Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Orangtua Sejahtera, Anak Pun Bahagia

Hingga saat ini, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) masih menerima banyak stigma negatif dari masyarakat secara umum, maupun keluarga masing-masing (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2018).

Dengan berbagai perilaku dan kebutuhan yang berbeda dari anak pada umumnya, baik dalam perawatan kesehatan khusus maupun kebutuhan pendidikan, dapat mengakibatkan kegagalan anak untuk menerima pengobatan esensial, terapi, dan penempatan pendidikan yang tepat.

Mengasuh ABK seringkali dianggap sumber stres secara terus-menerus yang membuat orangtua rentan mengalami kecemasan, kekhawatiran tentang masa depan anak, dan juga masalah yang dialami dalam keluarga secara umum (Sheenar-Golan, 2015).

Permasalahan ini dijelaskan oleh konsep psikologis yang disebut sebagai stres pengasuhan.

Stres pengasuhan adalah reaksi psikologis dari tuntutan menjadi orangtua, baik terkait tugas pengasuhan, kondisi finansial, menjaga kualitas hubungan orangtua dan anak serta dengan anggota keluarga lainnya, serta beradaptasi terhadap kondisi psikologis anak (Deater-Deckard, 1998).

Reaksi psikologis yang dialami oleh orangtua seperti perasaan khawatir ataupun cemas hingga tidak dapat mengatur emosi dengan baik seperti melampiaskan emosi marah kepada anak atau lingkungan sekitar, maka orangtua akan mengalami stres pengasuhan hingga melakukan penganiayaan pada anak atau yang disebut child maltreatment.

Child maltreatment (penganiayaan pada anak) merupakan semua bentuk penganiayaan fisik dan/atau emosional, pelecehan seksual, pengabaian atau perlakuan lalai atau tindakan perdagangan/eksploitasi lainnya, yang mengakibatkan timbulnya bahaya terhadap kesehatan, kelangsungan hidup, perkembangan pada anak atau martabat anak (Haneline & Meeker, 2011).

Perilaku penganiayaan anak dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak.

Adapun beberapa contoh penganiayaan yang sering kali tidak disadari oleh orangtua, seperti mencubit atau memukul atau tindak kekerasan fisik lainnya dengan maksud mendisipilinkan anak, meremehkan atau mempermalukan anak, mengatakan dia tidak baik, mengejek pertumbuhan alat kelamin anak tidak sesuai dengan ukuran alat kelamin anak seusianya.

Bahkan jarang melakukan kontak fisik seperti memeluk anak juga termasuk penganiayaan pada anak.

Pengabaian merupakan bentuk penganiayaan anak paling umum yang lebih banyak terjadi pada ABK dibandingkan pada anak-anak tanpa disabilitas.

Dari keseluruhan kasus child maltreatment (penganiayaan pada anak) yang dilaporkan, ditemukan bahwa 3-10 persen diantaranya dilakukan kepada ABK.

Tingkat child maltreatment pada anak-anak penyandang disabilitas setidaknya tiga kali lebih tinggi daripada anak-anak pada umumnya.

Untuk membantu mengatasi stres pengasuhan dan mencegah risiko child maltreatment, maka orangtua perlu menjaga kondisi psikologisnya, atau yang dapat dijelaskan melalui konsep subjective well-being (kesejahteraan diri).

Subjective well-being dapat didefinisikan sebagai penilaian pribadi secara emosional maupun penilaian umum (kognitif) seseorang terhadap kehidupan pribadinya (Diener, Oishi & Lucas, 2009; Diener, 2009; Diener, Lucas, & Oishi, 2018).

Adapun kesadaran dan pengelolaan orangtua terhadap subjective well-being melalui gaya hidup sehari-hari dapat membantu meningkatkan kualitas hidup, khususnya pada orangtua dengan ABK (Sheenar-Golan, 2015).

Berikut beberapa cara yang dapat digunakan oleh orangtua dari ABK untuk mengelola subjective well-being:

1. Melatih kesadaran diri atau mindfulness

Saat orangtua menghayati setiap aktivitas yang dilakukan secara sadar, mereka akan lebih mampu untuk memahami dirinya dari sudut pandang yang lebih objektif.

Hal tersebut membantu juga untuk memahami stres. Dengan demikian menurunkan tingkat ketakutan yang dihayati.

Sebagai contoh, pada saat orangtua sedang mencuci piring, maka orangtua dapat menyadari air yang dingin, tekstur piring yang licin, atau bentuk piring yang bulat.

2. Melatih pengaturan emosi menggunakan teknik pernapasan

Selain itu, orangtua juga perlu melatih pengelolaan emosi menggunakan teknik pernapasan.

Ada berbagai teknik pernapasan yang dapat dicoba, mulai dari square breathing (4 detik mengambil napas, 4 detik menahan napas, 4 detik menghembuskan napas, dan 4 detik menahan napas) maupun teknik 4-7-8 (4 detik menarik napas, 7 detik menahan napas, 8 detik menghembuskan napas).

Teknik menarik napas terbukti mampu menurunkan ketegangan yang dialami seseorang, dan sangat mudah untuk dilakukan di manapun dan kapanpun.

3. Menerapkan welas asih atau mengasihi diri

Menjadi orangtua bukanlah tanggung jawab yang mudah. Dengan demikian, orangtua perlu juga mengapresiasi diri sendiri, di kala ada peristiwa menyenangkan ataupun menyedihkan.

Dengan perkataan dan perilaku terhadap diri, orangtua perlu menunjukan kasih dan penerimaan terhadap diri sendiri.

Sebagai contoh, saat orangtua tanpa sengaja melupakan tugas rumah tangga, orangtua dapat mengatakan pada diri sendiri bahwa hal tersebut wajar dan dapat dipahami karena adanya kesibukan tertentu, dan dijadikan pelajaran agar kedepannya dapat memperbaikinya.

4. Menerima peristiwa yang berada di luar kontrol

Seberapapun orangtua telah berusaha, seringkali terjadi peristiwa yang berada di luar kendali. Ada pula hal-hal yang hanya bisa diterima, walaupun tidak nyaman.

Penerimaan menjadi kunci dari kemampuan orangtua untuk bangkit dan melewatinya.

5. Jangan lupakan hal-hal yang membuat diri senang

Selain memperhatikan anak dan juga anggota keluarga lainnya, orangtua tidak boleh lupa untuk meluangkan waktu untuk dirinya.

Sebagai contoh, apabila orangtua senang menggambar, sangat dianjurkan untuk meluangkan waktu dalam satu hari untuk dirinya fokus menggambar.

Atau jika orangtua senang makan, maka perlu sesekali orangtua membelikan makanan kesukaan bagi diri sendiri sebagai bentuk apresiasi.

6. Rutin merefleksikan diri dengan segala perasaan dan emosi yang muncul

Untuk dapat merasa sejahtera, maka orangtua perlu mengenali dirinya terlebih dahulu. Sebagai contoh, pada suatu hari orangtua merasa lelah.

Orangtua dapat berdiam diri dan mencari tahu hal-hal yang membuatnya lelah.

Saat orangtua telah mengenal pemicu dari setiap suasana hati, akan lebih mudah untuk mengatasi hambatan yang muncul sehari-hari.

Terkait permasalahan yang muncul, orangtua juga perlu mencari tahu hal-hal yang dapat dilakukan atau pandangan alternatif yang dapat diyakini agar dapat menghadapi situasi dengan tenang.

Subjective well-being merupakan konsep yang perlu dijaga dan dikembangkan, karena banyak sekali manfaatnya bagi diri dan lingkungan.

Seseorang yang sejahtera ditemukan memiliki kesehatan mental dan fisik yang lebih baik untuk jangka panjangnya (Steptoe, Deaton & Stone, 2015).

Kemudian, seseorang yang mengalami subjective well-being (kesejahteraan diri) yang baik akan lebih mampu bekerja, berprestasi atau beraktivitas dengan optimal (Dimaria, Peroni, & Sarracino, 2017; Wu, Gai, & Wang, 2020; Chattu, Sahu, Seedial, Seecharan, Seepersad, Seunarine, Seunarine, Seymour, Simboo, & Singh, 2020).

Selain itu, saat individu telah sejahtera, maka hubungan orang tersebut dengan orang lain juga akan lebih baik (Pavot & Diener, 2004; Zhang, Xu, & Hou, 2018).

Pengelolaan subjective well-being (kesejahteraan diri) merupakan sebuah proses yang bersifat personal bagi setiap orang.

Dengan demikian, setiap dari kita perlu berfokus pada proses masing-masing, dan bukan pada hasil akhir yang saling dibandingkan.

Saat orangtua telah sejahtera, mereka akan lebih mampu untuk membagikan cinta yang telah mereka miliki untuk diri sendiri ke anak dan anggota keluarga lainnya.

Apabila dianalogikan menggunakan turbulensi pesawat, masker oksigen yang diturunkan perlu dipakai oleh diri sendiri terlebih dahulu sebelum membantu orang lain memakai masker.

Kita tidak dapat menyelamatkan orang lain saat diri kita sendiri berada dalam kondisi sekarat. Dengan kata lain, apabila orang tua sejahtera, maka anak pun akan bahagia.

*Syifa Satyadira Fachrudin, S. Psi, Yola Ongah, S. Psi,
dan Hanna Christina Uranus, S. Psi, Mahasiswa Program Studi Psikologi Profesi Jenjang Magister Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Dr. Naomi Soetikno, M.Pd., Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/06/13/113443420/orangtua-sejahtera-anak-pun-bahagia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke