Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perlu Berapa Banyak Uang untuk Membeli Kebahagiaan?

KOMPAS.com - Kita sering mendengar kalimat bijak yang mengatakan, uang tak bisa membeli kebahagiaan.

Mereka yang percaya dengan perkataan ini, meyakini kebahagiaan bisa dirasakan jika manusia selalu bersyukur, banyak berderma, punya kehidupan yang mapan, dan kesehatan.

Hal tersebut memang benar, tetapi sebuah penelitian terbaru justru berkata sebaliknya dan menunjukkan bahwa uang dapat membeli kebahagiaan sampai batas tertentu.

Para peneliti dari Universitas Princeton, Amerika Serikat, mendapati penghasilan senilai US$75.000 atau setara dengan Rp 1 miliar dalam setahun adalah titik manis untuk merasakan kebahagiaan.

Hubungan antara bahagia dan uang

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kebahagiaan antara orang yang penghasilannya mencapai Rp 1 miliar per tahun dengan penghasilan yang lebih tinggi.

Penelitian yang sama menemukan ketika pendapatan turun di bawah Rp 1 miliar, tingkat kebahagiaan seseorang cenderung lebih rendah. Sementara itu, tingkat kesedihan dan stres akan lebih tinggi.

Sebaliknya, menurut penelitian lain, tingkat kebahagiaan akan meningkat secara linear degan tingginya pendapatan seseorang. Makin tinggi penghasilan, makin besar pula kebahagiaan yang dirasakan.

Sementara itu, sebuah survei yang dilakukan terhadap lebih dari 33.000 orang dewasa AS yang sudah bekerja dan lebih dari 1,7 juta laporan menemukan hubungan langsung antara pendapatan yang lebih tinggi, perasaan lebih baik dari hari ke hari, dan lebih puas dengan kehidupan secara keseluruhan.

Tapi apakah hasil survei ini mendefinisikan kebahagiaan? Perlu diingat bahwa setiap orang memiliki definisi kebahagiaan yang berbeda-beda.

Bagi sebagian orang, nilai kebahagiaan mungkin terletak pada kekuatan. Sedangkan, orang lain menemukan nilai kebahagiaan karena merasa aman atau perawatan diri.

Orang yang ingin bahagia bisa menggunakan jumlah uang yang dimiliki untuk mendapatkan rasa puas secara emosional.

Psikolog klinis berlisensi yang profesor psikologi asal Connecticut, AS Margaret Sala, Ph.D, menegaskan bahwa kemiskinan dapat membuat hidup tidak nyaman dan menjadi faktor pendorong stres.

Contoh lain yang diberikan Sala adalah orang dengan penghasilan tinggi tidak akan direpotkan dengan urusan rumah, seperti mengasuh anak, memasak, atau membersihkan rumah.

Namun, Sala berpendapat beberapa orang dengan gaji yang lebih tinggi mungkin tidak dapat menikmati kesenangan kecil dalam hidup karena harus menjalani pekerjaan yang penuh tekanan dan menuntut waktu.

Penelitian justru mengungkapkan orang-orang yang memiliki penghasilan lebih tinggi 'membeli' kesenangan dengan berlibur atau makan di restoran.

Stres pengaruhi kebahagiaan

Sala mencatat stres dapat menjadi faktor kunci bagi kebahagiaan seseorang secara keseluruhan.

“Dari perspektif ilmu saraf, kelangkaan uang dan sumber daya memberi sinyal ke otak bahwa ada ancaman bagi kelangsungan hidup kita,” terang dokter metafisika dan pekerja sosial klinis berlisensi, Renetta Weaver.

Faktanya, kemiskinan dapat mempengaruhi fungsi kognitif seseorang, mengubah cara mereka berpikir, dan mengurangi kinerja dalam memori verbal dan kecepatan pemrosesan.

Jika uang sebenarnya tidak bisa membeli kebahagiaan, lantas bagaimana orang bisa bahagia dengan apa yang mereka miliki dengan berapa pun tingkat penghasilannya?

“Jika kita tidak menyamakan uang dan barang dengan nilai dan nilai kita, kita menemukan kebahagiaan dalam hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang,” imbuh Weaver,

"Seperti waktu berkualitas dan pengalaman dengan diri sendiri dan orang lain,” sambung Weaver.

Seorang penulis buku terlaris di dunia dari dua buku tentang kebahagiaan, Milana menambahkan korelasi antara gaji dan kesejahteraan emosional mungkin tidak akurat.

“Jika Anda makan sepotong kue, Anda mengalami kesenanga. Begitu Anda selesai, kesenangan itu hilang. Ketika Anda menghabiskan uang, Anda mengalami kesenangan. Beberapa jam kemudian, kesenangan ini juga hilang," ujarnya.

Sebuah film dokumenter berjudul Happy (2011) yang diproduseri Rico Belic juga berusaha mengeksplorasi bahwa kebahagiaan itu hakiki.

Dengan mengangkat kisah orang-orang yang hidup dalam kemiskinan tapi bahagia dengan kehidupannya, film ini berargumen bahwa kebahagiaan tidak selalu bisa dibeli.

Bahkan, orang-orang tertentu yang kondisi hidupnya sangat tidak layak, seperti tinggal di tenda plastik darurat dengan semua barang bawaan mereka dalam satu tas, masih bisa tersenyum ceria.

“Bagaimana mungkin seseorang yang hampir tidak memiliki apa-apa bisa begitu bahagia? Ini karena mereka mensyukuri apa yang mereka miliki, yaitu hidup mereka, keluarga mereka, dan komunitas mereka.”

Walau anggapan uang bisa membeli kebahagiaan masih menjadi bahan perdebatan, mungkin tidak pernah ada satu jawaban yang pasti.

Sementara kebahagiaan dapat naik atau turun seiring dengan tingkat pendapatan, perasaan kesejahteraan emosional seseorang pada akhirnya akan bergantung pada keadaan hidup, nilai, dan kebutuhan pribadi.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/12/16/124609720/perlu-berapa-banyak-uang-untuk-membeli-kebahagiaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke