Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menjaga Mental

AKHIR bulan lalu Kompas menulis berita tentang besarnya angka bunuh diri di Jepang. Hal ini mengingatkan saya pada Prof. Hisanori Kato (Chuo University, Tokyo) beberapa tahun lalu ketika mampir ke Penerbit Buku Kompas.

Ia mengatakan bahwa setiap tahunnya sekitar 25.000 warga Jepang mati akibat bunuh diri.

Saya sendiri pada waktu itu kaget, bagaimana bisa orang Jepang yang maju peradabannya bisa sejauh itu?

Pak Kato mengatakan biarpun kemajuan teknologi di Jepang maju pesat, bisa jadi karena penanaman nilai-nilai religius mungkin terlihat kurang.

Berita Kompas akhir Mei 2021 menegaskan kembali bahwa sepanjang tahun 2020 telah terjadi kasus bunuh diri warga Jepang sebanyak 20.919.

Angka ini melampaui jumlah kematian akibat Covid-19 sebanyak 3.460 orang pada tahun yang sama.

Pemerintah dan masyarakat Jepang mengkhawatirkan naiknya angka bunuh diri di kalangan pelajar dan pemuda.

Tahun 2020 ini angka kematian bunuh diri pada pelajar dan pemuda sebanyak 499 orang, naik 140 persen dibanding tahun 2019.

Penyebab utama kasus bunuh diri di Jepang akibat kesepian (loneliness). Apalagi di saat pandemi sekarang ini, mereka tidak dapat berkumpul dengan teman-teman karena pembatasan sosial. Juga tidak dapat pergi ke tempat hiburan karena ditutup.

Naiknya angka bunuh diri di kalangan pelajar dan pemuda ini, dianggap serius oleh Pemerintah Jepang.

Oleh karena itu, Pemerintah Jepang menunjuk Tetsushi Sakamoto menjadi menteri yang mengurusi cara warga mengatasi kesepian.

Selain itu, Jepang memasukkan kembali dalam kurikulum sekolah tentang pendidikan kesehatan mental untuk pelajar SMA.

Pendidikan ini sempat dihapus pada tahun 1982. Dalam pelajaran tersebut diajarkan tentang penyakit jiwa dan penyembuhannya.

Gejala dini

Membicarakan tentang fenomena bunuh diri, saya jadi teringat dengan Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf atau akrab disapa Noriyu.

Ia telah menulis buku berjudul Jelajah Jiwa, Hapus Stigma. Buku ini meneliti tentang kasus bunuh diri dua pelukis asal Yogyakarta. Selama ini sangat jarang buku yang bertema tentang bunuh diri.

Noriyu sendiri sepanjang tahun 2020 hingga saat ini aktif dalam webinar yang khusus membahas fenomena bunuh diri dan kesehatan mental.

Dalam sebuah artikel Noriyu yang dimuat Kompas pada 2019 lalu, Noriyu telah mengamati bunuh diri kaum pelajar (baca: SMA) di Indonesia. Di situ disampaikan bahwa ada beberapa instrumen yang dapat memprediksi seseorang berniat bunuh diri.

Instrumen ketahanan mental tersebut yaitu dimensi belongingness (perasaan menjadi bagian dari sesuatu), loneliness (kesepian), hopelessness ( ketidakberdayaan), dan burdensomeness (perasaan menjadi beban).

Apabila faktor-faktor ini melekat pada seseorang, maka diprediksi akan memicu niat bunuh diri.

Beberapa gejala dini yang umum didapati niat bunuh diri adalah rasa sedih yang begitu dalam, kacau pikiran (galau), resah, mudah marah, suka melukai diri sendiri, tidak mau bergaul.

M Zaid Wahyudi dalam tulisannya di Kompas, Oktober 2020, memberitakan hasil swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) yang meneliti 5.661 orang dari 31 provinsi di Indonesia pada Oktober 2020. Hasilnya, 68 persen responden mengalami masalah psikologis.

Dari jumlah itu 67,4 persen terkena gangguan kecemasan; 67,3 persen mengalami depresi; dan 74,2 persen terkena trauma psikologis. Secara umum yang mengalami gangguan psikologis ini usianya kurang dari 30 tahun.

Melalui swaperiksa ini pula terungkap 48 persen responden ingin melukai diri; 68 persen berpikir bunuh diri; 5 persen mencoba bunuh diri.

Penanaman nilai

Masalah kesehatan mental dan ketahanan mental harus disikapi dengan serius. Kesehatan mental berkaitan dengan kondisi pikiran, perasaan, dan emosi dengan timbulnya rasa senang, tenteram, bahagia, dan dapat bergaul dengan baik dengan orang lain.

Sedangkan ketahanan mental adalah kondisi psikologis seseorang yang dapat mengembangkan kemampuan dalam situasi apa pun ketika menghadapi ancaman dari luar termasuk dari diri sendiri.

Orang-orang yang mengambil jalan pintas bunuh diri, disinyalir ketahanan mentalnya rapuh. Tidak kuat menahan tekanan sehingga ingin melupakannya dengan cara bunuh diri.

Oleh karena itu, ketahanan mental harus dipupuk sejak dini, sejak anak masih kecil. Tepatnya sejak awal harus ditanamkan dalam keluarga dan sekolah. Ini sebagai bekal anak dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Tugas orangtua terhadap anak selain melindungi, merawat, membimbing, memberi kasih sayang, perhatian, penanaman nilai-nilai religius, juga yang sangat penting adalah membangkitkan optimisme yang tinggi pada anak dan membangun mental “tahan banting”.

Di dalamnya ditanamkan sikap jangan mudah putus asa kalau menghadapi masalah, jangan gampang kecewa kalau tidak kesampaian, berpikir positif sekaligus hindari pikiran negatif.

Selain itu jangan khawatir berlebihan apalagi ekspektasi yang keliru akan memperparah masalah yang dihadapi, bersikap sabar dalam sesuatu, selalu bersyukur kepada Tuhan dalam segala hal. Dan tak kalah penting, sayangilah diri sendiri! 

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/06/10/103258020/menjaga-mental

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke