Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kenapa Detoks Digital itu Penting?

KOMPAS.com - Teknologi digital memberikan manfaat bagi kita dalam banyak hal. Entah itu urusan pekerjaan, belanja online, atau mencari informasi tertentu, semua bisa diakses melalui perangkat kita.

Namun kita seringkali terlambat menyadari bahwa gaya hidup digital juga dapat memberikan dampak negatif.

Derasnya informasi yang beredar di internet membuat kita sulit mengetahui mana informasi yang akurat.

Ditambah lagi unggahan seorang teman atau kerabat di medsos yang menunjukkan keberhasilan dan kebahagiaan mereka justru menyebabkan kita iri.

Padahal, apa yang ditampilkan seseorang di media sosial tidak selalu menggambarkan kondisi mereka yang sebenarnya.

Jika sudah demikian, satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah melakukan detoks digital, melepaskan diri dari perangkat teknologi atau mengurangi paparan gadget.

Detoks digital memang tidak mudah dilakukan, lantaran gadget telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari.

Namun setidaknya ada empat alasan yang mungkin dapat memperkuat keinginan kita untuk melakukan detoks digital, seperti berikut ini.

1. Media sosial bersifat adiktif dan manipulatif

Media sosial membuat pengguna kecanduan dan memanipulasi perilaku pengguna.

Banyak pihak yang "mengendalikan" pengguna dengan cara-cara yang bisa dibilang mengerikan.

Individu maupun perusahaan bahkan beranggapan, jika mereka berhenti menggunakan media sosial, maka tidak akan ada lagi yang mengenali mereka atau produk mereka.

Menurut sebuah temuan, media sosial membuat kita kecanduan melalui sistem "reward and punishment".

Seperti yang sudah disinggung di atas, kita cenderung tidak menyadari jika kita sedang dikendalikan dan dieksploitasi oleh media sosial.

Karena platform media sosial mudah diakses secara cuma-cuma, orang-orang rela mengorbankan privasi mereka dan menghabiskan waktu untuk membaca komentar atau menonton video di medsos.

"Tinggalkan media sosial dan kita akan memiliki kesempatan untuk melihat lebih nyata tentang diri sendiri dan hidup kita," kata penulis filsafat komputer Amerika, Jaron Lanier.

"Masyarakat secara bertahap memang dibutakan oleh media sosial dan mengalami perubahan standar nilai dan perilaku. Itu membuat orang gelisah," lanjutnya.

2. Media sosial tidaklah nyata

Masalah berikutnya adalah, media sosial tidaklah nyata. Segala sesuatu yang diperlihatkan tidaklah seperti kelihatannya.

Kebanyakan orang hanya memperlihatkan sisi baik dalam hidup mereka, dan kadang-kadang manipulatif atau dibuat-buat.

Kita kemudian sibuk membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain yang kelihatannya jauh lebih hebat. Alhasil kita menjadi tidak bahagia.

Media sosial juga melahirkan banyak kubu yang saling bertentangan. Kita selalu membela keyakinan atau pendapat kita mati-matian, tanpa mau menerima kritik atau pendapat berbeda dari orang lain.

Karena media sosial pula, pengguna dapat memercayai ide atau gagasan yang keliru.

Beberapa orang menyebut kondisi ini sebagai ancaman eksistensial. Sementara Lanier mencatat, media sosial cenderung membuat individu menjadi seorang "penjahat".

Namun cara seperti itulah yang bisa mendatangkan keuntungan bagi perusahaan media sosial.

Keterlibatan pengguna sangat penting. Semakin banyak data yang dihasilkan pengguna, maka semakin besar kemungkinan pengiklan untuk "menguasai" pengguna.

Semua hal seperti ujaran kebencian, berita palsu, atau unggahan yang berpotensi memecah belah menyebabkan keterlibatan pengguna di media sosial tetap tinggi.

Saatnya kita memikirkan ulang apa sebenarnya media sosial, dan apa kegunaan platform tersebut.

3. Media sosial adalah sarana untuk menghasilkan uang

Penyedia platform menanamkan gagasan bahwa media sosial ada karena masyarakat membutuhkan media sosial.

Media sosial lahir untuk mendapatkan perhatian masyarakat melalui iklan. Jika demikian, maka iklan di media sosial tidak berbeda dengan iklan di televisi.

Bedanya, kita tidak terjebak dengan apa yang ditampilkan di televisi karena kita sudah mengetahui bahwa itu merupakan hiburan.

Nah, sudah saatnya kita memperlakukan media sosial sama dengan televisi.

Perubahan perilaku masyarakat terhadap media sosial sejatinya sudah terlihat.

Ada beberapa penelitian yang menemukan bahwa anak-anak usia sekolah mengurangi penggunaan media sosial.

Penelitian lain mengungkap, persentase warganet berusia 20-an yang menganggap media sosial penting bagi mereka sudah menurun menjadi setengahnya.

4. Waktunya rehat dari media sosial

Sayangnya, saat ini penggunaan media sosial kembali tinggi karena kemudahan mengakses teknologi.

Cobalah berhenti menggunakan media sosial, atau bahkan menghapus akun medsos kita. Sampai kapan? Sampai ekosistem media sosial bekerja untuk "melayani" kita, bukan mengendalikan kita.

Berhenti menggunakan media sosial atau detoks digital bukan berarti kita memutuskan diri dari dunia luar.

Satu lagi, dengan detoks digital, kita akan melihat perubahan yang lebih baik.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/06/26/210844820/kenapa-detoks-digital-itu-penting

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke