Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

MU Dibantai Liverpool, Suami Jadi Bad Mood, Normalkah?

Salah dkk berhasil mencatatkan rekor kemenangan terbesar atas Tim Setan Merah dengan skor 7-0.

Hasil terbaru ini tak hanya berdampak buruk pada klasemen tim namun juga memicu kekecewaan para penggemar.

Fans Manchester United yang sempat begitu berharap ternyata harus terus kecewa.

Belum lagi berbagai olok-olok yang muncul di media sosial, yang mungkin menambah kekesalan.

Sebagai salah satu tim besar tak hanya di liga Inggris tapi juga Eropa, bahkan dunia, MU jelas memiliki basis penggemar yang sangat besar, termasuk di Indonesia.

Bahkan, tak jarang para penggemar MU yang "sangat fanatik" menjadi begitu "sensi" dan "baper" dengan guyonan dari kawan-kawan pendukung kesebelasan lain, atas hasil tersebut.

Parahnya, bukan tak mungkin keterpurukan -seperti yang dialami MU- berpengaruh dalam kehidupan keseharian para fans-nya.

Tak cuma penggemar Manchester United -tentu saja, keadaan ini pun terjadi pada fans dari tim lain, ataupun atlet lain yang mengalami kekalahan.

Murung dan bad mood saat MU kalah

Salah satunya adalah relasi antara suami dan istri. Suami menjadi murung karena tim olahraga favoritnya kalah, kerap menjadi pemandangan yang pernah dialami banyak wanita.

Selama beberapa waktu, perempuan harus menghadapi pasangan yang kecewa dan sedih karena tim favorit atau pembalap jagoannya kalah dalam pertandingan.

Apalagi jika sang suami adalah penggemar berat tim atau atlet tertentu. 

Hasil buruk kompetisi yang ditontonnya bahkan bisa berpengaruh pada perilaku pasangan sehari-hari.

Misalnya saja suami menjadi tidak bersemangat, bad mood atau cenderung malas beraktivitas.

Perasaan negatif yang dirasakan oleh pasangan ini mungkin terasa konyol, khususnya jika sang istri bukan penikmat olahraga.

Namun kondisi emosional tersebut sangat nyata, dan bisa berpengaruh buruk jika terus dibiarkan.

Terlebih lagi jika tim favorit -seperti yang terjadi pada MU-  terus-menerus kalah dalam pertandingan.

Dia mengatakan, perasaan sedih dan sendu yang dirasakan setelah tim idola kalah di pertandingan olahraga adalah hal yang normal.

Banyak penggemar olahraga merasakannya, di cabang apa pun. "Ini bisa menjadi perasaan yang sangat intens yang mirip gejala depresi," ujar dia.

Ia mengungkapkan, salah satu kliennya mengalami perasaan kehilangan, putus asa, marah, mudah tersinggung, dan ketidakmampuannya untuk fokus di tempat kerja setelah tim hoki favoritnya kalah.

Gejala tersebut, menurut Centore, cenderung dialami orang yang menderita depresi.

Ada juga yang menunjukkan gejala kehilangan nafsu makan. Atau, -tanpa disadari, makan terlalu banyak, lalu muncul perasaan tidak berharga, dan terjadilah isolasi sosial.

Menurut Centore, setelah tim favorit kalah dalam pertandingan besar atau kalah memalukan, ada penggemar yang cenderung mengalami degradasi kemampuan untuk fokus dan berkonsentrasi di tempat kerja.

Sejauh ini, kata dia, tidak ada istilah khusus untuk merujuk kondisi putus asa akibat kekalahan dalam pertandingan olahraga.

Namun, banyak ahli menyebut kondisi ini sebagai sports fan depression alias depresi penggemar olahraga.

Namun Centore menekankan, kondisi itu bukan depresi sesungguhnya. Alasannya, perasaan negatif itu bertahan dalam jangka pendek, yang bisa mereda dalam beberapa jam atau hari.

Kondisi ini mirip dengan penggemar serial atau film tertentu yang terikat secara emosional dan sedih ketika acara favoritnya berakhir.

Perasaan tersebut masih tergolong normal selama tidak memicu perilaku  desktruktif, mengganggu kesehatan atau kehidupan sehari-hari.

Jika perasaan sedih tersebut terus bertahan dan mulai mengganggu, maka disarankan untuk berkonsultasi dengan psikolog.

“Tidak apa-apa untuk sedikit marah. Tidak apa-apa untuk berteriak di televisi, kita memang peduli dengan tim kita."

"Tetapi, jika kita sampai melempar batu ke televisi, itu bukan perilaku normal," kata Centore.

Pasangan ikut sedih

Senada dengan itu, Leigh Richardson, konselor profesional berlisensi di Dallas, AS menilai, penggemar olahraga menjadi sangat peduli pada tim favorit adalah hal yang normal dan sehat.

Namun jika perilakunya menjadi terlalu ekstrem atau kemarahan maupun kesedihannya bertahan terlalu lama, maka hal itu bisa menunjukkan tanda-tanda masalah, atau bahkan gangguan kesehatan mental yang serius.

“Bagi sebagian orang, tim olahraga hampir seperti gereja atau keluarga bagi orang lain. Ini adalah hubungan mereka dengan komunitas mereka," kata Richardson.

Penelitian membuktikan jika kita memiliki niat baik, dan ikatan, serta tujuan semata-mata sebagai penggemar olahraga, perasaan itu bertahan setiap hari.

Perasaan itu memberikan sensasi menyenangkan bagi diri seseorang. "Jika tim kita kalah, itu seperti kita kehilangan bagian dari diri kita sendiri," ungkap dia.

Ketika orang merasa sangat terhubung dengan sebuah tim, konsep ini dikenal sebagai “fanatisme olahraga”.

Penggemar semacam ini mengalami beragam perasaan emosional. Misalnya saja perasaan yang luar biasa ketika timnya menang, dan perasaan yang buruk ketika kalah.

Richardson berpendapat ada kombinasi psikologi, sosiologi, dan fisiologi untuk perasaan semacam itu.

Serupa, dia pun menganggap kondisi tersebut sebagai hal normal, selama tidak terlalu ekstrem dan bertahan lama.

Namun jika perasaan sedih yang dialami ini mengarah pada perubahan perilaku yang membahayakan, maka itu tidak baik untuk kesehatan mental.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/11/23/125700020/mu-dibantai-liverpool-suami-jadi-bad-mood-normalkah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke