Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menelusuri Asal-usul Yokai di Bentara Budaya Jakarta

KOMPAS.com - Bagi penggemar budaya Jepang, termasuk penyuka manga dan anime, tentu tidak asing dengan istilah yokai.

Yokai dikenal sebagai entitas atau makhluk mitologi yang terdapat dalam cerita rakyat Jepang.

Di Negeri Sakura, kejadian-kejadian seperti munculnya kembali seseorang yang sudah meninggal dunia, penampakan makhluk aneh, hingga suara-suara yang tidak jelas asal-usulnya dianggap sebagai ulah yokai.

Seperti dilansir laman Nippon.com, istilah yokai baru digunakan secara luas pada periode Meiji (1868-1912) berkat Inoue Enryo, seorang filsuf dan penentang takhayul.

Setelah dipakai dalam bidang studi cerita rakyat, kata yokai akhirnya dipopulerkan oleh seniman manga Mizuki Shigeru.

Serial manga buatannya yang berbasis cerita rakyat, Gegege no Kitaro diadaptasi menjadi anime pada tahun 1968.

Dari situ, konsep yokai sebagai karakter populer mulai tren di kalangan sebagian pemuda di Jepang.

Namun, masyarakat di negeri itu sejatinya sudah menikmati yokai untuk hiburan sejak era Edo (1603-1868), saat Shogun Tokugawa Ieyasu menjadikan kota Edo (kini Tokyo) sebagai markas besarnya.

Awalnya disebut bakemono

Kembali ke era Edo, yokai dikenal sebagai bakemono atau makhluk yang dapat berubah bentuk.

Etimologi bakemono berasal dari fakta di mana hewan semacam rubah dan tanuki (anjing rakun) diyakini mampu mengubah bentuk demi meniup manusia.

Ada juga bakemono dengan bentuk yang tetap, seperti kappa (goblin sungai) atau rokuro-kubi (wanita berleher ular).

Kita mungkin dapat membayangkan, jika orang-orang di masa lalu sangat mudah memercayai takhayul.

Tetapi setidaknya, rata-rata orang yang berada di kota besar seperti Edo saat itu sudah mempunyai pemikiran yang rasional dan realistis.

Hanya saja orang-orang di zaman tersebut tidak membuang kepercayaan terhadap bakemono.

Sebaliknya, mereka mengambil sikap bahwa hidup lebih menarik dengan adanya bakemono, terlepas dari apakah bakemono itu nyata atau tidak.

Dengan kata lain, mereka menikmati makhluk takhayul ini sebagai fantasi.

Fiksi dari bakemono, yakni yokai dimulai pada pertengahan era Edo atau sekitar abad ke-18.

Hal ini didorong oleh pergeseran cara pandang masyarakat kota mengenai alam.

Hingga abad pertengahan, orang Jepang melihat alam sebagai kekuatan yang liar dan menakutkan.

Pada masa itu, masyarakat menganggap yokai adalah makhluk yang dapat ditemui di habitat yang tidak berada di bawah kendali manusia, seperti gunung, sungai atau laut.

Yokai berfungsi sebagai peringatan bagi manusia tentang adanya bahaya alam.

Selama periode Edo, masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan memiliki ketakutan dengan kekuatan alam, dan akhirnya mengarah pada ketakutan terhadap yokai.

Tetapi hal itu tidak dirasakan oleh kaum urban karena mereka hidup terpisah dari alam.

Orang-orang di kota mampu membeli makanan dan sayuran apa pun sesuai keinginan mereka, tanpa mengetahui siklus suka dan duka musim panen dan paceklik yang menentukan kehidupan petani dan nelayan.

Karena ketakutan kaum urban terhadap alam tidak sebesar masyarakat desa, pandangan mereka terhadap realitas yokai juga tidak sebesar orang-orang yang dekat dengan alam.

Revolusi Yokai Edo

Ilmu sejarah alam bertumbuh pesat di abad ke-18.

Sebagai bagian dari rencana mempromosikan pembangunan nasional, Shogun Tokugawa Yoshimune memerintahkan diadakannya survei terhadap sumber daya alam di seluruh negeri.

Seiring dengan proyek itu, ilmu herbal juga berkembang.

Para ahli membuat katalog dan mengkategorikan herbal dengan tujuan untuk memahami sifat dan manfaat herbal sebagai obat.

Akibatnya, banyak karya sastra yang menjelaskan kehidupan hewan dan tumbuhan, lahir.

Kala itu, yokai diperlakukan layaknya makhluk hidup, dan sering dikategorikan bersama tumbuhan dan hewan di ensiklopedia dan buku-buku pada zaman tersebut.

Namun dimasukkannya yokai ke dalam katalog menghilangkan sisi misterius yokai, dan menyebabkan rasa takut manusia pada makhluk mitologi tersebut berkurang.

Karena digambarkan lebih rendah dari manusia, "kasta" yokai menurun menjadi fenomena yang dapat dikendalikan.

Kagawa Masanobu, folklorist yang berfokus pada yokai dan mainan tradisional Jepang menyebut fenomena ini "Revolusi Yokai Edo".

Pada 1776, seniman bernama Toriyama Sekien menerbitkan ensiklopedia yokai yang berjudul Gazu hyakki yagyo.

Ensiklopedia itu melambangkan perubahan dramatis dalam cara masyarakat memandang yokai.

Disukai masyarakat di era modern

Yokai, yang sejarahnya dipahami sebagai fenomena yang tidak dapat dijelaskan, berubah seiring kemunculan ensiklopedia buatan Sekien.

Memasuki era modern, yokai diilustrasikan dengan penampilan yang khas, dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan.

Selain serial manga Gegege no Kitaro, yokai juga digambarkan dalam berbagai karya seperti video game berjudul Yokai Watch dan manga Kimetsu no Yaiba (bahasa Jepang untuk Demon Slayer).

Adapun manga Yuragi-sou no Yuuna-san, menceritakan kehidupan pemuda bernama Fuyuzora Kogarashi yang menjadi gelandangan akibat sering terlibat dalam kasus supranatural sejak kecil.

Bahkan beberapa waktu lalu, Jepang memunculkan kembali yokai bernama Amabie (makhluk mirip duyung dengan rambut panjang begelombang) sebagai maskot pembawa harapan agar pandemi Covid-19 segera berakhir.

Itu membuktikan, kepercayaan masyarakat Jepang terhadap yokai masih bertahan sampai hari ini.

Yokai Parade di Bentara Budaya Jakarta

Bagi yang tertarik menggali asal-usul yokai lebih jauh, kamu bisa berkunjung ke Bentara Budaya.

Di tempat ini, diadakan pameran bertajuk "Yokai Parade: Supernatural Monster from Japan", kolaborasi Bentara Budaya dengan The Japan Foundation Jakarta.

Pameran tersebut dihelat demi meningkatkan pemahaman akan budaya Jepang melalui seni visual.

Acara dibuka oleh Takahashi Yuichi, general director The Japan Foundation Jakarta pada Kamis (16/6/2022) malam.

"Kami merasa bersyukur bisa kembali mengadakan pameran tentang budaya Jepang secara luring setelah dua tahun tertunda akibat pandemi," kata dia.

"Melalui pameran ini, pengunjung dapat melihat perkembangan yokai yang digambarkan sebagai makhluk menakutkan, dan lambat laun menjadi populer, bahkan dibuat karakter lucu di produk anime dan manga."

Di area Bentara Budaya, pengunjung akan dimanjakan dengan serangkaian karya dari para seniman Jepang.

Misalnya, lukisan "Minamoto no Yorimitsu in his Palace with Tsuchigumo and Yokai" karya Utagawa Kuniyoshi.

Atau, lukisan "Kitaro and Rokurokubi" garapan seniman Yamada Shinya dan Hirao Tsutomu.

Beragam stiker yang menggambarkan yokai dari era Showa juga turut dipamerkan.

Tidak ketinggalan pernak-pernik seperti lampu, gantungan kunci, mainan, kipas, hingga komik yang mengilustrasikan sosok yokai dalam berbagai bentuk.

Pameran Yokai Parade: Supernatural Monster from Japan dibuka untuk umum mulai tanggal 17-27 Juni 2022 pukul 10.00-17.00.

Khusus pada tanggal 23 Juni dan 25 Juni, pengunjung bisa menyaksikan pemutaran film animasi "Miyori in the Sacred Forest" yang disutradarai oleh Yamamoto Nizo.

 

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/06/17/080941820/menelusuri-asal-usul-yokai-di-bentara-budaya-jakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke