Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ular, Laba-Laba, dan Ketinggian, Mana yang Lebih Ditakuti Bayi?

KOMPAS.com - Rasa takut yang dialami bayi merupakan hal wajar. Apalagi, bila si kecil baru pertama kali melihat benda, orang asing, maupun hewan yang dianggapnya menakutkan.

Kendati demikian, sebuah penelitian yang dilakukan baru-baru ini untuk meneliti perilaku bayi justru mendapati temuan mengejutkan.

Pasalnya, penelitian menunjukkan kemungkinan bahwa bayi dilahirkan tanpa rasa takut.

David Rakison, seorang profesor psikologi di Carnegie Mellon University mengatakan, alih-alih muncul dengan rasa takut yang sudah tertanam dalam otak, bayi ternyata belajar kapan harus takut.

Rakinson menjelaskan, evolusi telah mempersiapkan bayi untuk mempelajari ketakutan tertentu dengan sangat cepat.

Bayi dapat merespons ketakutan melalui pengamatan atau pengalaman mereka sendiri.

Hal ini juga menyangkut respons bayi ketika menghadapi ketakutan yang banyak dirasakan orang saat berhadapan dengan ular, laba-laba, kegelapan, ketinggian, dan ruang tertutup.

Kapan bayi mengalami ketakutan?

Rakinson menyampaikan, bayi mulai mengalami ketakutan ketika mulai merangkak dan lepas dari orang tua mereka.

Hal ini memungkinkan bayi jatuh dari tempat yang tinggi atau merasakan berbagai macam masalah yang menakutkan.

Meski begitu, bayi juga dapat mempelajari ketakutan dengan mengamati respons orang-orang terdekatnya.

Apabila orang tua berteriak atau melompat ke kursi ketika melihat laba-laba atau tikus, bayi dengan cepat mengasosiasikan makhluk itu dengan rasa takut.

Rakinson mengutarakan, walau ada banyak penyebab yang bisa membuat orang takut, bukan berarti orang tua harus menghilangkan fobia yang dialami si kecil.

"Adalah sehat untuk merasa takut. Seorang anak yang tidak takut pada apa pun akan mendapat lebih banyak masalah daripada anak yang terlalu takut," katanya.

Takut terhadap ular dan laba-laba

Ular dan laba-lama adalah dua binatang yang paling sering ditakuti orang. Data mencatat sekitar 2-3 persen dari populasi global mengalami ophidiophobia atau ketakutan ekstrem terhadap ular.

Penelitian juga menunjukkan bahwa persentase itu menyumbang sebanyak setengah dari semua fobia terhadap binatang.

Tapi, penelitian mengatakan, rasa takut pada ular bukanlah hal yang wajar dan bisa diatasi.

Ketika peneliti menunjukkan gambar laba-laba dan ular kepada 48 bayi berusia 6 bulan, pupil mata mereka melebar. Ini bisa menjadi tanda respons stres, tanda gairah, atau fokus.

Penelitian lain di tahun 2017 mendapati bahwa gambar bunga dan ikan tidak memicu reaksi yang sama.

Dengan kata lain, bayi memberikan perhatian khusus pada ular dan laba-laba. Tapi, ini tidak berarti mereka takut terhadap dua binatang itu.

Penelitian lain menemukan, balita berusia 18 bulan hingga 36 bulan tidak menunjukkan perilaku ketakutan saat berada di sekitar dua binatang tersebut atau mencoba menghindarinya.

Karena bayi tidak menunjukkan rasa takut sebagai respons terhadap binatang, rasa takut itu sendiri mungkin bukan bawaan.

Rakinson menjelaskan, bayi mungkin mengenali ular dan laba-laba sebagai ancaman yang dapat membuatnya takut karena reaksi orangtuanya.

Jika kita takut terhadap ular atau laba-laba, cobalah untuk tidak menunjukkan rasa takut saat berhadapan dengan salah satu makhluk tersebut. Tujuannya, supaya bayi tidak panik.

Cara lainnya untuk mengatasi fobia yang dialami bayi adalah dengan mengenalkannya dan memberi mereka informasi tentang makhluk yang ditakuti.

Misalnya, dengan mengajari bagaimana bayi menghindari gigitan ular atau menjauh dari rumput tinggi yang sering menjadi tempat persembunyian ular.

Mengenalkan si kecil dengan fakta yang ada bisa membuatnya merasa lebih terkendali dan tidak terlalu takut.

Takut ketinggian

Bayi mungkin saja akan menunjukkan respons ketakutan saat berada di tempat yang tinggi, layaknya orang dewasa yang takut ketinggian.

Sebuah eksperimen di tahun 1960-an menemukan bahwa bayi dapat merasakan kedalaman pada saat mereka belajar merangkak.

Para peneliti menempatkan bayi berusia 6 hingga 14 bulan di atas platform dengan pola kotak-kotak.

Platform ini terhubung dengan permukaan kaca transparan dan pola kotak-kotak berlanjut di lantai beberapa kaki di bawah kaca.

Pola-pola ini disusun untuk menciptakan ilusi tebing dengan ketinggian yang curam.

Para peneliti ingin mengetahui berapa banyak bayi yang benar-benar bisa melewati tebing buatan mereka itu.

“Untuk bayi yang belum merangkak, Anda bisa meletakkannya di tengah tebing visual ini dan mereka tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan," kata Rakinson.

"Bayi yang sudah mulai merangkak menunjukkan sedikit ketakutan tetapi tidak terlalu banyak. Hanya setelah bayi merangkak selama sekitar satu bulan, dan pernah jatuh, mulai menolak untuk menyeberangi tebing visual," sambungnya.

Para peneliti rasa takut itu adalah reaksi dari usaha bayi untuk tidak jatuh dari tebing. Seperti ketakutan lainnya, ketakutan terhadap ketinggian dapat diatasi.

Jika si kecil takut ketinggian, cobalah terapi eksposur atau secara bertahap dihadapkan pada ketinggian. Teknik ini dengan perlahan memberanikan bayi pada situasi yang mereka takuti.

Terapi ini sedikit demi sedikit membuat mereka bisa menjadi kurang sensitif terhadap ketinggian.

Terapi eksposur dapat mengatasi semua jenis ketakutan. Jika seseorang takut ketinggian, mulailah dengan melihat gambar ketinggian yang indah, seperti pegunungan, kemudian beralih ke jungkat-jungkit yang tinggi, dan naik dari sana.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/12/17/202315220/ular-laba-laba-dan-ketinggian-mana-yang-lebih-ditakuti-bayi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke