Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Jouhatsu, "Budaya Menghilang" ala Orang Jepang

KOMPAS.com - Ketika merasa muak dan bosan dengan kehidupan yang biasa-biasa saja, kita terkadang memikirkan rencana pergi ke tempat lain untuk memulai sesuatu yang baru.

Keinginan ini juga bisa timbul apabila suatu ketika kita melakukan kesalahan besar yang mengakibatkan rasa malu luar biasa.

Rasanya "menghilang" dari orang-orang di sekitar yang mengetahui kehidupan dan aib kita adalah cara tercepat untuk menenangkan diri.

Walau hal ini sering dipikirkan tetapi sukar dilakukan, ternyata di Jepang menghilang dari kehidupan asli untuk memulai sesuatu yang baru benar-benar ada dan cukup banyak dilakukan.

Di Jepang, hal ini disebut sebagai jouhatsu. Ini adalah kata dalam bahasa Jepang untuk penguapan.

Kata ini juga mengacu pada orang-orang yang sengaja menghilang secara perlahan dan terus menyembunyikan keberadaannya selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.

Salah seorang pelaku jouhatsu, Sugitomo (42), mengatakan alasannya melakukan ini karena ia muak terhadap hubungan dengan manusia.

"Saya mengambil sebuah koper kecil dan menghilang. Saya baru saja melarikan diri," kata Sugitomo dalam wawancaranya bersama BBC.

Ia mengatakan, di kampung halamannya yang kecil, semua orang mengenalnya. Orang-orang juga tahu bisnis keluarganya yang diharapkan untuk diteruskan Sugitomo.

Tetapi Sugitomo merasa tertekan dengan pandangan itu sehingga ia tiba-tiba meninggalkan kota selamanya dan tidak memberi tahu siapa pun ke mana akan pergi.

Perusahaan penyedia layanan jouhatsu

Pengakuan Sugitomo hanyalah satu di antara sekian banyak kasus jouhatsu di Negeri Sakura.

Masalah lain yang kerap mendorong orang untuk melakukan jouhatsu, antara lain hutang dan pernikahan yang sudah tidak ada rasa cinta.

Terlepas dari alasan melakukan jouhatsu, ternyata ada perusahaan yang membantu orang-orang melalui proses ini.

Operasi ini disebut layanan "night moving" dan membantu orang yang melakukan jouhatsu untuk menghilang secara diam-diam.

Dengan begitu pelaku jouhatsu dapat melepaskan diri dari kehidupannya dan mendapat tempat tinggal secara rahasia dari perusahaan penyedia layanan.

“Biasanya alasan pindah adalah sesuatu yang baik, seperti masuk universitas, mendapatkan pekerjaan baru atau menikah," ujar Sho Hatori, yang mendirikan perusahaan untuk membantu para pelaku jouhatsu.

Ia mengaku, ada juga alasan lain mengapa orang di negaranya ingin menghilang tanpa jejak.

Seperti mengalami putus kuliah, kehilangan pekerjaan, atau melarikan diri dari penguntit.

Pada awalnya, ia mengira kehancuran finansial menjadi satu-satunya hal yang mendorong orang untuk melarikan diri dari kehidupannya yang bermasalah.

Tetapi, jawabannya ternyata tidak. Sebab, ada alasan lainnya dan karenanya ia mendukung orang untuk memulai kehidupan keduanya.

Awal mula jouhatsu

Sosiolog Hiroki Nakamori telah meneliti jouhatsu selama lebih dari satu dekade.

Ia mengatakan, istilah jouhatsu pertama kali digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang memutuskan menghilang di tahun 60-an.

Tingkat perceraian yang sangat rendah di Jepang menyebabkan beberapa orang memutuskan meninggalkan pasangannya daripada melalui proses perceraian yang rumit.

“Di Jepang, lebih mudah jouhatsu,” kata Nakamori.

Pasalnya privasi sangat dilindungi dan orang-orang dapat dengan bebas menarik uang dari ATM tanpa ditandai.

Keluarga juga tidak dapat mengakses kamera keamanan yang merekam orang yang dicintai selama dalam pelarian.

“Polisi tidak akan campur tangan kecuali ada alasan lain, seperti kejahatan atau kecelakaan. Yang dapat dilakukan adalah membayar pada detektif swasta. Atau tunggu saja. Itu saja," imbuh Nakamori.

Bagi mereka yang ditinggalkan orang yang melakukan jouhatsu, pasti akan merasakan kekagetan.

Seperti yang dialami seorang wanita Jepang, yang kaget ketika putranya berusia 22 tahun hilang dan tidak pernah menghubunginya kembali.

“Ia gagal setelah berhenti dari pekerjaannya dua kali. Dia pasti merasa sedih dengan kegagalannya.”

Wanita tersebut awalnya pergi ke tempat tinggalnya, menggeledah tempat itu, dan kemudian menunggu di mobilnya selama berhari-hari untuk melihat apakah anaknya muncul.

Ia mengatakan polisi tidak membantu dan mengatakan polisi baru bisa ikut campur apabila kasusnya adalah bunuh diri yang mencurigakan.

Bagi pelaku jouhatsu, perasaan sedih dan menyesal masih melekat walau ia sudah meninggalkan kehidupan aslinya.

“Saya selalu merasa telah melakukan kesalahan,” kata Sugimoto, pengusaha yang meninggalkan istri dan anak-anaknya.

“Saya belum melihat anak-anak dalam setahun. Saya memberi tahu mereka bahwa saya sedang dalam perjalanan bisnis.”

Satu-satunya penyesalannya, adalah meninggalkan anak-anak dan saat ini Sugimoto tinggal di sebuah rumah yang terletak di distrik perumahan Tokyo.

Perusahaan yang menampungnya dijalankan oleh seorang wanita bernama Saita.

Ia diketahui juga menggunakan nama keluarganya hanya untuk menjaga kerahasiaan. Saita juga seorang jouhatsu, yang menghilang 17 tahun lalu.

Ia memutuskan melakukan jouhatsu setelah merasakan hubungan yang kasar secara fisik.

Untuk orang-orang seperti Sugimoto, perusahaannya membantunya mengatasi kesulitannya sendiri.

Walau berhasil menghilang, bukan berarti jejak kehidupan lamanya tidak tertinggal.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/02/25/220255320/mengenal-jouhatsu-budaya-menghilang-ala-orang-jepang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke