Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

8 Mitos Seputar Kesehatan Mental yang Keliru

KOMPAS.com - Tidak hanya kesehatan fisik, kesehatan mental juga penting untuk diperhatikan.

Sayangnya, banyak orang belum menyadari gangguan kesehatan mental merupakan isu yang serius.

Stigma negatif masih cenderung melekat pada mereka yang didiagnosis mengalami masalah kesehatan mental.

Penderita gangguan mental seringkali dipandang kurang waras atau gila, sedangkan mendatangi psikolog untuk mencari bantuan merupakan aib atau tindakan yang memalukan.

Beberapa ahli mencoba mengidentifikasi mitos mengenai kesehatan mental yang sering ditemui di masyarakat.

Mereka adalah Dr Anisha Patel-Dunn, chief medical officer di LifeStance Health, Dr Neha Chaudhary, chief medical officer di BeMe Health, serta Amira Johnson, dokter mental dan perilaku di Berman Psychotherapy.

Apa saja penjelasan yang disampaikan oleh ketiga ahli seputar mitos masalah kesehatan mental? Ini dia.

1. Mitos masalah kesehatan mental bukanlah masalah umum

Mitos pertama ini mungkin sudah pernah kita dengar, namun hal ini dibantah oleh Chaudhary.

"Masalah kesehatan mental sangat umum dan tingkat kondisi seperti kecemasan dan depresi sebenarnya meningkat pada anak dan remaja," jelas dia.

Pembelajaran secara virtual sebagai pengganti pembelajaran tatap muka akibat pandemi menjadi penyebab banyaknya anak muda yang menderita masalah kesehatan mental.

LifeStance Health --tempat di mana Patel-Dunn bekerja-- melaporkan, sejak Juli 2019 hingga Juli 2021, terdapat peningkatan 200 persen pada pasien remaja berusia di bawah 17 tahun yang mencari layanan kesehatan mental.

Chaudhary juga melihat peningkatan serupa pada pasien remaja.

"Saya melihat remaja yang tidak memiliki kondisi apa pun sebelum pandemi, mengalami gejala kesehatan mental untuk pertama kalinya," tutur Chaudhary.

"Dan saya juga melihat remaja dengan masalah kesehatan mental yang sudah ada memiliki gejala yang kambuh sejak pandemi terjadi."

Dalam temuannya Chaudhary mencatat, masalah kesehatan mental di kalangan anak muda sudah meningkat sejak sebelum pandemi.

Seperti dilaporkan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS, pada 2009 hingga 2019 jumlah siswa sekolah menengah yang mengalami perasaan sedih atau putus asa meningkat sebesar 40 persen.

Pada rentang waktu yang sama, perilaku bunuh diri di kalangan siswa sekolah menengah juga meningkat sebesar 36 persen.

"Tantangan kesehatan mental pada anak, remaja, dan dewasa muda adalah nyata dan tersebar luas," sebut ahli bedah umum Vivek Murthy.

"Bahkan sebelum pandemi, beberapa anak muda berjuang dengan perasaan tidak berdaya, depresi, dan pemikiran untuk bunuh diri, dan angka ini meningkat selama dekade terakhir."

2. Jika tidak seorang pun mengetahui kita depresi, tandanya kita baik-baik saja

Ada segelintir orang yang mampu menutupi emosi mereka dengan memeroleh nilai bagus atau menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, dan bertindak seolah semua baik-baik saja.

Meski demikian, bukan berarti orang tersebut tidak mengalami depresi atau kecemasan.

"Sejumlah remaja pandai memerlihatkan wajah yang tampak bahagia, padahal di dalam hati mereka justru sebaliknya," papar Chaudhary.

"Perlu diingat, pada akhirnya semua orang mengalami sesuatu dan kita tidak pernah mengetahui siapa yang kesulitan dan siapa yang tidak dari penampilan luarnya."

Dijelaskan Johnson, bisa jadi kita merasakan tekanan untuk bertindak seakan-akan segalanya baik-baik saja, meskipun kita menghadapi kesulitan.

Beban atau tekanan itu kemungkinan berasal dari pemikiran bahwa kita harus menjadi lebih kuat untuk teman atau keluarga, takut akan penilaian orang lain, dan banyak lagi.

3. Depresi dan masalah kesehatan mental bisa menular

Depresi atau masalah kesehatan mental lain bukanlah penyakit flu yang dapat menular ke orang lain.

Namun, jika kita meluangkan waktu dengan seseorang yang depresi atau cemas, ada kemungkinan kita juga akan merasa sedih.

Baik Chaudhary maupun Johnson menyebut, fenomena ini disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menyerap atau menerima emosi orang lain.

"Kita adalah makhluk yang energik. Jika seseorang di sekitar kita menunjukkan jenis energi tertentu, kita mungkin akan mengambil energi itu," kata Johnson.

"Jika kita menghabiskan waktu dengan teman yang sedang mengalami banyak hal dan merasa sedih, kita mungkin tidak lagi pergi bersama mereka karena merasa sangat berat atau sedih," tambah Chaudhary.

"Itu bukan berarti kita menangkap depresi mereka, tetapi kita terpengaruh oleh perasaan mereka. Itu sangat wajar, apalagi jika kita peduli dengan orang itu."

Patel-Dunn memperluas gagasan ini. Merasa melankolis setelah menghabiskan waktu bersama seseorang yang depresi adalah respons emosional tubuh untuk berempati dengan orang tersebut.

"Kita sebagai manusia ingin berempati dan mendukung teman dan orang yang kita cintai," cetus Patel-Dunn.

"Ada cara untuk mengenali ketika seseorang terluka secara fisik atau emosional. Tetapi merasa sedih untuk seseorang tidak berarti kita juga akan merasa tertekan."

Apabila kita menemani teman atau kerabat yang mengalami gangguan kesehatan mental dan menyadari masalah mereka bisa membuat kita tertekan, Chaduhary menyarankan beberapa langkah.

"Kita bisa membuat batasan antara diri kita dan teman yang mungkin memiliki gejala, atau menghubungi pakar untuk mendapatkan bantuan yang tepat," jelasnya.

Saat memutuskan untuk menjauh dari teman yang memiliki masalah kesehatan mental, Chaudhary menyarankan kita agar mengatakan secara jujur apa penyebab dibalik tindakan kita.

"Sangat penting untuk berkomunikasi secara terbuka tentang kesehatan mental, dan biasanya komunikasi terbuka membantu orang merasa lebih didukung," kata dia.

"Dalam situasi seperti ini, cobalah mengatakan 'saya tahu kamu benar-benar kesulitan. Ketahuilah saya sangat peduli denganmu dan saya ingin berbicara lebih banyak tentang ini, tetapi saya juga menghadapi kesulitan'," imbuhnya.

4. Depresi atau kecemasan bisa dikendalikan

"Masalah kesehatan mental adalah kondisi yang memerlukan dukungan dan perawatan nyata, dalam bentuk konseling atau rutinitas perawatan diri," ungkap Chaudhary.

"Terkadang gangguan seperti depresi atau kecemasan memengaruhi otak kita dengan cara yang tidak dapat ditangani oleh terapi saja."

"Dalam kasus tersebut, otak kita mungkin memerlukan obat untuk membantu mengembalikan fungsi ke awal sebelum sakit," sambung dia.

"Kondisi, genetika, dan cara kerja otak setiap orang sedikit berbeda, itulah sebabnya mengapa orang yang berbeda membutuhkan jenis perawatan berbeda pula."

Mereka yang berjuang dengan masalah kesehatan mental tidak memiliki kendali atas apa yang dialami, tambah Patel-Dunn.

Tindakan seperti terapi, berkumpul dengan orang terkasih atau menonton film favorit bisa meringankan gejala kesehatan mental, tetapi tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah.

"Tindakan itu dapat membantu, tetapi kita tidak memiliki kendali seperti saklar lampu yang mengatur emosi kita," tambah Patel-Dunn.

"Kita hanya memiliki kendali atas hal-hal yang dapat kita lakukan untuk membantu meringankan gejala itu."

5. Orang dengan gangguan mental adalah orang gila

Stigma negatif terkait kesehatan mental seperti melabeli orang dengan gangguan mental sebagai orang gila akan menyebabkan orang tersebut enggan mencari bantuan.

Faktanya, memiliki gangguan mental bukan berarti ada yang salah pada diri kita.

"Ini adalah mitos di masyarakat yang dibuat dari generasi sebelumnya," kata Patel-Dunn.

"Otak adalah organ. Organ itu berarti bisa sakit, sama seperti kita memiliki masalah pada jantung atau paru-paru," imbuh Chaudhary.

"Kita perlu menganggap masalah kesehatan mental sama seperti masalah kesehatan fisik."

"Kita tidak menghakimi orang karena memiliki penyakit medis tertentu, tetapi terkadang kita secara tidak adil menghakimi orang lain karena memiliki gangguan mental," tuturnya.

"Sebagian besar penilaian itu datang dari stigma atau pemikiran bahwa penyakit jiwa itu memalukan."

"Semakin banyak orang berbicara tentang perjuangan kesehatan mental mereka, semakin kita mampu mengurangi stigma itu di sekitar kita."

6. Gangguan mental hilang begitu kita menjalani terapi

Ketiga ahli sependapat, terapi dapat membantu kita mengembangkan kemampuan untuk meringankan kondisi gangguan mental dan mengatasi stres.

Namun bukan berarti terapi langsung dapat menyembuhkan kita.

Kondisi tertentu seperti gangguan makan, gangguan bipolar, atau skizofrenia memerlukan penanganan atau terapi yang konsisten seumur hidup.

Sementara itu, masalah lain seperti depresi dan kecemasan bisa jadi memerlukan perawatan yang bervariasi.

"Terapi dapat menjadi alat yang membantu untuk membuat gejala menjadi lebih baik, tetapi tidak selalu menyembuhkan kondisi setiap orang selamanya," ujar Chaudhary.

"Beberapa orang yang menjalani terapi untuk depresi mungkin menjadi lebih baik."

"Tetapi bagi orang lain, meskipun mereka menjadi lebih baik di waktu tertentu, mungkin ada momen dalam hidup mereka ketika episode depresi kembali."

Patel-Dunn mencatat, terapi gangguan mental bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman.

"Pada awalnya, terapi bisa memicu kecemasan," katanya.

"Ketahuilah pada suatu saat, kita mungkin merasa sedikit lebih buruk saat membuka diri untuk menjadi rentan dan membagikan kondisi emosional kita kepada seorang profesional."

Ada dua faktor yang dapat membuat terapi kesehatan mental berjalan lancar, jelas Chaudhary.

"Pertama adalah memiliki ruang untuk mengeksplorasi perasaan kita dan juga melepaskannya dari diri kita."

"Kedua, sangat membantu untuk memiliki seseorang yang selalu ada untuk kita, apa pun yang terjadi," tambahnya.

"Di situlah terapi bekerja paling baik, karena kita melihat konsistensi itu dari minggu ke minggu."

7. Teknologi buruk bagi kesehatan mental

Banyak temuan yang menunjukkan media sosial dan paparan layar perangkat elektronik bisa berdampak bagi kesehatan mental kita.

Dengan temuan tersebut, kita cenderung berasumsi teknologi buruk bagi kesehatan mental kita secara keseluruhan. Namun faktanya tidak sesederhana itu.

"Apakah teknologi merugikan atau membantu kesehatan mental kita, tergantung dari cara kita menggunakan teknologi," kata Chaudhary.

Dia menjelaskan, ada satu sisi dari teknologi yang merusak kesehatan mental, seperti membandingkan diri dengan orang lain dan perundungan.

Sedangkan di sisi lain, teknologi mendorong peningkatan hubungan dengan orang lain dan menyediakan sumber daya tentang praktik positif seperti meditasi dan perhatian penuh (mindfulness).

"Kita bisa mengendalikan dan memilih bagaimana kita terlibat dan tidak terlibat dengan teknologi ini. Pilihan itu ada di tangan kita," terangnya.

Untuk menilai dampak penggunaan media sosial terhadap kesehatan mental, cobalah kenali perasaan kita selama bermain dan setelah bermain medsos.

Jika aplikasi tertentu membuat kita menyalahkan diri atau merasa tertekan, ambil jeda atau berhenti menggunakan media sosial.

8. Kesehatan mental hanya untuk orang yang memiliki penyakit mental

Meskipun kita tidak sedang kesulitan dengan gangguan mental, masih ada beberapa cara untuk menjaga kesehatan mental kita.

"Kesehatan mental untuk semua orang, di mana saja, tidak peduli dari mana kita berasal, berapa usia kita, atau seberapa baik kita melakukan sesuatu," kata Chaudhary.

"Sama seperti tindakan yang bisa kita lakukan untuk tetap sehat --seperti berolahraga, makan dengan baik, pergi ke dokter secara rutin-- kita dapat menjaga kesehatan mental sehingga menjadi versi terbaik dari diri kita," lanjutnya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/03/01/154449420/8-mitos-seputar-kesehatan-mental-yang-keliru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke