Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Burnout, Penyebab, dan Cara Menanganinya

KOMPAS.com - Pernahkah kamu merasa sangat lelah tanpa sebab sampai-sampai pekerjaan dan produktivitasmu terganggu? Hati-hati, itu bisa jadi tanda-tanda burnout.

Memang, apa sih burnout itu? Apakah sama dengan rasa capek atau lelah?

Ternyata, berbeda loh, meski sebenarnya burnout timbul dari rasa lelah.

“Burnout merupakan kombinasi kelelahan. Ada rasa lelah yang terus menerus dan terakumulasi,"  ujar Irwantja, seorang Mental Health Doodler dan Producer di siaran langsung “Sebenarnya Aku Cuma Capek atau Sudah Burnout?” yang digelar di Instagram @my.kindoflife pada Kamis (14/10/2021) malam.

"Lelah sendiri kan ada tiga ya, bisa lelah fisik, mental, dan emosi. Nah, jika kelelahan itu diabaikan, bisa menumpuk dan akibatnya burnout, yang bisa berpengaruh ke fisik kita.” 

Pria yang akrab disapa Wantja itu juga menjelaskan bahwa ada perbedaan mencolok antara capek atau lelah biasa dengan burnout.

“Ya akarnya sama, tapi kalau capek atau lelah, biasanya kita tahu penyebabnya. Kalau burnout, ada bumbu-bumbu lagi, karena menumpuk lelahnya dan kita sering nggak sadar. Jadi, kita kadang nggak tahu apa penyebabnya, tapi tahu-tahu burnout,” ujarnya.

Wantja juga berpendapat bahwa meski bisa dirasakan oleh siapa saja, burnout biasanya sangat erat dengan mereka yang telah bekerja. Sebab, mereka yang bekerja biasanya sering memaksakan diri untuk terus bekerja, meski ada faktor lain yang jadi pemicunya.

Lantas, apakah penyebab dan tanda-tanda burnout benar-benar tidak bisa dideteksi? Atau, apa yang harus dilakukan saat burnout?

Penyebab dan tanda-tanda burnout

Menurut Wantja, meski sering tidak disadari, sebenarnya ada beberapa penyebab burnout yang bisa kita ketahui dan kendalikan, seperti diri sendiri yang terlalu ambisius atau memaksakan diri, atau terlalu mudah iri dengan kesuksesan orang lain.

“Ini bisa kita hindari,” kata Wantja.

Kendati demikian, ada beberapa pemicu burnout yang tak bisa kita kendalikan karena sistemik, seperti pekerjaan yang terlalu banyak dan tidak membuat kita berkembang, gaji terlalu kecil, atau ada orang di kantor seperti kolega atau atasan yang tidak cocok dengan kita.

Untuk tanda-tanda, Wantja mengatakan bahwa sebenarnya ada tiga dimensi utama atau tahapan burnout, yaitu kelelahan fisik, kelelahan emosional, dan kelelahan mental.

“Sebenarnya, awal mulai merasa burnout itu kan capek ya, jadi saat tubuh sudah mulai merasa capek dan kita biarkan, akan meningkat ke kelelahan emosional hingga kelelahan mental. Akhirnya, energi pun habis dan saat sudah di tahap kelelahan mental, rasanya kita nggak bisa mengembalikan energi itu lagi," kata Wantja.

Lalu, tanda-tanda burnout pun akan semakin kuat ketika kita menunjukkan beberapa gejala. Misalnya depersonalisasi atau kehilangan realitas diri. Bisa saja, kita menjadi sangat sinis, dan menunjukkan sikap negatif.

Seseorang yang burnout juga bisa mengalami detachment atau mulai tumbuh perasaan negatif terhadap apa yang kita sukai, misalnya pekerjaan.

Dan jika dibiarkan, pada akhirnya produktivitas pun akan turun, membuat kita bukan hanya kehilangan realitas diri, tapi benar-benar “lepas” dari apa yang kita lakukan.

Apa yang harus dilakukan saat burnout?

Wantja berpendapat bahwa hal terpenting yang harus dilakukan saat burnout adalah mengetahui batasan diri sendiri.

Misalnya yang sistematik, dengan situasi terjebak di kantor dengan kultur kerja yang toxic dan gaji rendah. Menurut Wantja, jika sudah tak tahan, resign saja.

“Kalau merasa sudah waktunya cabut, ya cabut saja. Kalau penyebabnya sistematik, ya pertimbangkan untuk meninggalkan sistem itu. Ingat, nggak semua tempat cocok untuk semua orang. Ketika memang lingkungan nggak nyaman, consider to leave (pertimbangkan untuk resign),” ujarnya.

“Walau kadang hidup nggak bisa milih, saat ada yang biisa diusahakan, usahakan untuk diri kamu sendiri,” tambahnya.

Wantja juga mengatakan bahwa meski sulit, kita perlu mengenali penyebab burnout, apakah itu dari diri sendiri yang memang terlalu memaksakan diri, atau karena sistem itu tadi.

“Lalu ketika dirasa udah ganggu banget, sebaiknya ke profesional. Sebab, meski burnout bukan gangguan mental, bisa memicu gangguan jika dibiarkan,” kata dia.

“Bisa juga dengan mencari bantuan ke teman untuk cerita. Itu juga bagus ya, gibah untuk mencari solusi, asal sesuai fakta, jangan ditambah bumbu-bumbu fitnah. Atau coba istirahat dulu sejenak saat merasa sudah terlalu lelah dan tidak produktif,” tambahnya.

Wantja sendiri mengatakan bahwa dirinya sering mengambil waktu untuk diri sendiri kalau merasa sudah tak efektif dalam pekerjaan.

Bagaimana menolong orang yang burnout?

Menurut Wantja, beberapa orang yang burnout mungkin akan bercerita pada kita. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah menjadi pendengar yang baik.

“Ada baiknya kita mendengarkan tanpa menjeda. Jangan sampai dia terdistraksi dan kita juga nggak boleh lost focus. Lalu ketika sudah selesai cerita, jangan judging. Sebaiknya tanya kembali, perasaan dia seperti apa saat burnout itu? Coba gali informasi lebih dalam, baru tanya mau dibantu atau tidak,” katanya.

Namun perlu diingat, kita hanya boleh “membantu” bukan menyelesaikan masalah teman yang mengalami burnout. Sebab, menyelesaikan masalah tak akan membuat orang lain berkembang.

Lalu, jika tidak bisa membantu atau mendengarkan, jujurlah dari awal.

“Jangan jadi PHP (pemberi harapan palsu). Kalau malas atau tidak bisa, jujur saja, asal baik-baik bilangnya,” ujar Wantja.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/10/15/060456820/mengenal-burnout-penyebab-dan-cara-menanganinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke