Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

11 Kalimat yang Bisa Hancurkan Kepercayaan Anak pada Orangtua

Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa hal yang paling penting dalam hubungan antara orangtua dan anak adalah rasa percaya.

Sayangnya, terkadang orangtua tidak menyadari bisa merusak kepercayaan anak lewat kata-kata yang dilontarkan dari mulut mereka.

Apa saja kalimat yang dapat merusak kepercayaan anak pada orangtua?

1. “Jika kamu melakukannya lagi, Ayah akan menghukummu seumur hidup”

Anak tahu pasti sejauh mana mereka bisa menekan orangtuanya. Mereka juga menyadari saat orangtua kehilangan kendali dan mulai membuat peringatan yang tidak mungkin dilakukan.

Menakut-nakuti anak dengan mengatakan akan menghukum dia seumur hidup tentu tidak akan dipercayai anak, dan membuat orangtua terlihat tidak bisa dipercaya.

Alih-alih menakut-nakuti, gunakan konsekuensi yang benar-benar bisa dilakukan, Menyita ponsel atau mengubah kata sandi WiFi, misalnya.

Jangan membuat konsekuensi “kosong.” Sebab, anak harus mempercayai apa yang dikatakan orangtuanya.

2. “Apa kamu ingin dipukul?”

Meski sebenarnya orangtua tidak berniat buruk, jangan pernah mengancam akan memberi hukuman fisik pada anak.

Lebih baik, perlakukan anak layaknya manusia. Dengarkan dan pertimbangkan cerita mereka.
Rasa saling menghormati antara orangtua dan anak diperlukan untuk membangun kepercayaan.

“Penting bagi orangtua untuk menyadari bahwa hancurnya kepercayaan anak bisa diakibatkan oleh apa dan bagaimana orangtua mengatakan sesuatu.”

Demikian kata Jeffrey Bernstein, PhD, penulis buku 10 Days to a Less Defiant Child.

“Nada yang agresif dan bahasa tubuh orangtua dapat membuat anak dan remaja tidak percaya pada orangtua mereka,” tambah dia.

3. “Nanti Ibu laporkan pada ibu guru, loh”

Saat orangtua merasa bahwa dirinya tidak dihormati anak, biasanya mereka akan menggunakan figur otoritas lain untuk memperkuat posisi mereka.

Mengatakan pada anak bahwa orangtua akan memberikan informasi pribadi pada guru akan merusak kepercayaan anak, membuat orangtua tidak lagi terlihat aman.

Rumah harus menjadi tempat pribadi dan aman bagi seorang anak, benar-benar terpisah dari sekolah.

Alih-alih membuat ancaman palsu tentang membagikan hal pribadi, seperti anak yang menolak mengerjakan pekerjaan rumah (PR), cobalah untuk memberi anak dua pilihan.

Misalnya, saat anak menolak mengerjakan PR, tawarkan apakah dia ingin mengerjakan sebelum atau sesudah makan malam.

Memberi anak sedikit kuasa dapat membuat anak patuh.

4. “Selalu saja berbuat begitu”

Menggunakan bahasa yang tidak baik bisa menjadi bumerang bagi orangtua.

Bahasa yang buruk dapat memperlebar jarak antara anak dan orangtua, serta mengisolasi anak dari orangtua.

Anak perlu melihat apakah orangtua mereka menyadari kekuatan dan kelemahan mereka, serta tidak mencari-cari kesalahan anak.

Berusahalah untuk memusatkan perhatian pada situasi saat ini. Jika kesalahan anak terus menjadi masalah, akan lebih baik untuk menggunakan pernyataan "kita" dibanding "kamu".

Misalnya, jika seorang anak berulang kali meninggalkan mainannya di ruang tamu, cobalah katakan, “wah, sepertinya kita susah nih buat mengingat dan mengambil mainan sendiri."

"Ayo kita mengambilnya bersama-sama. Ibu harap, kita bisa ingat buat membersihkannya setelah selesai bermain nanti.”

Anak-anak yang merasa bahwa orangtua mereka berada di pihaknya akan termotivasi untuk berusaha mengesankan orangtua di masa depan.

5. “Katakan pada nenek apa yang kamu lakukan tadi pagi”

Setelah anak melakukan kesalahan, beberapa orangtua biasanya membuat anak mengakui kesalahan itu pada orang lain agar anak bertobat.

Hal ini bukan hanya mempermalukan dan menyakiti anak, tetapi membuat anak tidak lagi mempercayai orangtua sebagai tempatnya mencurahkan emosi.

Orangtua, harus menjadi orang pertama yang memantau perkembangan emosional dan sosial anak, termasuk melihat berbagai kesalahan yang menjadi bagian perkembangan anak.

Anak selalu ingin membuat orangtua senang dan akan bekerja keras untuk mencapai tujuannya itu jika orangtua menyadari perilaku positif yang mereka buat.

Jadi, saat meminta anak untuk mengungkapkan pengalaman memalukan itu, orangtua bisa mengikis kepercayaan anak, yang seharusnya menjadi pelindung mereka.

Ketika anak-anak membuat kesalahan, bantu mereka menyadari bahwa mereka tidak membuat pilihan yang cerdas. Ampunilah anak dan move on.

Jaga kerahasiaan insiden yang telah terjadi. Dan jika orangtua membaginya dengan seseorang, lakukanlah secara pribadi, jauh dari anak.

6. “Apa kamu tahu kalau ayah selingkuh?”

Salah satu hal terbaik dalam masa kanak-kanak adalah sisi polos dan keyakinan mereka pada berbagai hal di dunia ini.

Anak akan merasa paling aman saat orangtua mereka adalah orang dewasa yang percaya diri, mampu, dan kuat dalam menangani masalah orang dewasa dan membiarkan anak-anak tetap memiliki kepolosannya.

Saat orangtua membicarakan masalah yang tidak pantas, hanya kebingungan, ketakutan, dan rasa depresi yang timbul pada anak.

“Mungkin orangtua selalu tergoda untuk curhat dan membuat anak mendukung kita saat terlibat konflik dengan orangtua lain."

"Namun, tahan diri,” kata Kathy Eugster, MA, konselor dan terapis bersertifikat.

“Meski anak terlihat senang dan bisa beradaptasi, meminta dukungan pada anak bisa menghancurkan rasa kepercayaan anak dan menjadi masalah di kemudian hari,” tambah dia.

Kathy berpendapat, hal yang diperlukan anak adalah melihat bagaimana orangtua mengendalikan hal yang terjadi dan memahami apa yang dilakukan.

Ingatlah, mereka anak-anak dan orangtua adalah orang dewasa dengan masalah orang dewasa.

7. “Gak sakit kok”

Orangtua biasanya mencoba untuk meminimalisasi rasa sakit anak. MIsalnya, dengan mengatakan bahwa disuntik itu tidak sakit.

Memang, luka suntik kecil akan sembuh dengan sendirinya. Namun, tidak merasakan sakit sama sekali setelah disuntik itu tidak mungkin.

Saat orangtua menjanjikan pada anak bahwa sebuah suntikan tidak menyakitkan dan ternyata tidak, rasa percaya antara orangtua dan anak melemah.

Meski orangtua ingin meminimalisasi rasa sakit anak, kehilangan kepercayaan bisa lebih merusak dalam jangka panjang.

Lebih baik, katakan, “Ini akan sakit sedikit. Tapi tidak apa-apa, pasti cepat selesai kok."

"Menangis juga tidak apa-apa, Ibu akan memegang tanganmu. Ibu bangga sekali pada kamu karena membiarkan dokter membuat kamu tetap sehat!”

8. “Kamu keras kepala ya, sama seperti ayah”

Setiap anak ingin merasa penting dan dilibatkan, meski ada di antara orang dewasa.

Saat orangtua melibatkan anak dalam suatu diskusi dan berbicara dengan mereka, akan terlihat rasa menghargai bagi anak.

Meski orangtua mengatakannya dalam nuansa candaan, anak tetap akan memperhatikan.

Selain itu, mengatakan kalimat seperti, “dia belum tahu kalau saya bisa mengabaikan rengekannya setiap hari,” hanya akan menyakiti dan menghancurkan kepercayaan anak.

Meski mungkin anak belum memahami kata-kata orangtua secara rinci, dia bisa memahami rasa frustasi atau sarkasme.

Jadi, berusahalah untuk melibatkan anak dalam percakapan yang saling menghormati dengan orang dewasa lain, dan hindari berbicara "berlebihan" tentangnya kepada orang lain.

Hal sederhana seperti ini dapat menghormati anak dan menunjukkan kalau orangtua bisa dipercaya.

9. “Kalau nilaimu bagus, kita pergi jalan-jalan ya”

Janji yang tidak realistis sama menyakitkannya dengan ancaman negatif.

Orangtua mungkin merasa senang saat dia bisa memotivasi anak untuk mencapai tujuan, tetapi rasa bangga anak akan hilang jika orangtua tidak dapat memenuhi janji mereka.

Kecuali orangtua berniat untuk menepati janji, hindari untuk membuat janji sejak awal.

Cobalah mendorong anak dengan hadiah sederhana yang tidak bersifat material, seperti waktu yang dihabiskan keluarga bersama-sama, kepuasan pribadi yang akan didapatkan dari mencapai tujuan, dan kata-kata pujian dan penegasan.

10. “Saat kecil, ibu tidak pernah melakukan ini…”

Jika ingin membuat anak merasa aman saat membagikan informasi pribadi, orangtua harus meyakinkan mereka.

Artinya, jangan menghakimi atau menjelaskan bagaimana sebagai orangtua, kita tidak pernah membuat kesalahan sebelumnya.

Namun ini bukan berarti bahwa tindakan anak tidak memiliki konsekuensi, hanya saja anak bisa datang pada orangtua untuk menceritakan suatu masalah, atau ketika dia sedang bingung.

“Sangat penting bagi orangtua untuk menunjukkan penghargaan kepada anak ketika dia curhat atau berbagi hal-hal yang sulit,” kata Dr. Bernstein.

Dr. Bernstein menambahkan, terlalu banyak orangtua membiarkan kecemasannya sendiri berakhir pada penghakiman, daripada berterima kasih kepada anak atau remajanya karena mengambil risiko untuk berbagi perasaan yang sulit.

11. “Ibumu terlalu sibuk saat ini, sampai lupa dengan kita”

Anak tidak membutuhkan setiap detail dari situasi sulit, tetapi ia berhak mengetahui kebenaran dasar.

“Anak-anak perlu tahu sedikit tentang apa yang terjadi antara orangtuanya saat ada konflik orangtua."

"Jadi, orangtua harus jujur dengan anak secara singkat dan meyakinkan,” kata Kathy.

Kathy menambahkan, orangtua juga tidak boleh memberikan penjelasan panjang lebar atau detail emosional dari konflik tersebut.

Penjelasan singkat yang penting saja seperti, orangtua sedang mengalami masalah dalam hubungan atau menyepakati berbagai hal.

Atau, ada beberapa upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah atau mendapatkan bantuan.

Selain itu, yang tak kalah penting bagi anak adalah mengetahui bahwa orangtua tetap mencintainya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/07/22/114125820/11-kalimat-yang-bisa-hancurkan-kepercayaan-anak-pada-orangtua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke