Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berburu Kiat Sehat Tanpa Obat

Kian banyak pula tudingan obat-obatan dokter sebagai ‘obat kimia’ yang katanya justru membuat penyakit makin parah, bahkan menimbulkan ketergantungan.

Ada apa di balik ini semua? Bukankah ilmu kesehatan dan kedokteran semestinya membuktikan kesembuhan dan mempersingkat penderitaan?

Ternyata pelayanan kesehatan tidak selamanya bisa diterima dengan baik, seperti harapan para dokter.

Apalagi, di zaman sarat informasi bersliweran tanpa sekat pertimbangan bijak.

Tidak jarang orang yang datang ke tempat saya adalah orang-orang yang sudah lelah ‘mentok’ berobat dan berharap keajaiban, dengan sesederhana ‘mengubah pola makan dan gaya hidup’ – yang dulu berpuluh-puluh tahun terbengkalai.

Betapa sulitnya menjelaskan, bahwa bukan obat-obat dokter yang membuat mereka gagal ginjal, melainkan justru pembiaran gaya hidup selagi minum obat, yang menjadikan informasi kesehatan seperti film drama yang terlalu banyak diedit.

Dikira dengan rutin minum obat diabetes, maka makan bisa semaunya. Dikira dengan rajin minum obat hipertensi, kerja bisa dilembur dan tubuh digenjot hingga pagi.

Mungkin saat dokter menulis resep obat, masih perlu aksentuasi bernada instruksi untuk kesungguhan mengubah gaya hidup ketimbang omongan ringan,”Jangan lupa jaga pola makan ya…” – lah, pola makan macam apa?

Sementara edukasi permisif semakin membuat pasien terlena menjadi-jadi.

Padahal ibarat lampu pengatur lalu lintas, tubuhnya sudah berada di depan lampu merah. Bukan lagi lampu kuning.

Kekisruhan tidak cukup sampai di situ. Publik semakin dibuat bingung dengan simpang siurnya pendapat pribadi beberapa ‘dokter’, yang mempraktekkan hal-hal yang mereka tidak dapatkan di sekolah kedokteran.

Sebutlah mereka mendapatkan ‘pengayaan ilmu’ dari sumber-sumber di luar konsensus ilmu kesehatan yang berlaku umum.

Yang perlu dikritisi, sekalipun menyandang gelar profesi, mereka tetap manusia yang tak luput dari kekeliruan berpikir.

Bagaimana mungkin menggunakan izin praktek dokter, tapi rujukan penatalaksaan penyakit tidak lagi mengikuti cara berpikir metodologis ilmu kedokteran?

Menyebut praktiknya ‘lebih alami’ dan merebut hati masyarakat yang sudah terlanjur ditakut-takuti ‘efek samping obat kimia’.


Hingga hari ini, kita bisa melihat merebaknya kembali ‘cara-cara kuno’ saat ilmu kedokteran belum semaju sekarang, mulai dari penggunaan metabolit sekunder rempah hingga aneka kasta madu berdesak-desakkan merebut pangsa pasar.

Apalagi di masa pandemi seperti ini, ricuhnya aneka informasi promosi jurus mendongrak kekebalan tubuh.

Logika berpikir dan literasi menjadi tantangan di negri ini. Belum lagi malas evaluasi dan lompat cari solusi.

Sementara penyakit belum teratasi, foya-foya gaya hidup semakin ngeri. Kemampuan melihat kearifan dan kebenaran, apabila tidak diasah sejak dini akan memporakporandakan masa depan.

Sebut saja istilah ‘makan enak’. Apa sih kriteria makanan disebut enak? Padahal sejujurnya makanan itu netral. Menjadi enak karena diajarkan dan dibiasakan.

Bagi orang Jepang, ikan mentah enak. Cobalah beri ikan mentah ke orang Jawa asli.

Setiap kearifan lokal mempunyai tujuan dan keluhuran – yang saat ini menjadi luntur hingga sebatas reka rasa lidah.

Lebih gawatnya lagi, atas nama globalisasi lidah diplintir oleh para pencipta rasa yang bermain dengan racikan kemasan dan botolan – alias produk ultra proses.

Demi kepraktisan dan kewarasan katanya – sebab generasi masa kini mendewakan waktu untuk mencari kesenangan, bukan kearifan.

Dan mari kita lihat lingkaran setannya, industri pangan berkelit-kelindan dengan industri kesehatan.

Keduanya melibatkan sejumlah uang dalam jumlah fantastis. Yang apabila sedikit kebaikan dan kearifan kita mau terapkan, maka uang itu bisa digunakan demi masa depan yang lebih menjanjikan.

Ketimbang ‘menikmati gaya hidup mewah sebatas lidah’, tapi miskin makna dan akhirnya berujung ‘kebutuhan berobat tanpa tobat’.

Tapi anehnya, apabila nyawa sudah jadi taruhan, maka obat kembali dipersalahkan dan manusia mulai mencari cara-cara ‘alami’. Hal yang paling absurd di luar akal.

Suka tidak suka, kita sekarang berada di era saat ibu-ibu muda tidak lagi paham cara membuat santan dari kelapa, sebab yang instan sudah tersedia.

Keluarga-keluarga melewatkan sarapan bersama, karena kepala keluarga sudah berangkat kerja dan sang ibu berdiet demi tubuh ideal.

Pasien ke dokter bukan untuk memeriksakan diri, tapi menodong resep habis periksa lab mandiri.

Kadang saya menjadi begitu skeptis dengan masa depan yang lebih baik, apabila kita tidak sungguh-sungguh mulai menata hidup dan mengembalikan segala sesuatunya kepada apa yang seharusnya.

Dengan hidup lebih sehat sesuai kodrat, rakyat Indonesia seyogyanya mampu keluar dari jeratan lingkaran kesesatan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/10/29/200220020/berburu-kiat-sehat-tanpa-obat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke