Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Produk Olahan Makin Mahal, Gizi Optimal Harus Lebih Rasional

Apakah karena minyak goreng termasuk kriteria sembako, maka begitu harganya gonjang ganjing, ketenangan ibu-ibu ikut jadi genting?

Mengacu pada keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998 disebutkan bahwa sembilan bahan pokok tersebut adalah beras, gula pasir, minyak goreng dan mentega, daging sapi dan daging ayam, telur ayam, susu, bawang merah dan bawang putih, gas elpiji dan minyak tanah, serta garam.

Di sisi lain, kita mempunyai pedoman umum Program Sembako 2020 yang ditujukan pemerintah sebagai bantuan sosial pangan Keluarga Penerima Manfaat (KPM), meliputi sumber karbohidrat sesuai pangan lokal, protein hewani dan nabati serta sayur mayur dan buah.

Bansos yang bisa berupa in natura (BPNT/ bantuan pangan non tunai) atau Bansos berupa uang tunai diatur dengan catatan menarik: tidak boleh digunakan untuk pembelian minyak, tepung terigu, gula pasir, MPASI Pabrikan, makanan kaleng, mi instan, juga tidak untuk pembelian pulsa, dan rokok.

Merujuk kedua rilis resmi pemerintah di atas, muncul pertanyaan bagus: mengapa dalam aturan Program Sembako 2020 ada aturan yang melarang penerima menggunakan fasilitas bantuannya untuk membeli minyak, tepung terigu, gula pasir, dan sebagainya?

Ada yang berspekulasi, apakah jika saya mendapat bantuan beras dan telur, artinya tidak boleh masak nasi goreng?

Bahkan, tidak diperkenankan untuk membeli MPASI pabrikan, sementara justru semakin banyak nakes menganjurkan MPASI pabrikan karena ‘sudah tertakar gizinya sekaligus higienis’.

Semakin hari semakin nyata bahwa mengurus negara dan ketahanan pangannya bukan hal sederhana.

Penderitaan bertambah saat pengambil kebijakan serta pelaksana kebijakan mempunyai cara pandang beda dan literasi gizi yang berbeda visi.

Anjuran meninggalkan gorengan selalu salah waktu. Bergaung di saat minyak goreng mahal – dan semakin banyak orang teriak karena merasa haknya terinjak, buat tetap ‘makan enak’.

Bahkan, semakin merembet isu sensitifnya dengan membawa-bawa tukang gorengan dan UMKM produk-produk ‘rakyat kecil’ yang masih menggunakan minyak goreng.


Lebih ricuh lagi, saat pemerintah mengucurkan ‘bantuan minyak goreng curah’ yang oleh Menperindag tahun 2019 untuk dihapus keberadaannya karena bukan produk sehat untuk dijadikan olahan makanan.

Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah membiarkan rakyatnya mengonsumsi produk tidak sehat demi meredam ricuh akibat kecanduan minyak goreng?

Lalu dari mana minyak goreng curah itu berasal? Sisa olahan makanan kasta sultan? Minyak curah diproduksi dari minyak goreng bekas pakai atau minyak jelantah.

S Ketaren dalam bukunya berjudul Teknologi Minyak dan Lemak Pangan menyebutkan, minyak goreng yang digunakan secara berulang apalagi dengan pemanasan tinggi sangat tidak sehat, karena kandungan asam lemak bebasnya yang teroksidasi, yang akan menyebabkan berbagai macam penyakit dari yang paling sederhana, diare akibat intoleransi lemak (karena nilai cerna lemak turun), hingga pengendapan lemak dalam pembuluh darah dan kanker.

Tidak kejadian besok tentu saja. Dan masyarakat masih tenang-tenang saja. Yang penting gorengannya jalan terus.

Jangankan dengan minyak curah, menggunakan minyak bermerek sekali pakai saja risiko terbentuknya senyawa akrilamida dan polisiklik aromatik hidrokarbon dari pangan yang digoreng sudah membuat masalah.

Anjuran menghindari gorengan menjadi pesimisme kepasrahan nakes,”Ya sudah, kalau nggak bisa dihindari, jangan sering-sering…”. Dan masyarakat hanya tersenyum sambil lalu.

Dapur Indonesia kalau enggak bau gorengan, rasanya enggak afdol. Masyarakat kita sakti, daya tahannya di atas rata-rata – penyakit akibat gorengan dianggap milik bule atau orang asing di luar sana.

Bahkan, bayi-bayi yang baru belajar makan untuk stimulasi oromotor kriuknya dianjurkan untuk mengonsumsi gorengan!

Ironinya, melindungi bangsa ini dari produk olahan sarat dengan serangan, jauh dari pujian. Tak jarang serangannya justru dari pihak yang mau dilindungi.

Ibarat remaja dijaga dari pergaulan ugal-ugalan, malah orang tuanya dituding melanggar kebebasan anak ‘untuk eksplorasi’ – padahal yang dia bilang asyik justru toksik.

Saat ini kita ramai dengan minyak goreng, sebentar lagi akan muncul kelangkaan terigu (akibat pasokan dari Eropa terganggu – ingat, gandum tidak tumbuh di bumi Indonesia?) dan harga gula rafinasi ikutan naik gengsi.

Mengajak publik meningkatkan gizi optimal untuk memilih bahan utuh pangan lokal yang lebih rasional, anehnya menuai nada tinggi emosional: “Oh jadi kita yang masih suka gorengan dan kue dianggap enggak rasional?”

Menarik napas dan mengelus dada saja tidak cukup untuk mengembalikan kewarasan dan kesabaran.

Negri ini sudah terlalu lama tertidur. Terlena dalam buaian industri pangan dan cekikan kecanduan.

Angka-angka mengerikan naiknya penyakit katastropik bukan dianggap sebagai seruan untuk evaluasi, tapi dorongan membuat rumah sakit dan aneka terapi sekaligus (lagi) mendongkrak investasi.

Para ibu yang bayi-bayinya mogok makan, di era ini malah diajari menabur gula dan garam dalam buburnya serta gorengan di kudapannya. Berharap dengan begitu, si bayi makan lahap.

Semakin tutup mulut, semakin banyak garam dan gula disusupkan dengan metode ‘jimpit’ tanpa kejelasan miligram.

Dan anaknya tetap tutup mulut rapat-rapat. Sebab sumber masalahnya masih belum ditangani dengan tepat.

Ibu-ibu muda berburu resep di media sosial yang dibanjiri produk. Mereka antusias membuat banana pancake. Chocochip soft cookies. Es krim dengan whipped cream. Mengolah makanan dari produk olahan.

Padahal, kita punya serabi dengan taburan abon ikan atau kacang hijau yang murah meriah bisa jadi es mambo, ketimbang pusing dengan resep gelato.

Semua terbuat dari bahan utuh, yang ada di pasar. Jauh dari bahan rafinasi apalagi produk ultra proses.

Barangkali kita baru ribut jika lemper atau bingka diklaim negara tetangga jadi kudapan nasional mereka.

Mirip batik yang akhirnya naik harga saat bangsa-bangsa lain menampilkan motif serupa.

Mendidik sebuah generasi untuk tidak amnesia asal usul, merupakan tugas pokok dari estafet kaderisasi.

Tidak bisa melalui pemahaman sepotong-sepotong yang akhirnya hanya sekadar euforia sensasi, lepas dari esensi.

Seperti menghargai nilai sehat dan manfaat ubi ungu, akhirnya kejeblos di taro cheese cake di atas menu. Konyol paling pol.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/03/30/090300820/produk-olahan-makin-mahal-gizi-optimal-harus-lebih-rasional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke