Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Seperti Kim Seon Ho, Mengapa Publik Korea Mudah Memboikot Idolanya?

KOMPAS.com - Kim Seon Ho langsung menjadi sasaran cancel culture oleh publik Korea Selatan pasca terjerat skandal aborsi dan gaslighting.

Aktor yang baru saja membintangi Hometown-Cha-Cha ini dihujani kritikan dan boikot oleh para penggemarnya. Wajahnya dihapus dari sejumlah konten brand yang dibintanginya di berbagai media, termasuk Instagram dan You Tube.

Pria berusia 33 tahun ini juga kehilangan sejumlah kontrak kerja untuk sejumlah film dan acara mendatang. Ia juga terpaksa mengundurkan diri sebagai member tetap acara 2 Days & 1 Night Season 4 yang cukup populer di negeri ginseng.

Nasibnya tergolong tragis karena popularitas Kim Seon Ho tengah menanjak. Dengan kemampuan aktingnya, ia diprediksi bisa menjadi salah satu bintang top di Korea Selatan andai tak terjegal perilaku tidak terpujinya.

Meski demikian, Kim Seon Ho sebenarnya bukan satu-satunya pesohor yang bernasib demikian. Ada banyak bintang Korea lainnya yang mengalami hal serupa, jadi sasaran cancel culture karena perilakunya dianggap tidak terpuji.

Publik Korea gampang memboikot idolanya

Pesohor di Korea Selatan agaknya memiliki beban yang lebih besar daripada artis Hollywood atau bahkan di Indonesia. Selain bakat yang luar biasa, mereka diharuskan berperilaku baik sesuai ekspektasi penggemarnya.

Penggemar di Korea mendukung dan memuja idolanya begitu besar sehingga hal menyimpang apapun memantik reaksi yang amat besar.

Kim Seon Ho dinilai tidak semanis karakter Hong Du Shik atau Han Ji Pyong yang dimainkannya. Sementara itu, Jisoo terjerat skandal karena bullying di masa sekolah sedangkan Yunho TVXQ dikecam karena tidak mematuhi aturan Covid-19.

Jika tidak sesuai maka kariernya mereka bisa hancur seketika dan sulit untuk kembali ke panggung hiburan. Konsekuensi yang dihadapi jelas jauh lebih besar dibandingkan artis Indonesia atau negara barat.

Mengapa publik Korea mudah memboikot idolanya?

Kesesuaian dan kepatuhan

Song Jae-ryong, seorang profesor sosiologi di Universitas Kyung Hee, Seoul menjelaskan selebritas menjadi objek harapan yang tinggi di dalam masyarakat kolektif, di mana kesesuaian dan kepatuhan dihargai.

Sedangkan menjadi berbeda adalah hal yang tidak disukai.

"Orang Korea memiliki kecenderungan kuat untuk memihak [sebagai sebuah kelompok], menempatkan orang-orang dari kelompok sosial yang berbeda di sisi yang berlawanan,” katanya.

Hal ini menyebabkan orang menjadi kurang memahami atau menerima mereka yang berbeda dari mayoritas.

Selebritas juga lebih menonjol dan menarik perhatian publik sehingga orang-orang memiliki perasaan buruk terhadap bagaimana kehidupan mereka berbeda. Anggapan ini juga membuat banyak yang cenderung kurang toleran terhadap kesalahan moral atau etika yang dirasakan.

Kritikus budaya pop di Korea Selatan, Kim Hern-sik menambahkan, struktur sosial kolektif menempatkan standar moral di atas privasi individu, membuat tokoh yang dikenal publik tunduk pada kode etik yang ketat.

“Karena orang Korea menghargai norma sosial dan etika sebelum privasi, kami cenderung memprioritaskan dampak sosial dari tindakan seseorang,” katanya.

Aspek lainnya, Korea memiliki struktur media yang terpusat – meskipun berubah dengan munculnya media sosial dan media digital – jadi jika masalah diangkat oleh beberapa media, isunya menyebar dengan cepat dan berdampak besar.

Konsekuensi dari reality show voyeuristik

Dunia hiburan Korea Selatan memiliki banyak acara reality show, termasuk yang bersifat voyeuristik alias menampilkan sisi pribadi selebritas.

Acara tersebut kemudian memicu rasa ingin tahu yang berlebihan di antara penggemar sekaligus pertanyaan apakah idolanya benar-benar bersikap baik di kehidupan nyata.

Kim mengatakan penekanan pada perilaku baik seperti itu bisa berakhir buruk bagi selebritas tersebut. Pasalnya, penggemar mungkin memiliki perasaan pengkhianatan yang intens setelah berita tentang kesalahan apa pun yang melibatkan idolanya.

“Karena mereka memasarkan citra tertentu untuk meningkatkan nilai mereka, para selebriti mendapat kritik yang lebih besar ketika citra itu [digambarkan] palsu, sehingga orang bisa menjadi lebih marah dan mengekspresikan pendapat mereka dengan lebih kuat,” katanya.

Kekuatan media sosial

Kehadiran media sosial membuat skandal lebih cepat menyebar sehingga dampaknya lebih besar. Profesor Song mengatakan, kecenderungan orang Korea untuk berkumpul dalam kelompok juga dapat tercermin dari bagaimana mereka bereaksi terhadap skandal selebriti di media sosial.

“Jadi ketika masalah yang tidak menyenangkan muncul, itu berputar dengan cepat karena orang-orang dengan cepat berkumpul untuk menyuarakan pendapat mereka tentang masalah tersebut.”

Hal ini kemudian membangun opini negatif publik yang dengan cepat direspon oleh jaringan TV maupun bisnis dengan memboikot artis tersebut. Tujuannya untuk menjauhkan diri dari

“Dalam masyarakat yang erat, media sosial telah menjadi sarana untuk dengan mudah menghasut opini publik,” tambah Kim. Perusahaan membatalkan kesepakatan iklan demi menjauhkan diri lebih awal dari opini negatif tersebut.

Pengaruh kebiasaan boikot publik

Kritikus budaya pop lainnya di Korea Selatan, Ha Jae-geun, menilai publik merasakan pembenaran ketika selebritas yang bermasalah itu kehilangan pekerjaannya.

“Ketika publik menyuarakan pendapat mereka dan memaksa acara TV untuk membatalkan acara atau bintang untuk mundur, itu dengan sendirinya memberikan rasa kepuasan. Dan ini terkadang membuat mereka menjadi kritikus yang lebih keras, ”katanya.

Meski demikian, ia berpendapat budaya cancel culture ini tidak sepenuhnya buruk. Pasalnya selebritas memiliki dampak sosial yang besar sehingga perilakunya bisa menjadi contoh bagi banyak orang.

“Jika seorang selebritas yang dulunya penindas dikeluarkan dari program mereka, anak-anak dapat mengambil pelajaran bahwa ada konsekuensi dari perundungan," katanya.

Hanya saja, ia juga mengingatkan kebiasaan boikot ini dapat menjadi hal yang terlalu liar dan tak terkontrol. Misalnya dengan membahas lebih jauh soal kehidupan selebritas tersebut termasuk persoalan pribadi dan keluarganya.

“Kita harus fokus pada apa skandal itu, seperti apakah itu tuntutan pidana atau apakah itu masalah pribadi,” katanya.

“Saat ini, tidak ada batasan untuk skandal semacam itu. Kita harus memperhatikan apa yang pantas dan dampak apa yang ingin kita dapatkan dari menyuarakan pendapat kita tentang masalah ini.”

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/10/22/110319520/seperti-kim-seon-ho-mengapa-publik-korea-mudah-memboikot-idolanya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke