Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tahun Baru dan Resolusi: Masih Percaya Diri atau Sebatas Mimpi?

Semua yang belum kesampaian biasanya masuk dalam daftar pencapaian. Mumpung tahunnya masih anyar.

Yang paling favorit tentunya mimpi tentang hidup sehat. Ada yang punya nazar menyisihkan beberapa kilo bobot – sebaliknya ada yang mengidamkan tubuh lebih berotot. Ada yang gigih ingin melawan nafsu makan yang lagi-lagi nagih.

Ada yang punya mimpi investasi – dari ekonomi hingga edukasi. Ada yang berniat punya hubungan cinta saling mengikat.

Sepintas lagunya klasik: tahun meraih mimpi. Ada yang skala pribadi, hingga yang punya skala seluruh negri. Keduanya tentu ‘related’ – istilah anak muda sekarang – saling berhubungan.

Sebab jika tiap individu lebih sehat, tentu imbasnya negara makin kuat karena dibangun oleh SDM bermutu dan Jaminan Kesehatan Nasional bisa dihemat.

Sebab jika keuangan rumah tangga membaik, artinya pendapatan per kapita ikut naik – logikanya wajah perekonomian negara semakin apik. Diandaikan cara pikir linier hubungan sebab akibat terjadi begitu.

Tapi dinamika hidup manusia diwarnai pola berpikir lateral, yang membuat kita semua berada di situasi seperti sekarang.

Jargon keterbaruan dan keterkinian sains: “Demi masa depan yang lebih baik” sudah lama digarisbawahi para pemikir kritis, masa depan yang lebih baik bagi siapa?

Agar tidak terlalu melenceng, saya kupas dari masalah tren kecukupan pangan saja. Selama ini pokok bahasan ilmu gizi di Indonesia masih berkutat di masalah kalori dan berderet-deret mineral yang mesti dipenuhi sejak usia bayi.

Maka tak heran semua orang yang merasa pintar berhitung dan rajin utak atik tabel komposisi pangan, riuh rendah meramaikan media sosial dengan pelbagai resep makanan bayi hingga resep diet buat ibu bapaknya.

Peluang pun ditangkap para pelaku bisnis yang jeli: klop dengan karakter masyarakat yang rajin beli-beli.

Bicara ikan teri kaya kalsium dan bisa menjadi sumber protein baik bagi bayi saja, dalam sekejap muncul iklan menawarkan botol-botol lucu berisi bubuk ikan teri.

Menghalalkan mimpi si ibu untuk punya anak tidak stunting, tapi bingung ikan teri beli di mana dan mau dimasak apa.

Alhasil bubuk teri cukup ditabur model obat puyer di atas bubur bayi. Sebab bapak ibunya sudah tidak makan pepes atau gadon teri lagi. Mereka asik mukbang Samyang ramyeon dan antre bolu negri Sakura yang ‘lumer di lidah’.

Mengandaikan keren makan ala-ala, dikira orang Korea dan Jepang jadi sehat dengan makan seperti itu. Ampun!


Angka stunting di negri ini masih di atas 20%, belum lewat dari batas bahaya yang disebut WHO mengancam kualitas manusia suatu negri di masa depan.

Satu dari 5 anak kehilangan hak tumbuh cerdas, di saat yang sama otomatis kehilangan hak pekerjaan yang membutuhkan tinggi badan tertentu.

Di sisi lain, pengentasan stunting tidak ditekankan pada edukasi cara pemberian makan bayi dan anak yang benar, melainkan para ibu justru didorong menjadi konsumen pangan bayi kemasan – yang ‘memudahkan hidup’ – sehingga ibu lebih bebas dengan dirinya. Sebab membuat makanan bayi dinilai beberapa orang terlalu merepotkan.

Sebegitu ‘repot’nya, sehingga bapak ibunya pun terbiasa dengan jajan layan antar. Dapur bersih kinclong sebatas alat penanak nasi yang bekerja siang malam.

Fenomena di atas tidak muncul tiba-tiba. ‘Kepraktisan’ hidup yang dielu-elukan sebagai cara waras untuk menikmati uang dan penghasilan adalah produk dari kolaborasi berat sebelah antara para stake holder dunia kesehatan dan pangan.

Publik hanya memilah milih mana yang kelihatannya ‘sejalan’ dengan pemikiran sebagian besar orang, dan sisanya (yang justru penting) lupakan, hilangkan – jika perlu diskreditkan, sebab mengganggu ‘sistem’.

Sistem pada era ini dibangun dengan jejaring media sosial. Bukan rahasia lagi, jualan dengan imbas terbesar apabila rekrutmen sales marketing berasal dari ‘geng’ komunitas yang akan memviralkan suatu produk atau teknik bagai kebakaran hutan yang masif terencana dan terstruktur.

Menyewa sekelompok ibu-ibu yang aktif greget kecanduan media sosial dengan iming-iming produk gratis, jauh lebih menguntungkan ketimbang mempekerjakan sarjana marketing dengan gaji tetap dan sederet tuntutan jabatan.

Publik belajar tentang hidup dan citra kehidupan yang diimpikan dari media sosial. Itu tak usah lagi diragukan.

Sementara media sosial isinya konten, unggahan yang juga sarat pencitraan dan impian ketimbang kebenaran yang sesuai lini masa.

Lebih mengenaskan lagi, jika gegara suatu konten terjadi ‘pertempuran’ antar kubu penganut dan penghasut. Yang ujung pangkalnya tidak jelas pula.

Di tahun yang baru, jika kita masih berkutat dengan cara berpikir lawas, maka sama saja artinya seperti cuma mengulas mimpi di atas kertas.

Mari menata resolusi dan intensi: berangkat dari fakta dan hasil evaluasi.

Bobot yang semakin bertambah padahal niatnya susut bukan lagi soal pola diet yang dianut. Tapi seberapa pahamkah anda tentang bedanya kebutuhan dan kecanduan? Memahami hal ini tidak akan bisa didapat di media sosial.

Menyalahkan musim dan cuaca sebagai penyebab anak sakit – tapi pahamkah Anda di sekitar anak masih bersliweran penularnya? Bahkan ayahnya masih merokok saat si anak batuk keras.

Menuduh anak kurus karena ‘keturunan’ – tapi sejak anak mulai makan tidak pernah diperhatikan kecukupan porsinya, apalagi kualitas camilannya.

Menganggap semua produk lolos uji BPOM adalah pangan sehat yang memenuhi mimpi kecukupan nutrisi sepanjang hari.

Sekali lagi, untuk bisa arif menemukan jawabnya pun, tidak akan bisa didapat di media sosial (yang justru membuat anda semakin terpojok karena berada di komunitas yang salah).

Merupakan mimpi garis keras jika kita bersumpah palapa, agar tahun baru anak punya hidup baru tanpa sakit – sementara si ayah masih merokok dan ibunya tak berdaya membiarkan anak diberi jajanan oleh tetangga dan mertua – hingga si anak mogok makan di saat seharusnya ia makan.

Setiap orang punya kesempatan hidup hanya sekali. Namun semua orang ke depannya berhak punya visi. Yang realitis karena hasil evaluasi – yang masuk akal karena hasil dari perbaikan diri.

Bukan resolusi yang membuat Anda dan saya jadi sosok teralienasi, terasing, akibat mimpi yang tak penting.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/12/31/170100720/tahun-baru-dan-resolusi--masih-percaya-diri-atau-sebatas-mimpi-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke