Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mampir ke Kampung “Paletok”, Cibaduyut Mini di Bandung Selatan

Wajar saja. Sejak era 1920an, banyak warga Cibaduyut yang bekerja di pabrik sepatu. Mereka kemudian berhenti dan memilih memproduksi sendiri.

Hingga tahun 1978, Cibaduyut dikenal sebagai sentra sepatu, karena banyaknya jumlah perajin dan home industry di sana.

Rupanya, perajin “lulusan” Cibaduyut ini datang dari berbagai daerah di Jawa Barat.

Salah satunya dari Kampung Babakan Gombong, Desa Sukajadi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung.

Di kampung asalnya ini, para perajin sepatu membuka usaha sendiri. Mereka menerima banyak orderan pembuatan sepatu dari luar hingga sekarang.

Dari tahun 1980-an, daerah ini disebut Kampung Paletok. "Paletok adalah istilah yang artinya membuat sepatu dalam bahasa sunda.”

Begitu penjelasan salah satu pemilik home industry di Babakan Gombong, Dede Efendi, kepada Kompas.com, belum lama ini ini.

Pria yang akrab disapa Pepep ini masih mengingat kondisi kampungnya saat masih kecil.

Dulu, sepulang sekolah, Pepep yang masih duduk di bangku sekolah dasar, bersama beberapa temannya belajar membuat sepatu di rumah tetangga.

Mereka menyebutnya ngenekan (kernet/asisten). Sebab, perajin sepatu selalu memiliki asisten.

Pada fase inilah regenerasi terjadi.

“Bila belajar serius, dalam tiga bulan sudah bisa berbagai proses bikin sepatu termasuk jahitan yang sulit dari atas sampai bawah (goodyear welted construction),” tutur dia.

Begitu besar, anak-anak kecil ini membuat home industry sendiri dan mendidik warga lain yang ingin belajar.

Lama kelamaan, makin banyak warga kampung itu yang menjadi perajin sepatu. Saat ini, setidaknya ada 10 home industry sepatu di kampung itu.

Satu home industry memiliki sekitar 30 perajin. Para perajin ini tidak semuanya bekerja di bengkel sepatu.

Sebagian warga membawa pulang pekerjaannya. Seperti penjahit upper. Biasanya, mereka datang ke bengkel untuk mengambil bahan baku.

Lalu mereka pulang dan mengerjakan di rumahnya. Setelah selesai, baru mereka kembali ke bengkel dan menerima bayaran.

Pepep pun tidak langsung memulai bisnis. Setelah lulus SMK, ia mengadu nasib di Jakarta, menjadi buruh di salah satu pabrik sepatu.

Beberapa tahun kemudian, ia pulang ke kampung, dan barulah membuat industri rumahan pembuatan sepatu.

Ia mengerjakan berbagai jenis sepatu. Termasuk merek sepatu nasional yang wara-wiri masuk ke mal bergengsi dengan harga yang tinggi, ada yang hasil keterampilan tangannya.

“Saya punya perajin 25 yang bekerja di bengkel, sedangkan lima orang yang bekerja dari rumah."

"Saat ini kami sering mengerjakan produk sandal (Korea) yang lagi tren,” ucap dia.

Beberapa merek lokal menggunakan jasa yang sama, salah satunya Sixtynine Project. "Untuk merek lokal tersebut saya, produksinya mencapai 1.000 pasang per minggu," kata dia.

Pepep mengaku, selama pandemi Covid-19 tidak ada pengurangan order. Malah ia merasakan order terus meningkat.

Pantauan Kompas.com, kondisi Kampung Paletok ini jauh berbeda dengan Cibaduyut. Dari luar, Kampung Paletok ini tidak terlihat seperti home industry.

Sekilas yang terlihat hanya rumah-rumah di pedesaan yang diapit bukit, pesawahan, dengan udara dingin khas pegunungan Ciwidey, Bandung.

Namun begitu masuk ke dalam rumah, kesibukan bengkel sepatu sangat terasa. Mulai dari tumbuhan bahan baku, mesin jahit, dan peralatan lainnya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/08/25/210000720/mampir-ke-kampung-paletok-cibaduyut-mini-di-bandung-selatan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke