggunakan istilah "sustainable" atau menawarkan diskon dengan mengembalikan barang ke tempat sampah daur ulang toko, tidak semua merek memiliki tujuan yang nyata.

"Banyak merek saat ini memiliki program pengembalian (takeback) pakaian, tapi kemana perginya pakaian itu?" ujar Teo.


https://lifestyle.kompas.com/read/2021/05/07/155527320/jangan-cuma-belanja-pakaian-ketahui-juga-dampak-fast-fashion-pada

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke