Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Boikot Karya Saja Tidak Cukup, Sikap Kritis Jauh Lebih Penting

KOMPAS.com - Pemboikotan pada karya seseorang yang terbukti menjadi pelaku pelecehan seksual memang bisa menjadi dukungan moral yang berarti bagi korbannya.

Gerakan penolakan tersebut memang langkah yang kerap diambil ketika pelaku memiliki sejumlah karya yang berpengaruh. Misalnya saja Harvey Weinstein, R Kelly, dan Kevin Spacey yang kondang dengan produksinya di bidang musik dan perfilman.

Sayangnya, pemboikotan ini seringkali tidak memberikan efek yang subtansial khususnya dalam jangka panjang.

“Untuk memastikan dengan pasti bahwa kita tidak menonton karya yang dibuat oleh seseorang yang menyalahgunakan kekuasaannya, kita mungkin harus berhenti menonton hampir semuanya,” kata Sheila Winborne, profesor filsafat dari Northeastern University, Massachutes.

Akademisi yang mengajar kursus interdisipliner dalam agama, filsafat, dan film ini menilai tindakan boikot adalah hukuman sosial yang diniatkan baik. Namun tidak bisa mengubah permasalahan yang sudah menjadi sistematik ini.

Ia menilai tindakan boikot tidak serta merta menyelesaikan akar masalah kekerasan seksual yang masih terjadi. Akan lebih baik, kita membiasakan diri untuk bersikap kritis terhadap konten-konten yang dinikmati baik itu buku, podcast, film, atau karya lainnya.

Tujuannya untuk menyaring pesan tersirat dalam karya tersebut dan meluruskan pemahaman yang salah.

"Apa yang mungkin membantu, bagaimanapun, adalah pendidikan yang lebih baik tentang pesan halus, sering tidak disadari yang disajikan dalam film dan lembaga budaya lainnya," katanya.

Maksudnya, kita harus sadar soal pesan yang sedang dikampanyekan lewat karya tersebut dan memperhatikan pesan mana yang paling banyak dikomunikasikan.

“Seringkali, saya akan bertanya kepada siswa saya apa yang telah mereka pelajari tentang gender melalui film Disney, dari Disney hingga film horor dan yang lainnya, pesan sering disematkan yang memperkuat stereotip budaya.” tambahnya.

Perilaku ini menciptakan semacam lingkaran umpan balik budaya, di mana film mencerminkan stereotip budaya. Misalnya saja stereotip bahwa pria lebih kuat daripada wanita dan membantu memperkuat anggapan tersebut sebagai perilaku normal.

Kebanyakan orang secara tidak sadar menerima stereotip ini sampai tingkat tertentu. Mereka merasa diwakili dan tidak pernah diajarkan untuk menganalisis dan mempertimbangkan secara kritis.

Nyatanya, konten media mencerminkan dan memengaruhi hal-hal yang kita yakini dan cara kita bertindak.

Kita lalu menjadikannya sebagai contoh dalam perilaku dan pola pikir kita.

Lebih lanjut, Winborne menegaskan butuh lebih banyak dukungan untuk hak perempuan sebagai hak asasi manusia guna menyerukan pendekatan yang lebih etis. Khususnya  di belakang kamera dan lebih banyak keragaman dalam kepemimpinan.

Masyarakat juga harus cerdas dan kritis terhadap apa yang mereka tonton. Lebih baik jeli memilih konten yang akan dinikmati agar mendapatkan pengaruh yang positif pula.

Sebaliknya, Winborne berpendapat, analisis sadar dapat mengakibatkan pergeseran dalam cara kita memahami hubungan dengan produksi bisnis hiburan media dan pengaruh pencipta mereka pada persepsi dunia secara umum.

Tetapi jika kita kembali ke karya seniman dan penghibur yang didiskreditkan, setidaknya kita dapat mencoba memisahkan apa yang dinikmati dari perasaan kita tentang orang-orang yang membuatnya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/06/11/153900520/boikot-karya-saja-tidak-cukup-sikap-kritis-jauh-lebih-penting

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke