Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Alasan Psikologis di Balik Kesukaan Orang Tonton Squid Game

Popularitasnya mengalahkan Bridgerton, Sex Education, dan berbagai serial lainnya yang lebih dulu mendunia.

Hal ini tergolong mencengangkan, sebab serial ini ditayangkan dalam bahasa Korea yang masih tergolong asing di telinga banyak penonton Netflix.

Selain itu, kontennya juga cenderung penuh dengan kekejaman dan brutalitas, yang umumnya tidak cocok untuk semua orang.

Namun ketenaran film ini membuktikan banyak orang menikmati tontonan yang bersimbah darah dan tergolong keji.

Squid Game bercerita soal permainan mematikan yang dilakukan sekelompok orang demi mendapatkan sejumlah besar uang.

Di sisi lain, aksi bertahan hidup kontestannya ditonton oleh para miliarder yang menjadikannya hiburan semata.

Sebenarnya, serial sembilan episode ini merupakan kritik sosial mengenai ketidaksetaraan ekonomi dan ketidakstabilan finansial yang dirasakan oleh banyak orang di dunia.

Hal ini semakin terasa ketika pandemi terjadi secara global dan memperburuk keadaan.

“Orang-orang dapat mengidentifikasi dengan perasaan seolah-olah mereka bukan kelas penguasa, tetapi yang tertindas atau ditindas.”

Demikian kata, Dr. Eric Bender, seorang psikiater anak, remaja, dewasa, dan forensik berpendapat soal fenomena popularitas Squid Game ini.

Grace Jung, akademisi dari University of California, Los Angeles, AS, yang mempelajari sinema dan media juga ikut berpendapat.

Dia mengatakan, ada renonansi besar yang terkandung dalam plot cerita Squid Game.

Maksudnya tentang kesadaran bahwa semua hal dalam kapitalisme adalah investasi termasuk waktu, pinjaman bank, hipotek dan magang yang tidak dibayar.

Namun seringkali investasi itu tidak pernah mendatangkan imbalan yang seharusnya bagi orang berpenghasilan rendah.

"Utang membuat semua orang merasa rentan dan cemas dan putus asa," kata dia, seperti dikutip Bustle.

Banyak di antara kontestan permainan itu ditampilkan mati dengan tidak manusiawi dan kondisi yang menyakitkan.

Kebrutalan yang ditampilkan ini sebenarnya bukan hal terburuk yang ada di serial ini. Dari segi psikologis, keputusasaan yang ditampilkan sebenarnya jauh lebih tragis.

Darah dan berbagai adegan kekerasan yang tersaji dalam setiap adegan hanya memberikan sorotan utama pada perjuangan yang dilakukan manusia.

"Kekerasan itu benar-benar memberi tanda seru pada elemen perjuangan manusia,” kata Dr. Praveen Kambam, seorang anak, remaja, dan psikiater forensik.

Hal tersebut menunjukkan seberapa jauh orang-orang ini bersedia untuk berjuang demi memenangkan hadiah uang yang ditawarkan.

Mereka lebih suka menanggung risiko kematian tersebut daripada berurusan dengan sistem yang berlaku di dunia nyata.

Format ini menambah daya pikat serial yang dibintangi Lee Byung Hun ini untuk penonton.

Dr. Pamela Rutledge, seorang psikolog media di AS mengatakan hal ini memiliki dampak tersendiri.

"Membandingkan kepolosan permainan masa kanak-kanak dengan pengetahuan bahwa sesuatu yang sadis akan terjadi menciptakan disonansi kognitif yang 'memperkuat kengerian dan rasa ketidakberdayaan'."

"Itu yang kita rasakan saat menonton," ujar Rutledge.

Hal ini juga membangkitkan kesadaran, sejumlah permainan anak-anak memang memiliki kekejaman tersendiri meski konsekuensinya berbeda.

Anak yang kalah dalam permainan biasanya akan dikucilkan atau dihukum dengan caranya sendiri.

Sementara itu, Squid Game menangkap perasaan yang menyiksa itu dan memainkannya dengan cara yang semakin cerdas.

Plot ceritanya seakan menggambarkan persaingan yang kejam di bawah kapitalisme sebagai taman bermain.

Konflik pribadi yang dirasakan semakin sulit diatasi sehingga memaksa kita mempertanyakan bagaimana akan bereaksi dalam situasi yang sama menyedihkannya.

"Dalam psikologi sosial, orang cenderung 'melebih-lebihkan pilihan moral' yang akan mereka buat dan 'meremehkan pengaruh dinamika dan kepatuhan kelompok'," kata Kambam.

Tak satu pun yang ingin percaya, kita akan memihak si penindas atau bertindak hanya untuk mempertahankan diri.

"Namun acara seperti Squid Game meminta kita untuk menebak-nebak diri kita sendiri, dan itu menakutkan sekaligus mengasyikkan di tingkat bawah sadar,” tambah Kambam.

Harapan

Selain keputusasaan dan kengerian, Squid Game juga memberikan penontonnya harapan soal akhir yang baru.

Kontestan yang berhasil bertahan dan akhirnya mendapatkan hadiahnya memicu secercah harapan dalam diri kita.

Rutledge menilai, hal tersebut membuat perjuangan kita sendiri tampak mungkin untuk diatasi.

Meski demikian, manusia pada dasarnya memang cenderung senang melihat orang menghadapi situasi sulit.

Terbukti dari tontotan Gladiator di Roma, Italia yang populer di abad-abad lalu dengan konsep yang serupa dengan Squid Game.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/10/14/093952120/alasan-psikologis-di-balik-kesukaan-orang-tonton-squid-game

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke