Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Toxic Fandom", Kala Idola Jadi Segalanya yang Dibela Mati-matian...

Toxic fandom merujuk pada perilaku penggemar budaya populer yang cenderung negatif dan tidak dapat diterima.

Berbagai hal dilakukan demi idolanya, tanpa peduli dampaknya pada orang lain.

Perilaku yang dimaksud seperti bullying, hate speech, respons negatif yang masif pada budaya pop tertentu, dan menindas anggota fandom lain atau yang berseberangan dengan mereka.

Toxic fandom juga termasuk perilaku antisosial seperti membuat ancaman pembunuhan, ancaman pemerkosaan, atau doxing (memublikasikan informasi pribadi seseorang).

Umumnya, perilaku toxic fandom dilakukan secara online baik lewat komunitasnya maupun media sosial, terutama Twitter.

Aksi ini juga bisa disaksikan secara langsung khususnya dalam acara konser, jumpa fans, atau momen lainnya.

Menjadi tidak wajar ketika rasa suku dan dukungan yang diberikan menjadi berlebihan sehingga mengganggu orang lain.

Fandom terjadi ketika kita mengadopsi identitas penggemar tertentu yang bisa menjadi cara ampuh mendefinisikan diri sendiri.

Ketika seorang penggemar bertindak atas nama fandom-nya, tindakan itu mengekspresikan identitas yang telah dipilih untuk dirinya sendiri.

Akibatnya, investasi emosional yang diberikan penggemar dalam objek kesukaaannya itu dianggap sebagai perpanjangan dari diri mereka sendiri.

Tergabung dalam fandom tertentu juga membuat orang merasa terhubung secara emosional.

Mereka bukan hanya membentuk koneksi dengan obyek kesukaannya, melainkan juga dengan penggemar lainnya.

Penelitian menunjukkan bahwa meskipun sesama penggemar tidak berinteraksi secara langsung, mereka masih menganggap dirinya sebagai bagian dari komunitas tersebut.

Mengapa perilaku toxic fandom bisa terjadi?

Ketika seseorang mengadopsi identitas pribadi dan sosial, seperti tergabung dalam fandom tertentu, mereka juga ingin mempertahankannya dari ancaman.

Dalam hal ini, berarti membela idolanya yang dilihat sebagai bagian dari diri sendiri dan komunitas penggemar.

Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika orang membaca editorial negatif tentang merek yang disukai, seperti Starbucks atau Facebook, mereka bereaksi membela diri seolah-ola  telah diancam secara pribadi.

Mereka juga lebih sensitif terhadap penegasan dan ancaman terhadap bagian identitas mereknya jika memasukkan fandom tersebut dalam konsep dirinya.

Setelah itu, penggemar merasakan investasi pribadi dan bahkan kepemilikan atas obyek penggemar.

Meskipun tidak ada hubungannya dengan kekayaan intelektual, anggota fandom merasa bisa dan harus menggunakan pola komunikasi terbuka yang disediakan oleh media sosial.

Secara aktif dan kolektif, anggota fandom akan mengekspresikan preferensi dan keinginan mereka tentang idolanya.

Di sisi lain, ketika merasa dirinya atau idolanya terancam maka mereka akan menyerang secara defensif yang memunculkan perilaku toxic fandom.

Semua orang bisa menjadi korban dari toxic fandom termasuk penggemar lain yang dianggap pesaing, warganet yang merendahkan atau pihak lain yang berkontribusi mengubah idolanya menjadi hal yang tidak ideal.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/03/22/070000120/toxic-fandom-kala-idola-jadi-segalanya-yang-dibela-mati-matian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke