Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Google Berinisiatif Merekrut Lebih Banyak Penderita Autis

KOMPAS.com – Google mengumumkan bahwa pihaknya akan memprioritaskan untuk mempekerjakan lebih banyak penderita autis dengan menyesuaikan pendekatan wawancara bagi pelamar neurodivergent.

Perusahaan ini akan melatih hingga 500 manajer perekrutan dan mereka yang terlibat dalam proses perekrutan agar dapat berempati ketika berinteraksi dengan kandidat autis.

Untuk melakukannya, Google bekerjasama dengan Stanford Neurodiversity Project yang bertujuan untuk membangun budaya yang menghargai neurodivergensi dan memberdayakan orang-orang neurodivergen "berbakat" melalui pelatihan dan kesempatan kerja.

Google pun berharap untuk memerangi tingkat pengangguran yang tinggi dari penderita autis dengan menghancurkan hambatan terhadap akses pekerjaan yang adil.

Hambatan dalam proses wawancara

Namun, mengubah proses wawancara bukan tanpa hambatan.

Contohnya, meski Rob Enslin, Presiden dari Global Customer Operations untuk Google Cloud, menuliskan bahwa pihaknya akan memyoroti kebutuhan kandidat yang tidak melakukan kontak mata atau meminta waktu tambahan untuk menyelesaikan tugas dan ingin menawarkan fleksibilitas dalam struktur wawancara, tetap saja ada beberapa permasalahan.

Pasalnya, menurut Lyric Holmans, seorang Konsultan Neurodiversity autis, banyak orang neurodivergen kesulitan untuk memenuhi standar neurotipikal dalam keramahan.

Mereka juga kerap tidak paham bagaimana mengungkapkan keterampilan mereka, serta mengalami kecemasan, yang bisa dipandang sebagai “tanda bahaya” oleh para pewawancara.

Beberapa dari mereka juga kerap mengalami kesulitan saat menghadapi pertanyaan yang kurang jelas. seperti "Bagaimana Anda membuat sandwich PB & J?" yang membuat mereka tidak bingung dan tak menangkap maksud pewawancara.

Selain itu, pendekatan tidak langsung dalam pertanyaan wawancara ini sering dianggap membingungkan orang-orang yang neurodivergen. Pasalnya, mereka menganggapnya tidak relevan dengan pekerjaan.

Holmans menggarisbawahi bahwa beberapa orang neurodivergen merasa lebih baik jika mereka dapat menunjukkan keterampilan konkret mereka dengan portofolio, presentasi tentang keahlian mereka, atau simulasi.

Ia juga berpendapat bahwa rencana Enslin belum tentu fleksibel, meski Google menawarkan beberapa "akomodasi yang masuk akal,” seperti waktu wawancara yang diperpanjang, akses lanjutan ke pertanyaan, dan opsi untuk merespons dalam bentuk tertulis.

Begitu pula dengan rencana Stanford untuk melatih pelamar yang mendaftar ke Google melalui program mereka.

Lalu, Sarah Selvaggi Hernandez, seorang terapis okupasi autis, menambahkan bahwa orang-orang neurodivergen mungkin kesulitan dengan waktu kedatangan dan follow-up yang tidak jelas. Pasalnya, mereka membutuhkan pedoman jelas dan lebih fleksibel.

Ia juga menambahkan bahwa Google lebih baik meminimalisir penggunaan sistem otomatis selama proses perekrutan berlangsung yang mungkin akan menguntungkan pelamar lain juga.

Selvaggi Hernandez pun berpendapat bahwa meskipun perubahan yang diusulkan Google akan membantu beberapa pelamar, Google harus mengambil langkah tambahan untuk menyelaraskan kebutuhan setiap pelamar dan mempromosikan pengalaman yang lebih sehat bagi semua kandidat, bukan hanya mereka yang autis.

Menciptakan lingkungan kerja yang aman

Untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, Holmans mengatakan bahwa pihaknya terbiasa mendorong semua orang untuk berbagi tentang neurodivergensi mereka di tempat kerja. Sebab, hal ini dapat memecah stigma dan meningkatkan konsep penerimaan.

Namun di saat yang sama, Holmans menyadari bahwa bersikap terlalu terbuka itu berisiko.

Holmans pun mengakui bahwa di beberapa tempat kerja yang tidak bersahabat, orang autis kemungkinan besar diperlakukan secara berbeda.

Mungkin saja orang-orang akan memandang rendah kebutuhan penderita autis, memandang mereka sebelah mata, atau mengabaikannya dalam promosi jabatan.

Jadi, dibanding meminta agar penderita autis membuka diri, Holmans merekomendasikan agar orang lain lah yang menawarkan dukungan dan menciptakan budaya yang lebih akomodatif, baik dalam wawancara maupun di tempat kerja.

Pemimpin pun harus terus mencari cara terbaik untuk mendukung kandidat dan rekan kerja dengan autisme serta menawarkan pilihan sehingga mereka memahami cara melakukan perubahan dan follow-up.

Lalu, kita perlu membiarkan orang lebih manusiawi di tempat kerja. Seringkali, budaya perusahaan meminta orang-orang untuk menyembunyikan bagian dari diri mereka sendiri, kelemahan mereka-misalnya.

Holmans juga menyoroti bahwa saat tempat kerja memandang kelemahan sebagai hal memalukan, orang-orang akan sulit meminta bantuan saat mereka membutuhkannya, apalagi, jika masalah disabilitas, sistem pendukung, dan akomodasi lainnya menjadi hal yang tabu.

Padahal, lingkungan kerja sehat yang sehat akan membuat orang lain mendukung dan menerima semua kelebihan dan kekurangan seseorang apapun diagnosisnya.

Holmans juga menyebut bahwa orang-orang neurodivergen sering mengalami kesulitan dalam memproses perubahan. Untuk itu, Stanford berencana untuk memberikan dukungan berkelanjutan pada karyawan baru di Google.

Selain itu, Stanford juga akan mendukung rekan tim neurotipikal dari orang autis untuk memastikan bahwa orientasi dan aspek pekerjaan lainnya lebih mudah diakses.

Komunikasi di tempat kerja pun terkadang dipandang tidak jelas, membuat orang autis bingung dan terpaksa berkontribusi pada lingkungan yang tidak bersahabat.

Untuk itu, ia mengatakan bahwa atasan harus membuat rencana proaktif untuk mengatasi kelelahan autis, atau kelelahan hebat yang disebabkan efek kumulatif dari menjalani dunia yang dibangun untuk orang-orang neurotipikal.

Karena itu, jika kita melihat orang-orang neurodivergen meninggalkan organisasi, tentu ada sesuatu yang salah.

"Disregulasi sensorik adalah mimpi buruk yang tidak hanya merusak keterampilan fungsi eksekutif yang dibutuhkan untuk bekerja, namun menyebabkan kerusakan pada pikiran, tubuh, dan jiwa seseorang jika dibiarkan menumpuk," jelasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa budaya neurodivergent menekankan otonomi dan fleksibilitas untuk pengaturan diri.

Selain itu, ia menjelaskan bahwa penderita autis juga perlu bergerak, duduk dengan nyaman, istirahat, mengatur suhu mereka, dan makan atau minum sesuai kebutuhan.

Lalu, jika setiap karyawan memiliki otonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka sendiri, siapa pun yang membutuhkannya dapat melakukannya. Pilihan fleksibel untuk pencahayaan, aliran udara, dan kebisingan juga membantu.

Manajer juga harus mempertimbangkan gangguan pemrosesan, termasuk perbedaan pendengaran dan visual. Selain itu, dukungan fungsi eksekutif terkait proses rekrutmen harus menjadi tujuan utama.

Selain itu, Selvaggi Hernandez menjelaskan bahwa manajer harus belajar bagaimana cara agar seseorang dapat bekerja dengan baik dan mengajak mereka untuk menemukan ritme kerja mereka sendiri dan lebih memperhatikan kebutuhan individu.

Ia juga mencatat bahwa selama pandemi, beberapa perusahaan menerapkan sistem yang telah dilakukan oleh para pendukung disabilitas ini selama beberapa dekade. Ia juga menilai bahwa melindungi dan mengintegrasikan aksesibilitas memang diperlukan seorang atasan agar bisa terus bergerak maju.

Inisiatif baru Google ini diharapkan dapat membangun sistem yang memerangi dan mengatasi kelelahan penderita autis. Selan itu, mendengarkan kebutuhan karyawan tentu akan meningkatkan kesehatan mereka, kan?

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/08/19/160056820/google-berinisiatif-merekrut-lebih-banyak-penderita-autis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke