Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Gejala Asma Memburuk di Malam Hari?

Untuk menemukan jawabannya, sebuah penelitian pun dilakukan dengan melibatkan lebih dari selusin penderita asma untuk menjalani dua eksperimen ketat.

Hasilnya, ditemukan bahwa jam sirkadian tubuh bisa menjadi dalangnya.

Penelitian tentang asma di malam hari ini sebelumnya dilakukan oleh seorang dokter asal Inggris, Sir John Floyer, pada tahun 1968 dan diterbitkan dalam bentuk monograf berjudul "A Treatise of the Asthma".

Monograf tersebut adalah salah satu investigasi pertama terkait masalah ini, dan awal dari munculnya istilah “asma nokturnal.”

Tiga per empat penderita asma pun mengakui bahwa gejala penyakit yang dideritanya memburuk pada malam hari.

Biasanya, fenomena ini dianggap dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan perilaku, seperti perubahan postur tubuh dan waktu tidur.

Selain itu, beberapa peneliti berspekulasi, sirkadian dapat memainkan peran penting dalam pasang surut asma.

Memang, kita memahami bahwa jam pusat dalam tubuh memiliki berbagai proses fisiologi berbeda, meski tidak pernah sepenuhnya memahami efek sistem sirkadian pada tingkat keparahan asma.

Menurut Frank Scheer, salah satu penulis koresponden dalam penelitian itu, ada faktor yang memengaruhi sistem sirkadian tubuh, seperti tidur.

Lalu, untuk meminimalisasi asma sirkadian, para peneliti pun melakukan dua penelitian yang memanfaatkan 17 orang penderita asma.

Eksperimen pertama ini dinamakan tes “rutinitas konstan”.

Dalam eksperimen, para peserta dibuat terjaga selama 38 jam dan dalam konsisi cahaya redup.

Para peserta dibuat untuk memertahankan postur duduk tetap selama 38 jam dan mengonsumsi camilan kalori yang sama setiap dua jam.

Tujuan dari eksperiken pertama adalah membuang berbagai faktor perilaku dan lingkungan sebanyak mungkin, membuat ritme sirkadian pada gejala asma bisa langsung dideteksi.

Lalu, eksperimen kedua atau “forced desynchrony” memaksa para peserta untuk menjalani tujuh hari penuh dengan siklus bangun/tidur sebanyak 28 jam, dan berlangsung selama 28 jam.

Eksperimen yang memakan waktu 196 jam ini dirancang untuk mengamati perilaku pasangan yang telah menikah dan memisahkan perilaku sehari-hari dari siklus sirkadian internal selama 24 jam.

Jadi pada akhir percobaan, fase tidur dan makan sepenuhnya dipisahkan dari ritme sirkadian.

Hasilnya, dua eksperimen ini menunjukkan, ritme sirkadian dapat memerankan peran penting dalam siklus harian.

Menariknya, eksperimen desinkroni paksa dapat mengungkapkan bahwa fase tidur memainkan peran penting dalam tingkat parahnya asma, terlepas dari efek sirkadian.

Namun, pengaruh siklus sirkadian pada asma sama relevannya dengan siklus perilaku tidur/bangun, dan fungsi paru terendah terdeteksi pada sekitar ekuivalen sirkadian pukul 04.00 pagi.

Jadi alasan utama asma tampaknya lebih buruk di malam hari adalah karena kombinasi perilaku tidur dan siklus sirkadian yang relatif merata.

"Kami mengamati bahwa orang-orang yang memiliki asma adalah orang-orang yang menderita penurunan fungsi paru akibat sirkadian terbesar di malam hari."

"Namun, mereka juga memiliki perubahan terbesar yang disebabkan oleh perilaku, termasuk tidur."

Hasil ini penting secara klinis. Sebab ketika dipelajari di laboratorium, penggunaan inhaler bronkodilator berdasarkan gejala tercatat empat kali lebih sering selama sirkadian malam daripada siang hari.

Selain itu, saat pelajari di laboratorium, penggunaan inhaler bronkodilator berdasarkan gejala, empat kali lebih sering selama sirkadian malam daripada siang hari.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/09/07/230000620/mengapa-gejala-asma-memburuk-di-malam-hari-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke