Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menilik Kultus Kerja Berlebihan di Seluruh Dunia

KOMPAS.com - Di kota-kota besar, budaya kerja berlebihan nampaknya sudah menjadi kultus.

Banyak orang rela pulang paling akhir dari kantor bahkan mau bekerja di hari libur untuk menunjukkan dedikasi terhadap tempat kerjanya.

Padahal, kerja berlebihan, apalagi melebihi delapan jam per hari, memiliki efek buruk bagi kesehatan mental dan fisik seseorang.

Studi baru menunjukkan bahwa pekerja di seluruh dunia menjalani lembur tidak dibayar dengan rata-rata waktu 9,2 jam per minggu.

Jumlah tersebut naik dari 7,3 jam setahun yang lalu.

Waktu kerja yang gila-gilaan semakin meningkat ketika pandemi Covid-19 melanda. Sebab sekat antara kehidupan pribadi dan pekerjaan menjadi kabur.

Ketika work from home, orang-orang dihujani banyak pekerjaan dengan deadline mepet bahkan hingga tengah malam.

Awal mula budaya kerja berlebihan

Terlalu banyak bekerja tidak hanya terjadi di kota megapolitan atau metropolitan saja. Di berbagai negara, terdapat alasan mengapa orang rela bekerja hingga berjam-jam.

Di Jepang misalnya, budaya kerja berlebihan bermula pada tahun 1950-an ketika pemerintah mendorong keras agar negaranya bangkit usai Perang Dunia II.

Sementara itu, penelitian yang diterbitkan BMC Health Service Research mendapati kelelahan tinggi di antara profesional medis di negara-negara Arab.

Hal itu disebabkan karena 22 anggota Liga Arah merupakan negara-negara berkembang dengan sistem perawatan kesehatan yang terbebani.

Alasan untuk terlalu banyak bekerja juga tergantung pada industri.

Sementara itu, beberapa peneliti tentang burnout pada 1970-an mendapati orang yang bekerja melayani masyarakat cenderung memiliki jam kerja yang berlebihan.

Hal itu menyebabkan mereka mengalami kelelahan emosional dan fisik, sebuah tren yang juga muncul selama pandemi.

Akan tetapi, kerja yang berlebihan masih saja dianggap sebagai sebuah kebanggaan dan beberapa orang menjadikannya sebagai status menuju kesuksesan.

Anat Lechner, profesor manajemen klinis di New York University menyebut gaya hidup ini akhirnya diglorifikasi orang-orang.

"Kami memuliakan gaya hidup, dan gaya hidup adalah: Anda bekerja seperti bernafas, Anda tidur dengan pekerjaan, Anda bangun dan mengerjakan pekerjaan sepanjang hari, lalu Anda pergi tidur," katanya.

Budaya kerja berlebihan seiring zaman

Akar kultus kerja yang berlebihan bermula dari etos kerja Protestan pada abad ke-16.

Saat itu pandangan dunia dipegang oleh orang kulit putih Protestan di Eropa yang membuat kerja keras dan pencarian keuntungan adalah tindakan berbudi luhur.

Kemudian, kerja berlebihan yang juga diikuti dengan konsumerisme merajarela ketika Inggris dipimpin Margaret Thatcher dan AS dipimpin Ronald Reagan.

Setelah itu, pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, kerja berlebihan semakin menjadi-jadi ketika Google dan Facebook mulai tumbuh.

Masyarakat mulai "memuliakan" para wirausahawan yang mengatakan mereka ingin mengubah dunia.

Tapi, saat ini alasannya berbeda. Banyak orang bekerja berjam-jam untuk melunasi hutang, sekadar mempertahankan pekerjaan mereka, atau gengsi semata.

Hal ini lambat laun mengakibatkan angka burnout menjadi meningkat di kaalangan para pekerja.

Burnout menjadi salah satu tanda bahwa kerja berlebihan tidaklah baik bagi kesehatan seseorang.

“Burnout memiliki siklus seperti dimulai, kemudian mereda, dan kembali lagi,” kata Maslach, yang telah mempelajari burnout sejak tahun 1970-an.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dihasilkan dari stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola.

Burnout ditandai dengan perasaan kelelahan, perasaan negatif tentang pekerjaan, dan penurunan profesionalisme.

Dengan kata lain, burnout membuat orang-orang merasa tidak manusiawi, lelah secara fisik dan emosional, dan mempertanyakan mengapa mereka mengambil pekerjaan itu.

WHO secara resmi mengakui burnout sebagai fenomena pekerjaan pada tahun 2019.

"Kita hidup dalam budaya 24 jam seminggu. Media sosial 24 jam seminggu, komunikasi 24 jam seminggu, semuanya 24 seminggu. Tidak ada batasan tetap itu," kata Lechner.

Beberapa perusahaan yang menyadari kelelahan pada pekerjanya memang telah menawarkan program kesehatan mental.

Seperti memberikan fasilitas sesi terapi gratis atau akses gratis ke aplikasi kesehatan.

Namun, para ahli berpikir, sangat kecil kemungkinannya bahwa orang-orang memasuki era baru yang memprioritaskan kesejahteraan atas kerja berlebihan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/03/01/073635620/menilik-kultus-kerja-berlebihan-di-seluruh-dunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke