Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Demam NFT Ghozali, Bukan Semata soal "Cuan"

KOMPAS.com - Demam Non Fungible Token (NFT) Ghozali sudah beberapa hari belakangan meramaikan dunia maya.

Kesuksesan akun opensea Ghozali meraup keuntungan miliaran dari foto selfie miliknya itu memang mencengangkan.

Tak heran jika ia langsung jadi buah bibir seluruh masyarakat di Indonesia.

Bukan hanya itu, bocah asal Semarang itu juga menginspirasi banyak orang lainnya untuk mendapatkan cuan dari NFT.

Termasuk dengan berbondong-bondong menawarkan foto aneka rupa di pasar jual beli digital NFT.

Mulai dari foto selfie, KTP, bakso, sampai potret para koruptor ditawarkan dengan harapan bisa meraih cuan.

Pakar komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan mengatakan NFT bukan hanya sekedar peluang meraih pundi-pundi rupiah.

"NFT itu material digital, sebenarnya bukan konsep yang baru, tapi ini bukti transisi dunia untuk menjadi lebih digital," katanya dalam diskusi virtual, Kamis (21/01/2022).

Namun demam NFT akibat efek Ghozali ini dinilainya serupa dengan tren batu akik, ikan Lou Han, dan tanaman gelombang cinta beberapa waktu lalu.

Bedanya, batu akik memiliki bentuk fisik sedangkan NFT Ghozali eksis secara virtual di dunia digital.

Nilai NFT Ghozali meroket hingga miliar rupiah sebagai akibat dari narasi yang ditukarkan para pelaku di dalam jaringan tersebut.

Sebagaimana dulu masyarakat percaya dengan narasi keunikan batu akik dan berbagai benda lainnya yang sempat booming.

Serupa, nilainya akan turun jika narasi itu tidak lagi laku atau dipercaya oleh masyarakat.

Praktik NFT Ghozali tak selalu bisa dilakukan

Tergiur mendapatkan cuan yang sama, banyak orang latah menawarkan NFT berupa foto miliknya.

Namun langkah ini tidak boleh gegabah dilakukan karena ada risiko di balik tindakan tersebut, kata Firman.

Misalnya saja dari segi legalitas dari objek foto tersebut berdasarkan hukum yang diterapkan saat ini.

Sebagai contoh, foto selfie KTP bisa saja dipersalahgunakan untuk mengakses pinjaman online, membobol rekening atau akun penting lainnya.

"Bahaya untuk data pribadi karena ada banyak data seperti NIK dan foto diri, demikian juga jika kita menjual foto orang lain, ada pidananya," jelasnya.

Idealnya, tambah Firman, NFT adalah benda yang bersifat koleksi dan ada nilai yang layak ditukarkan seperti karya seni.

Namun berbagai foto yang kini berbondong-bondong asal ditawarkan masyarakat cenderung tidak bernilai.

Demam NFT Ghozali ini sekaligus membuktikan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya siap dengan perubahan dunia digital ini.

Banyak yang tergoda dengan cuan tanpa peduli dengan legalitas, implikasi maupun orisinalitas NFT yang ditawarkan.

"Tendensi paling kuat ya coba peruntungan, ya udah dicoba dulu untuk atau tidak, tidak dipertimbangkan," jelas Firman.

Menurutnya, pasar, atau masyarakat Indonesia, masih sangat perlu mendapatkan literasi mendalam soal NFT maupun jenis perdagangan digital lain.

Saat ini disebut Firman sebagai era honeymoon NFT sehingga hanya menawarkan hal yang manis dan menggiurkan saja.

Sama seperti tren akik, Bitcoin maupun ikan Luo Han, material tersebut akan jatuh nilainya ketika pasar tak lagi bergairah.

"Kecuali seperti pasar modal yang memang ada basis kuat, bukan sekedar narasi orang-orang yang berjejaring itu," tutup akademisi ini.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/01/21/092153720/demam-nft-ghozali-bukan-semata-soal-cuan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke