Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Survei: Mayoritas Masyarakat Indonesia Alami Rasa Kesepian

Faktanya, mayoritas masyarakat Indonesia ternyata mengalami kesepian setidaknya dalam sebulan terakhir.

Hal itu terungkap dari hasil survei kesehatan mental masyarakat Indonesia pada Mei-Juni 2021 yang dilakukan oleh Into The Light dan Change.org bertepatan dengan Bulan Kesehatan Mental.

Into The Light sendiri adalah sebuah komunitas yang punya misi utama untuk mencegah bunuh diri remaja di Indonesia.

Survei dilakukan karena di Indonesia dianggap belum ada hasil evaluasi yang cukup komprehensif atas informasi dan layanan kesehatan mental, maupun literasi kesehatan mental yang dimiliki.

Hasil survei mengungkapkan, sekitar 98 persen partisipan merasa kesepian dalam sebulan terakhir.

Berdasarkan hasil survei, kesepian ini ditemukan merata di seluruh anggota kelompok umur, area domisili, suku, riwayat pendidikan, pekerjaan, agama, jenis kelamin, ketertarikan seksual, status HIV dan disabilitas (95-100 persen anggota setiap kelompok merasa kesepian).

Dari jumlah tersebut, sekitar 40 persennya memiliki pemikiran melukai diri sendiri maupun berpikir untuk bunuh diri dalam dua minggu terakhir.

Sayangnya, berdasarkan hasil survei tersebut, stigma atau pandangan negatif terhadap bunuh diri masih sangat kuat. Hal ini tercermin dari tidak ada partisipan yang menjawab seluruh pertanyaan tentang fakta dan mitos bunuh diri dengan benar.

Misalnya, partisipan menganggap bahwa menanyakan keinginan bunuh diri kepada seseorang akan memicu keinginan bunuh diri sebagai fakta. Padahal, anggapan tersebut tidak benar.

"Ini adalah mitos, justru menanyakan hal tersebut dapat membantu mencegah keinginan orang untuk bunuh diri,” kata peneliti pascadoktoral University of Macau sekaligus mitra Into The Light, Andrian Liem, seperti dikutip Kompas.com dari keterangan tertulis.

Survei juga mengungkapkan, lebih banyak partisipan yang meyakini anggota keluarga dan teman dekat berjenis kelamin sama adalah sosok yang lebih membantu mereka dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dibandingkan dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.

Hal ini juga selaras dengan hasil survei yang menemukan bahwa hampir 70 persen dari total partisipan mengaku tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental dalam tiga tahun terakhir.

Alasan yang dominan adalah biaya layanan kesehatan mental dianggap tidak terjangkau.

Menurut Andrian, keyakinan tersebut menunjukkan bahwa partisipan membutuhkan dukungan sosial. Namun, perlu ditekankan bahwa para profesional punya keahlian untuk membantu mengatasi masalah tersebut.

"Perlu diingat bahwa tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki keahlian dalam menangani kesehatan mental dan dapat menjaga rahasia klien yang berkonsultasi,” ucap Andrian.

Bagi orang-orang yang mengalami kesepian, Andrian menyarankan untuk tidak menyembunyikannya dan berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan jiwa.

"Di masa sulit seperti ini, merasa kehilangan, kesepian, tidak baik-baik saja adalah hal yang wajar dan tidak perlu disembunyikan."

"Jika merasa tidak baik-baik saja, lebih baik mengakses layanan kesehatan jiwa lewat aplikasi daring atau BPJS Kesehatan di pelayanan kesehatan di sekitarmu. Jika tidak yakin apakah Puskesmas terdekat dari tempat tinggal kamu menyediakan layanan kesehatan jiwa, datangi langsung dan tanyakan,” ungkapnya.

Biaya konsultasi untuk kesehatan jiwa bagi pemilik kartu BPJS dapat ditanggung dengan gratis. Namun, tujuh dari 10 partisipan survei tidak tahu tentang informasi ini.

Hasil temuan lain adalah hampir 70 persen partisipan yang pernah mengakses layanan kesehatan mental berkonsultasi secara daring (online).

Dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, Psikiatri yang aktif melayani pasien di Siloam Hospitals Bogor mengatakan, jumlah kunjungan poliklinik kesehatan jiwa meningkat semasa pandemi, namun sebagian besar dari mereka sudah memiliki keluhan berat.

Jiemi menduga, hal itu disebabkan banyak orang terbiasa menunggu gejala yang benar-benar berat baru mencari pertolongan kepada profesional kesehatan jiwa.

"Hal ini karena permasalahan kesehatan jiwa masih dianggap tidak seserius permasalahan kesehatan fisik, sehingga cenderung diabaikan,” ucapnya.

Untuk itu, Jiemi menggarisbawahi pentingnya agar pemerintah dan instansi terkait bisa bekerjasama dengan komunitas-komunitas terdekat untuk menjangkau target masyarakat yang lebih tepat untuk menangani masalah ini. Hal itu dibutuhkan demi memperkecil hambatan untuk mendapat layanan kesehatan jiwa.

Adapun survei kesehatan mental tersebut diikuti secara daring oleh 5.211 responden yang mayoritas berdomisili di 6 provinsi di Pulau Jawa.

Latar belakang peserta survei beragam secara demografi, misalnya jenis kelamin, kelompok usia, kondisi disabilitas, ketertarikan seksual dan status HIV.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/08/16/082404320/survei-mayoritas-masyarakat-indonesia-alami-rasa-kesepian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke