Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menurut Riset, Pandemi Bikin Teori Konspirasi Makin Menjadi-jadi

KOMPAS.com - Virus bukan satu-satunya problema yang harus dihadapi dalam penanggulangan pandemi Covid-19.

Beragam teori konspirasi yang berkembang di media sosial dan grup whatsapp menjadi musuh yang tak kalah mematikan.

Pemerintah maupun tenaga kesehatan terus melakukan edukasi agar pendemi bisa lebih cepat berakhir. Masyarakat dianjurkan menyegerakan vaksinasi, disiplin menerapkan protokol kesehatan, dan berbagai informasi bermanfaat lainnya.

Faktanya, narasi positif itu kerap terhalang berbagai hoax dan teori konspirasi yang terus berkembang dan, sayangnya, memiliki banyak penggemar.

Rasanya, pecinta konspirasi dan berbagai kecurigaan tersebut malah semakin banyak bermunculan di masa pandemi.

Mulai dari anggapan di-covid-kan, nakes yang mendapat keuntungan sampai hoax pemasangan chip pada manusia lewat vaksinasi.

Semuanya terasa konyol namun, herannya, dipercaya oleh banyak kalangan dari berbagai latar belakang.

Rupanya, hal itu tak hanya terjadi di Indonesia saja namun juga di Amerika Serikat. Phil Corlett, seorang profesor psikologi di Universitas Yale, di New Haven, Connecticut mengatakan pandemi memberikan efek samping lain yang tak kalah buruk dibandingkan virus itu sendiri.

"Psikologi kita secara besar-besaran dipengaruhi oleh keadaan dunia di sekitar kita," ujarnya.

Riset yang dilakukannya membuktikan, paranoia dan kepercayaan pada teori konspirasi berkembang terutama di daerah dengan kepatuhan rendah terhadap keharusan menggunakan masker.

Ketika pandemi dimulai, Corlett dan rekan-rekannya sudah mempelajari peran ketidakpastian dalam perkembangan paranoia (delusi dianiaya atau merasa sangat takut).

Penelitian dilakukan lewat permainan kartu sederhana di mana aturan bisa tiba-tiba berubah, memicu peningkatan paranoia dan perilaku tidak menentu di antara para peserta.

"Kami terus mengumpulkan data melalui lockdown dan kebijakan pelonggaran yang dilakukan," kata Corlettnya.

"Itu adalah salah satu insiden langka dan kebetulan di mana kami dapat mempelajari apa yang terjadi ketika dunia berubah dengan cepat dan tak terduga."

Lewat survei online dan permainan kartu yang sama, para peneliti mendeteksi peningkatan tingkat paranoia dan perilaku tidak menentu di antara populasi umum di Amerika Serikat selama pandemi.

Tingkatannya jauh lebih tinggi di negara bagian yang mewajibkan penggunaan masker, dibandingkan negara-negara dengan pembatasan yang lebih longgar.

Namun paranoia tertinggi muncul di daerah yang tingkat kepatuhannya terendah, sekaligus terdapat orang-orang yang merasa bahwa aturan harus diikuti.

"Pada dasarnya orang menjadi paranoid ketika ada aturan dan orang-orang tidak mengikutinya," kata pakar yang juga menulis buku ini.

Studi ini juga menemukan, orang dengan tingkat paranoia yang lebih tinggi lebih cenderung mendukung konspirasi tentang pemakaian masker dan vaksin.

Dukungan termasuk pada teori konspirasi anonim bahwa pemerintah melindungi politisi dan selebritas Hollywood yang terlibat jaringan pedofilia nasional.

Corlett mencatat teori konspirasi telah berkembang di masa lalu selama masa-masa sulit. Misalnya saja teori bahwa serangan teroris 9/11 sebenarnya diatur oleh pemerintah AS.

"Dalam masa trauma dan perubahan besar, sayangnya, kita cenderung menyalahkan kelompok lain," katanya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/08/02/140547320/menurut-riset-pandemi-bikin-teori-konspirasi-makin-menjadi-jadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke