Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Benarkah Pasangan Harus Romantis? 8 Resep Alain de Botton

Kecanduan itu sering terjadi gara-gara terlanjur diracuni konsep bahwa hubungan cinta dengan pasangan “harus romantis” – sehingga kita terperangkap masuk pada jurang (bencana) akibat romanticism.

Sejak lama konsep romanticism menjadi referensi bagi mereka yang memadu cinta. Konsep ini menganggap bahwa kita akan (atau bisa) menemukan seseorang yang kita sebut sebagai “belahan jiwa” (soul mate), sehingga seseorang yang sedang kesepian (lonely) mengharap akan menemukan seseorang di ‘luar sana’ yang akan menerima kelebihan dan sekaligus menerima kekurangannya.

Mungkin memang ada ‘seseorang’ itu, setelah Anda mencari dan mencari, menunggu dan menunggu sekian ratus atau ribu orang di ‘luar sana’.

Tapi berapa lama harus menunggu? Sampai kapan bisa menemukan “malaikat tanpa sayap” itu?

Konsep ini, menganggap (seolah-olah) orang selalu punya hati murni (pure), indah, seolah “malaikat tanpa sayap” (angle without wings).

Padahal seringkali itu merupakan suatu yang tidak nyata, sebuah khayalan atau fiksi seperti dongeng di novel-novel jaman dulu.

Sebuah anekdot yang beredar di grup WA menuliskan, “Kalau ingin isteri Anda seperti bidadari, maka sediakan surga baginya, sebab bidadari tidak hidup di neraka.”

Rupanya ide “romanticism” itu sangat merusak, karena ia hanya melihat segala sesuatu dalam hubungan pasangan seolah harus romantik, harus indah, sempurna, harus ideal.

Padahal kenyataannya dalam hidup sehari-hari, kita tidak menemukan yang seperti itu.

Bayangan yang muncul di kepala banyak orang akibat konsep romanticism itu, misalnya bahwa pasangan harus selalu bersama-sama, berbagi di saat-saat romantik -- di bukit indah, pada sebuah candlelight dinner, di kebun bunga, saat matahari terbit atau terbenam di tepi pantai yang indah -- seumur hidup, sampai kematian memisahkan keduanya.

Yang di atas itu merupakan bagian dari ceramah Alain de Botton pada salah satu videonya. Alain adalah penulis (esais) belasan buku kelahiran Swiss 1969, tinggal di London, Inggris.

Alain juga mendirikan “Sekolah Kehidupan” (The School of Life) di London, yang didedikasikannya untuk mengemukakan visi baru pendidikan.

Alain menulis sejak muda. Buku pertamanya, “Essays in Love,” diterbitkan ketika baru berusia 23 tahun.

Sejumlah karya Alain, dalam bidang cinta, travel, arsitektur dan literatur, menjadi buku terlaris (best sellers) di 30-an negara di dunia.

Buku Alain paling anyar berjudul “The School of Life: An Emotional Education,” terbit pada tahun 2019 lalu.

Berikut ini delapan resep Alain yang lain, saya ringkaskan untuk Anda:

1. Ganti keinginan menikah “karena perasaan” dengan “menikah karena alasan tertentu.” Konsep lama yang berdasarkan pada perasaan (‘feelings’), seharusnya sudah ditinggalkan, dan diganti dengan dengan “marriage of reasons” (menikah karena alasan tertentu).

Memang itu berlawanan dengan romanticism, karena romanticism menyarankan konsep ‘menikah karena perasaan cinta.

Di sini, bukan berarti kita tidak boleh mendasarkan hubungan pada cinta, tetapi harus bergeser dari konsep romanticism.

Sesungguhnya romanticism justru merusakkan ‘cinta’. Sebab romanticism memaksa bahwa kedua orang yang berhubungan selalu pure and good – seolah kedua orang itu sama-sama murni, bagus, dan sempurna.

Padahal, pada dasarnya semua orang memiliki ‘keanehan’ (kekurangan) pada pribadinya, yakni unsur yang disebut de Botton sebagai semacam ‘kegilaan’ (craziness).

Yang menjadi masalah, seringkali kita hanya memandang sisi keindahan (kesempurnaan) dalam diri pasangan kita dan lupa bahwa setiap orang punya kekurangan, craziness, itu. Kita punya kekurangan, pasangan kita juga punya kekurangan.

Banyak orang, khususnya mereka yang muda di usia 20-an, akan bilang, “saya sebenarnya orang yang mudah, easy person, asalkan saya ketemu dengan pasangan yang cocok.”

Sehingga masalahnya adalah menemukan ‘pasangan yang cocok’ itu. Tapi, bila Anda bilang bahwa Anda adalah orang yang mudah untuk hidup bersama, berarti Anda “belum mengenal diri Anda sendiri.”

Masalahnya, banyak dari kita gagal (tidak bisa) melihat hal itu, kita tidak sadar (unaware) bahwa kita bisa marah, dapat dikecewakan, punya mood yang gampang berubah, kadang senang, sedih, dan kadang cemberut pula.

Hal itu karena banyak orang dipengaruhi konsep “sentimentality”. Dan sentimentality itu gara-gara orang di sekitar kita tidak mau (ogah) mengatakannya pada kita.

Orangtua kita tidak mau menunjukkannya (dan lebih suka melihat kita ini anak yang baik, yang sempurna, yang perfect).

Teman juga jarang yang mau mengatakannya pada kita. “Ngapain harus mengatakan itu pada kita, lebih baik duduk bersama dalam suasana yang indah, ngobrol asyik bersama, tanpa merusakaan suasana dengan kita.”

Sebenarnya di antara orang yang tahu banyak tentang ‘diri kita’ adalah “mantan” kita. Tetapi sayang banyak yang tidak mau menceritakannya pada kita, dan memilih untuk bilang, “maaf, saya perlu waktu untuk hidup sendiri saja...” dan ngacir meninggalkan kita, tanpa sempat memberi masukan mengenai kelemahan kita.

Itu sebabnya kita akan tertinggal, tak lagi punya hubungan (relationship) sambil tetap ‘tidak sadar” bahwa kita sendiri punya banyak masalah dalam diri kita, yakni kekurangan kita itu (yang tadi dianalogikan dengan istilah “crazy”).

Seringkali saat duduk berdua ‘si dia’, masing-masing seolah ingin menunjukkan bahwa saya ini seorang yang sangat special dan sempurna. Ada semacam egoism, merasa paling benar sendiri (“self-righteousness”).

Padahal, self-righteousness adalah musuh utama bagi keberhasilan sebuah hubungan. Masuk akal memang, karena self-righteousness biasanya muncul karena pada dasarnya orang menganggap bahwa dirinya adalah ‘orang baik’.

Jarang ada yang ketika duduk berdua saling bertukar informasi dengan mengatakan, ini bagian “kegilaan” (kekurangan) saya, dan apa kekurangan (kegilaan) kamu?

Karena semua orang pada dasarnya punya unsur “kegilaan” tadi, seharusnya ini saling dikemukakan oleh masing-masing pasangan itu. Tetapi itu jarang dilakukan, karena perkara itu dianggap tidak romantis.

Akan sangat membantu bila masing-masing mengatakan, “saya ini anak Adam, dan sebagaimana lazimnya semua manusia adalah tempatnya dosa dan salah, ini kekurangan saya...” (lalu sebutkan kekurangan itu secara humble, secara tawadhu).

Itu satu di antara dasar utama untuk menjalin sebuah hubungan yang kuat, yang successful. Jadi jangan mendasarkan keputusan pada instinct.

Memang ada yang menganggap bahwa instinct itu ‘datang dari ‘atas’ (dari surga), tapi hal itu bisa merusakkan hubungan.

2. Masalah lain yang sering terjadi, orang sering ‘berbohong’ pada diri sendiri atau pasangannya, atas nama ‘cinta’, sehingga, misalnya, tidak bisa melihat pada arah yang ‘benar’.

Ibarat garpu, yang satu menunjukkan pada cinta, yang satu lagi mengarahkan pada kebenaran seutuhnya (total honesty).

Walakin orang sering memilih sisi yang berujung pada ‘cinta’, karena kita tidak ingin menyakiti partner kita; namun masalahnya suatu saat hal itu bisa menjadi masalah, problematik.

Pandangan romanticism akan mendukung orang untuk berbohong, demi mempertahankan hubungannya dengan ‘si dia’ – atas nama cinta (in the name of love).

Padahal seharusnya orang harus jujur, dan bersikap apa adanya. Being who you are should be something that you spare with anyone you love. You must edit yourself (menunjukkan diri sebagaimana adanya, Anda harus mengkoreksi diri sendiri) – sebab itu sebenarnya bukan sebuah pengkhiatan terhadap (melawan) cinta, tetapi sebuah kesetiaan (loyalty) pada cinta.

Tetapi lagi-lagi, konsep romanticism tidak menganjurkan kita bersikap terbuka seperti itu.

3. Kesalahan romanticism yang lain adalah karena ia tidak bicara tentang hal-hal yang praktis, yang sehari-hari dilakukan.

Jarang sekali ada novel atau kisah cinta dulu yang bicara mengenai, misalnya, mesin cuci, menjemur pakaian, mencuci piring dan gelas sesudah makan, mengganti popok bayi, dan sebagainya – karena perbincangan soal itu dianggap tidak romantik.

Kisah-kisah cinta itu seringkali bicara mengenai istana, pangeran menunggang kuda, kebun-kebun indah, atau puteri cantik memetik bunga.

Repotnya, banyak pemikiran dan bayangan tentang cinta datang (berasal) dari buku-buku novel atau kisah cinta seperti itu yang kita baca.

Banyak kerusakan hubungan karena orang berpikir semuanya akan mudah dan indah saja, padahal seharusnya bersiap untuk memasuki masa ketika banyak hal akan sulit, dan tidak indah.

Sebab, kalau kita hanya beranggapan semuanya indah, mudah, maka dalam waktu singkat, bahkan pada tiga bulan pertama, atau paling lama tiga tahun pertama, hubungan akan renggang atau bahkan hancur.

4. Banyak juga kerusakan karena orang tidak mau menceritakan dirinya pada pasangannya, mengapa?

Karena Anda beranggapan bahwa, “seharusnya jika dia mencintai saya, maka dia harus sudah tahu hal itu” – meskipun Anda tidak pernah mau mengatakannya.

Ketika ini terjadi, Anda mungkin mengunci pintu, mengeram diri di kamar, dan tidak mau berkata-kata, apalagi menjelaskan situasinya.

Itu karena dalam ideologi romanticism orang akan bangga menceritakan pada kawannya, bahwa dia dan pasangannya ‘jarang bicara, karena kami saling mengerti satu sama lain’.

Di sini karena romanticism menyandarkan pada feelings (orang harus tahu secara instinct) pada pasangannya, dan bukan reasons (sehingga tidak perlu bicara, atau menceritakannya).

Jadi seperti ada jurang yang “menganga” antara ‘feeling’ pada satu kutub dan ‘reasons’ (atau logika) di kutup yang lain.

Seharusnya orang sadar bahwa pasangan jiwa (soul-mate) Anda tidak bisa membaca jiwa Anda (‘your soul’) – tidak bisa memahami apa yang ada dalam hati (jiwa) Anda.

Juga jangan berharap dia bisa memahaminya. Oleh karena itu, kita harus “membongkar” apa yang ada dalam diri (jiwa) kepada partner kita.

5. Perkara lain yang penting adalah soal kritik (criticism). Sering kali pada awal hubungan, partner seolah akan menerima semua kekurangan yang ada.

Kalau ada cewek yang bilang, “rasanya malu kalau saya datang ke pesta dengan baju kuno ini,” akan ditanggapi oleh cowoknya dengan mengatakan, “Oh, sama sekali tidak, baju itu bagus, dan jangan kuatir, saya akan bangga mengenalkan kamu pada teman-teman saya...”

Hal itu pada awalnya menjadikan cinta tampak indah. Tapi itu tidak akan berlanjut demikian.

Ketika sarapan nantinya, seorang isteri mungkin mengkritik suaminya yang menimbulkan suara saat mengunyah makanan, dan bilang, “saya seperti menghadapi sapi. Caramu mengunyah makanan dengan suara itu bagaikan seekor sapi.”

Lalu, “stop itu...” dan terjadilah perseteruan. Si suami akan marah, dan bilang, “Belum pernah ada yang mengatakan seperti itu pada saya. Orangtua saya, kawan-kawan, semuanya tidak pernah bilang saya mengunyah kayak sapi. Ibu saya tidak pernah mengkritik saya, mengapa kamu selalu berusaha mengkritik saya?"

Banyak yang beranggapan bahwa, "to love is not to criticize.” Jika kamu mencintai saya, kamu tidak akan mengkritik saya – itulah pemikiran romanticism.

Love is not an endorsement of everything another person. Cinta bukanlah berarti menyetujui (memuji) – atau meng-endorse -- segala sesuatu yang ada pada pasangan.

Cinta memang ingin melihat kesempurnaan, nilai, mutu dan keindahan pada pasangan, tetapi seharusnya bisa juga memiliki rasa kasihan, simpati, sabar atau pengertian pada kekurangan yang dimiliki pasangan itu.

6. Lover and the loved (pecinta dan yang dicintai) seolah berada dalam wadah pendidikan, ketika terjadi rotasi yang terus menerus antara “guru dan murid” secara berkesinambungan.

Seolah sedang ada dalam sebuah lembaga pendidikan, seharusnya salah seorang membimbing dan mengajari pasangannya, agar menjadikan dirinya sesempurna mungkin.

Maka, bukanlah sebuah pengkhianatan pada cinta bila guru memberitahu muridnya dalam sebuah kelas.

Seorang guru seharusnya ‘menegur’ muridnya secara calm, tenang, tidak menghardik dan marah.

Yang terjadi pada peristiwa sarapan tadi, seolah sang isteri merasa bahwa, jika suaminya tidak berubah, berarti dia “menghancurkan masa depannya” karena hidup bersama suami yang seperti itu.

Itu juga akibat keyakinan pada romanticism, karena berharap semuanya sempurna, semuanya perfect.

Mempermalukan bukanlah akar pendidikan. Seharusnya kritik disampaikan dengan mencampur 99 persen madu dan 1 persen kepahitan, secara calm, tanpa suara keras.

“Saya tidak percaya bahwa cinta adalah perasaan,” kata Alain, “Cinta adalah skill (kepandaian) yang harus kita pelajari – love is a skill we need to learn often through patients, mistakes, etc.”

7. Perlakukan seorang partner Anda itu anak usia tiga tahun, the partner as a child theory, saat mana Anda memperlakukannya dengan penuh kelemah lembutan, kedermawanan, simpati dan pengertian (generosity).

Maka, ketika “anak” itu membuang makanannya dari meja, Anda tidak akan bilang, “Apa maksudmu, merusakkan hidup saya?”

Anda akan berusaha melihat ada masalah apa yang sedang dihadapinya, mungkin dia sedang dimarahi bos di kantor, mungkin giginya sedang sakit, dsb.

8. Ingat bahwa semua kita broken, sulit, terluka (wounded), punya banyak kelemahan.

Masalahnya banyak dari kita tidak bisa melihat kelemahan-kelemahan itu, tapi problemnya adalah kita semua tampak normal, kita tampak bukan kayak anak umur tiga tahun, tapi sebagai “orang dewasa,” padahal ingin diperlakukan seperti anak umur tiga tahun.

Contohnya, ketika ada orang patah tangan yang mengenakan gips yang dipanggulnya, maka orang-orang akan membantu membukakan pintu, menarikkan kursi baginya, dsb.

Walhasil, tampaknya kita harus selalu bersikap tasamuh (mudah menerima dan memaafkan) pada pasangan.

Go easy with the wounded person; bersikaplah tenang dan mudah (memaklumi) pada semua yang “terluka” itu.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/06/01/073000220/benarkah-pasangan-harus-romantis-8-resep-alain-de-botton

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke