Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagaimana Seharusnya Orangtua Mengedukasi Anak tentang Film Porno?

Dalam sebuah video berjudul Seperti Apa Suami Idaman Yuni Shara? di kanal YouTube Venna Melinda Channel, ia terbuka dengan anak-anaknya untuk berdiskusi soal film dewasa.

"Enggak mungkin anak-anak kita enggak menonton film (dewasa), film porno. Mau jenis anime, apa segala macam akan ada. Jadi mendingan daripada gini-gini, kita jadi teman aja, misalnya kayak gitu," ujarnya.

Secara umum, Yuni mengatakan komunikasi dengan anak-anaknya begitu santai dan terbuka. Bahkan, teman-teman mereka pun kerap berdiskusi terbuka dengannya.

Lalu, bagaimana seharusnya orangtua mengedukasi anak tentang pornografi?

Robert Lehman, MD, salah satu pendiri Great Conversations, organisasi berbasis di Seattle yang menawarkan kelas dan presentasi tentang pubertas dan seksualitas kepada keluarga, praremaja, dan profesional, menjelaskan kepada Parents bahwa orangtua tak bisa sepenuhnya melarang anak mengakses konten-konten dewasa.

Apalagi internet saat ini bisa diakses di mana saja dan anak juga mudah mengaksesnya lewat ponsel. Bisa saja anak tak sengaja menekan sebuah iklan yang membawanya ke situs dewasa.

"Untuk orangtua yang ingin membentengi anak-anaknya dari internet dan larangan internet, saya katakan itu tidak akan berhasil," katanya.

Ia menambahkan, kesalahan yang dilakukan oleh banyak orangtua adalah langsung melarang atau mengecam anak karena melakukan sesuatu dan mengecapnya sebagai aktivitas buruk tanpa pernah membahas hal positifnya.

Sebab, anak malah akan bertanya-tanya mengapa orangtuanya melarang dan mengecap objek tersebut hal yang buruk, padahal banyak orang yang melakukannya.

Edukasi seks

Seperti dilakukan Yuni Shara, penting untuk membangun diskusi dengan anak soal pornografi.

Robert mengatakan, anak laki-laki dan perempuan di kelasnya rata-rata berusia 10-12 tahun. Namun, percakapan tentang seks sebetulnya bisa dimulai lebih dini. Dimulai dengan memberi tahu anak bahwa untuk tidak membiarkan orang lain sembarangan menyentuh mereka.

Mengutip pemberitaan Kompas.com, Sabtu (21/11/2021),, psikolog anak dan keluarga, Samanta Elsener, MPsi mengatakan, jika orangtua mau berbicara terbuka, anak cenderung akan menjadikan orangtua sebagai sumber pengetahuan dan wawasan utama bagi mereka.

Dengan begitu, anak tidak akan mencari atau mendapatkan informasi seks dari sumber yang tidak tepat.

Edukasi seks sebetulnya bisa dilakukan sejak anak baru lahir dengan mengenalkan alat kelaminnya.

Orangtua disarankan tidak mengganti nama alat kelamin dengan istilah-istilah lain agar kelak anak tidak bingung mengenai fungsi organnya.

"Bicara seks berarti respek, bagaimana menghargai anak dan diri sendiri ketika membiasakan dengan "permisi. Mama mau bersihin alat kelamin kamu karena kotor"."

"Itu menimbulkan rasa percaya dan rasa aman pada anak," katanya.

Seiring bertambahnya usia, keingintahuan anak terus bertambah. Orangtua diharapkan mampu menjelaskannya dengan baik.

Misalnya, ketika anak bertanya tentang dari mana bayi berasal.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Samanta menyarankan agar orangtua bertanya balik kepada anak, dari mana dia mendapatkan pengetahuan itu.

Jika anak menjawabnya dengan "perut", maka orangtua dapat mengoreksi kekeliruan informasi tersebut bahwa bayi keluar dari rahim.

"Kalau anak bertanya lagi, berarti dia mau tahu lebih jauh. Setiap dia tanya, tanya balik lagi dia sudah tahu sejauh apa, tahu dari mana," ucapnya.

Jika keingintahuan anak tinggi dan terus bertanya tentang prosesnya, orangtua bahkan bisa menjelaskan tentang proses persalinan, namun dengan bahasa yang dipahami anak.

Usahakan tidak justru memberi penjelasan yang membuat anak merasa takut dengan proses persalinan, terutama jika anak tersebut perempuan.

Menurut Samanta, orangtua bisa berhenti membicarakannya ketika anak berhenti bertanya.

Sebab ketika anak bertanya, artinya dia sudah siap dengan keingintahuan dia dan jawabannya.

"Ketika tidak bertanya, kita semakin jauh menjelaskannya. Informasi terlalu berlebihan akan sulit dicerna oleh anak," ungkapnya.

Selain itu, kita juga bisa mengajak anak main ke toko buku atau membaca buku tentang pubertas dan tumbuh dewasa.

Robert menyarankan untuk membacanya bersama anak.

"Keluarkan setiap buku dari rak (toko buku), sebarkan di atas meja dan kalian berdua bisa tertawa bersama saat melakukannya."

"Beberapa buku mungkin bakal terlalu dewasa untuk anak kita atau terlalu banyak teks. Nah, buku yang tepat dan sesuai tahap perkembangan anak adalah yang paling pas untuk diketahuinya," kata dia.

Sementara itu, menurut laman Verywell Family, selain mengajarkan anak tentang seks, orangtua juga perlu mengedukasi anak bagaimana seks digambarkan dalam pornografi.

Dengan begitu, anak bisa membedakan mana gambaran yang nyata dan tidak. Lalu, berilah edukasi bagaimana seks yang aman dan bertanggungjawab.

Namun tentunya, ini diberikan ketika usia anak sudah cukup besar. Pada usia di bawah 10 tahun, misalnya, anak tak seharusnya mendapatkan rincian tentang pornografi.

"Di usia tersebut kita ingin mengajari anak agar mereka bisa mengatakan kepada kita jika mereka tak sengaja mengeklik sesuatu yang berbau pornografi. Jadi, orangtua bisa membantu memproses yang mereka alami."

"Pembicaraan tentang film porno bisa menjadi bagian dari diskusi tentang seks dan seksualitas secara keseluruhan."

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/06/27/084927120/bagaimana-seharusnya-orangtua-mengedukasi-anak-tentang-film-porno

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke