Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

ART, Masih Asisten atau Sudah Jadi Kapten?

Bahkan, kantor-kantor memberlakukan ‘work from office’ 100 persen. Artinya, para wanita karier yang tadinya menghabiskan waktu di rumah selama dua tahun, juggling antara pekerjaan di atas komputer, rapat-rapat virtual, dan situasi rumah tangga – sekarang kembali menata tas kerja, menyemir sepatu berhak tinggi serta blus, blazer, yang tahu-tahu mendadak terasa sempit.

Belum lagi, celana panjang kerja atau rok yang pensiun selama pandemi – sebab layar virtual hanya menampilkan sebatas dada ke atas.

Yang lebih menggelisahkan, tentunya masalah tata kelola keseharian rumah tangga. Anak-anak yang justru sudah membentuk normalitas baru: nyaman belajar di rumah, makan teratur, bisa bertanya apa saja dan kapan saja kepada orangtuanya, sekarang harus bangun lebih pagi.

Ikut mengejar kemacetan dan sarapan, sementara perut masih kembung karena terbiasa makan pagi ‘agak siang’ selama dua tahun.

Kesulitan semakin terasa bagi anak-anak yang mengawali pendidikan formal bangku SD kelas 1 dengan sekolah virtual. Saat ini justru menjelang kenaikan kelas 2 ke 3 segala sesuatunya berubah.

Rupanya drama terbesar belum berakhir sampai di situ. Bagi sebagian besar wanita karier, pengaturan rumah tangga ditopang oleh asisten rumah tangga.

Para ART (asisten rumah tangga) yang setia mendapat kebahagiaan tak terkira, saat lebaran tahun ini akhirnya bisa mudik pulang kampung membawa penghasilan lumayan, berikut bonus dan THR.

Kini giliran sang majikan gelisah. Asisten masih ogah kembali bekerja karena masih kangen keluarga.

Ada yang belum selesai membangun tembok pengganti dinding bilik (dan katanya sekalian mau memasang keramik lantai), ada yang suaminya bersikukuh sang istri ‘istirahat saja dulu di kampung’, bahkan ada temannya sekampung yang nyinyir,”Ngapain ngurusi anak bos, wong anak sendiri ndak keurus!”

Sementara itu bapak dan ibu bos sudah sebulan terpaksa langganan catering, tanaman tak terurus, kusen-kusen jendela kian kusam, dan baru saja kemarin mesin cuci mogok tak mau berputar hingga terpaksa mencuci dengan tangan sambil menunggu antrean layanan rumah servis mesin cuci.

“Penderitaan” bertambah ketika anak terkecil sedang tumbuh gigi, demam, baru saja sembuh dari flu singapura, dan makan minta digendong kesana kemari.

ART ditelepon, didera pesan teks hampir setiap hari, tak bergeming. Dijawab dengan emotikon senyum atau jawaban klasik menggantung atau bahkan pesan terkirim dengan symbol ‘centang satu’ dan tidak terbaca.

Barangkali dia kehabisan pulsa atau susah sinyal di kampung. Sementara, menyewa tenaga kerja baru hampir tidak mungkin.

Pertama, masalah kepercayaan yang tidak mudah: meninggalkan anak dengan kunci rumah. Sudah terlalu banyak kejadian-kejadian mengerikan di berita, anak jadi korban penganiayaan hanya karena ‘rewel, susah diurus’.

Kedua, latar belakang pribadi ‘orang baru’ yang sama sekali buram: perlu diingat, ART di Indonesia tidak dilengkapi kejelasan kualifikasi, apalagi surat rekomendasi dari pengguna jasa terdahulu. Padahal, bicara gaji dan cuti merupakan tuntutan yang minta ditepati.

Lumpuhnya manajemen rumah tangga hanya karena pembantu mudik tak balik-balik, kerap membuat ‘insyaf’ para majikan tentang berat dan ribetnya mengurus rumah, sekaligus melayani permintaan penghuninya.

Sebab nyonya rumah ternyata bukannya dibantu, tapi justru perlu diberi tahu: habisnya persediaan bahan lauk, bumbu, sabun cuci, hingga perkakas yang perlu diganti.

Nyonya rumah sama sekali buta soal masak memasak. Tapi karena rajin (serta selalu punya waktu lebih) menguntit akun medsos dimana-mana, resep-resep masakan kekinian yang bersliweran sigap ditangkap dan diteruskan ke ART untuk minta dibuatkan.

Padahal ART tidak paham gizi seimbang, tidak paham bedanya bumbu botolan dan hasil ulekan. Yang penting masakannya mendapat pujian.

Lebih gawatnya lagi, ada ART yang mengajari nyonya rumah cara-cara pemberian makan bayi dan anak, yang justru tidak sesuai pedoman yang semestinya.


Menilik servis bagi tuan rumah tentu kisah lain lagi. Tahu-tahu mobil pak Tuan sudah kinclong saat mau berangkat kerja.

Bapak tidak dibantu saat mencuci mobil. Tapi semua dikerjakan ART, yang bekerja otomatis tanpa perlu diperintah lagi dengan cekatan sepanjang hari. Karena dia sekarang seperti kapten di dalam rumah.

Bahkan, plus manajer. Sebab dia diberi kepercayaan tambahan bayar ini itu. Saat majikan tidak tahu harga gas elpiji naik tanpa ancang-ancang, dia tahu lebih dahulu.

“Manja” nya para majikan rumah tangga di Indonesia memang keterlaluan. Seakan-akan waktu habis tak berdaya untuk mengurus rumah tangga.

Padahal jika suatu hari mendadak pindah ke negri orang, hidup mandiri tanpa asisten dimungkinkan sekali. Bahkan bisa jadi lebih sehat.

Sebab makanan sehari-hari bukan lagi gorengan yang bikin dapur kotor berminyak, rumah juga lebih ringkas tanpa perabot yang dibeli kepincut harga diskon, akhir minggu pun lebih efektif mengurus rumah ketimbang cuci mata dan jajan di mall (karena berhemat hidup di negara orang).

Tulisan ini dimaksudkan untuk kita menilik ulang peran ART, yang mestinya digaji sesuai dengan ‘jabatan fungsional’nya, bukan menggantikan jabatan struktural orang yang mempekerjakannya.

Kecuali anda siap mempunyai seorang ‘butler’ – versi crazy rich people. Kepala pelayan di atas para pelayan.

Tapi apabila Anda dan saya orang biasa-biasa saja, maka mulailah berdaya tanpa asisten rumah tangga.

Ada rasa bangga ketika kita berhasil mengatur waktu, membagi tugas, menatap rumah rapi dan bersih berkat usaha mandiri.

Suatu ritual harian yang awalnya terpaksa, akhirnya biasa dan jadi budaya. Betapa nyamannya menjadi ‘nakhoda’ di rumah sendiri. Sebab, asisten sama sekali bukan kapten.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/05/30/090500920/art-masih-asisten-atau-sudah-jadi-kapten-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke