Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Psikologi Terbalik dalam Parenting, Baik atau Buruk?

Biasanya, ketika menerapkan strategi ini, orangtua akan menggunakan kata-kata seperti "jangan" atau "tidak seharusnya", tapi mengharapkan respons sebaliknya.

Sederhananya, Psikolog Keluarga dan Pernikahan dari Rumah Dandelion, Nadya Pramesrani menjelaskan, reverse psychology adalah strategi yang digunakan untuk membuat seseorang melakukan apa yang kita mau dengan cara meminta mereka melakukan hal yang sebaliknya.

Tujuannya adalah membuat orang tersebut melakukan apa yang kita kehendaki.

Contohnya, ketika kita ingin anak belajar menggunakan gunting dengan baik dan benar. Menyuruhnya langsung untuk belajar menggunakan gunting mungkin tidak akan berhasil, tapi melarangnya menggunakan gunting malah mungkin menghasilkan respons sebaliknya.

"Misalnya anak TK lagi belajar menggunakan gunting. "Kamu jangan pakai gunting, belum bisa. Nanti tangannya malah tergunting atau melukai diri sendiri. Bahaya, kamu belum bisa". Reactance anak mungkin mau membuktikan bahwa kita salah sehingga dia coba melakukan."

"Padahal, sebetulnya mungkin yang diinginkan mama dan papanya adalah anak berlatih menggunakan gunting," katta Nadya kepada Kompas.com, Senin (26/7/2021).

Ia menjelaskan, pola pikir yang ada di belakang reverse psychology adalah setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan akan otonomi atau kebebasan terhadap dirinya sendiri. Ini tak hanya pada anak, tetapi juga pada orang dewasa.

Ketika merasa otonominya terancam, maka muncul reaktansi (reactance) atau perlawanan sebagai reaksi kognitif untuk mencoba mengembalikan otonomi tersebut.

"Kita memberikan ilusi kepada orang bahwa otonominya kita ambil. Itu memancing orang tersebut untuk mencoba mengambil kembali (otonomi) dengan melakukan hal sebaliknya."

"Itu seperti menunjukkan: aku akan membuktikan kamu salah," ucap Nadya.

Kapan reverse psychology efektif?

Strategi ini tak selalu efektif. Efektivitasnya ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk ketepatan waktu (timing), karakteristik orang yang menjadi sasaran, hingga kebutuhannya.

"Ini kan kaitannya strategi. Artinya, perlu tahu kepada siapa dan kapan menggunakannya dengan tepat," kata Nadya.

Mengenai karakteristik, ada sifat-sifat tertentu yang membuat strategi psikologi terbalik menjadi lebih efektif ketika diterapkan pada individu tersebut.

Ketika diterapkan pada orang-orang dengan emosi yang lebih intens dan memiliki energi tinggi lebih, misalnya, cenderung akan lebih efektif daripada jika diterapkan pada orang-orang dengan sifat sebaliknya.

Nadya mengingatkan, jika tidak diterapkan pada orang yang tepat, strategi ini malah bisa menjadi bumerang.

"Pada kelompok orang yang istilahnya adem ayem saja, mungkin ketika dikasih pendekatan seperti ini tidak memunculkan reactance-nya dia, malah menjadi terinternalisasi di dalam diri dia: "oh kata mama aku enggak bisa, ya sudah aku enggak bisa"."

"Jadi intinya bukan tidak boleh atau jangan digunakan. Tapi jangan digunakan terus-menerus. Lihat dari segi kesesuaian dengan konteksnya, kebutuhan, dan karakteristik lawan bicara kita," katanya.

Bukan pola komunikasi sehat

Meski banyak digunakan dalam konteks parenting atau pengasuhan anak, namun strategi ini perlahan sudah mulai ditinggalkan.

Sebab, reverse psychology yang terus-menerus diterapkan akan memunculkan kesan manipulatif dan pada akhirnya mengganggu relasi secara keseluruhan.

Strategi ini mengesankan adanya "tujuan terselubung", sehingga ketika sering digunakan akan menghambat terciptanya komunikasi yang terbuka.

Hal ini tidak baik, terutama jika diterapkan pada anak.

"Reverse psychology adalah strategi, bukan pada pola komunikasi yang sehat."

"Kalau terus-menerus dilakukan orang akan merasa apa yang jadi omongan kita tidak bisa dipegang, orang akan memiliki perasaan dimanipulasi oleh kita," ucapnya.

Nadya menambahkan, para orangtua saat ini lebih memilih memberikan pilihan pada anak-anaknya alih-alih mengatakan pada anak kalimat seperti "kamu tidak bisa melakukan itu" atau "kamu tidak boleh melakukan itu", lalu berharap mereka melakukan hal sebaliknya.

"Jadi, orangtua sekarang lebih memberikan pilihan A,B,C, mana yang mau anak lakukan. Akhirnya tidak ada manipulasi di sana, ada komunikasi terbuka, agar anak punya otonomi pribadi juga difasilitasi," kata dia.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/07/27/150807720/psikologi-terbalik-dalam-parenting-baik-atau-buruk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke