Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa ASI Penting Untuk Mencegah Stunting?

Sayangnya, proses alamiah yang mestinya menjadi tuntunan krusial seorang calon ibu tidak dianggap sebagai bagian kompetensi tenaga kesehatan.

Padahal, untuk mengedukasi hal yang fisiologis tentu jauh lebih mudah ketimbang mendidik pasien mengganti perban atau minum sekian jenis obat secara teratur.

Hingga hari ini, sebagian besar orang menganggap proses menyusui adalah insting, yang otomatis bisa berlangsung saat bayi lahir, menangis ‘minta makan’.

Akibatnya ketika masalah muncul, mulai dari ibu kesulitan menyusui hingga bayi tidak tumbuh optimal di masa menyusu, dengan mudahnya para nakes justru merekomendasikan susu pengganti – yang iklannya makin gencar dan keberpihakannya makin mengkhawatirkan.

Begitu pula para pemangku kebijakan, mempunyai pemahaman yang amat minim tentang proses menyusui.

Barangkali hanya di Indonesia istilah exclusive breastfeeding (bukan exclusive breastmilk) yang artinya menyusu secara eksklusif dipersempit menjadi sekadar air susu ibu (asi) eksklusif.

ASI diperlakukan tak beda dengan susu pada umumnya, dimasukkan dalam botol diberi melalui dot, disimpan di kulkas, dan diberi menurut urutan tanggal kedaluwarsa, bahkan ada kekonyolan viral tentang asi dibuat menjadi bubuk sehingga ‘lebih praktis’ – risiko teknokrat gagal paham dengan kaidah kodrat.

Banyak bayi-bayi akhirnya menolak menyusu langsung pada ibunya setelah berkenalan dengan dot.

Dan di situ awal ASI seret karena jarang diperah, tidak diberi sesuai kebutuhan anak, hingga akhirnya masuklah susu pengganti. Dan masalah baru dimulai.

Anak menyusu pada ibunya bukan sekadar perkara bonding/ ikatan emosional ibu dan anak.

Belakangan ini, berbagai studi telah mengungkap banyak manfaat dari menyusui langsung: terutama fakta bahwa ASI selalu berubah komposisinya mengikuti kebutuhan anak.

Air liur bayi dan saluran susu menciptakan reaksi unik yang menyebabkan ASI diproduksi dengan antibodi yang dibutuhkan bayi.

Begitu pula ASI mempunyai konsistensi yang tidak sama, sejak bayi pertama menyusu hingga hampir selesai mendekati payudara kosong.

Betapa menyedihkannya, jika ada tenaga kesehatan menuduh ASI seorang ibu yang bening, sebagai cairan tanpa nutrisi.

Sudah saatnya para nakes kita mempunyai kompetensi sebagai konselor laktasi, sehingga bisa melihat dengan lebih bijak, ASI tidak sama dengan susu yang dibayangkan sebagai cairan putih kental, yang bikin bayi-bayi gemuk sintal.


Perawakan gembulita seorang bayi masih jadi ikon anak sehat hingga hari ini. Bukan bayi proporsional yang tumbuh optimal.

Dengan segala cara akhirnya para ibu berlomba ‘memompa’ bayi-bayinya dengan susu pengganti yang alih-alih menyehatkan, tapi malah menjatuhkan anak dalam kondisi intoleransi laktosa, mencret berkepanjangan (belum lagi masalah kebersihan botol, dot dan cara pembuatan yang tidak sesuai aturan) – hingga akhirnya orangtua terjebak harus membeli jenis susu lain yang lebih mahal.

Kader-kader posyandu masih banyak yang tidak fasih menjelaskan grafik tumbuh kembang, bahkan menerapkan cara yang salah menimbang bayi, apalagi mengukur panjang/ tinggi badan anak.

Menimbang berat badan ibu sambil menggendong anak dikurangi dengan berat badan ibu sendiri, masih menjadi metoda ‘praktis’ yang jauh dari benar.

Begitu pula menggunakan meteran baju, mengukur panjang badan anak dari kepala melewati muka perut hingga ujung kaki anak. Terlalu mengenaskan.

Belum lagi penghakiman status stunting, hanya karena tinggi badan anak tidak sesuai kurva pertumbuhan. Padahal, tidak ditanya apakah ada riwayat gangguan gizi kronik sejak anak dikandung hingga usia 2 tahun.

Konseling menyusui? Lebih parah lagi. Di beberapa daerah posyandu justru jadi ajang promosi susu formula.

Ibu-ibu dengan kesulitan menyusui atau bayi dengan berat badan tidak optimal, boro-boro dirujuk ke konselor laktasi, malah didorong membeli aneka ASI booster atau sekalian susu formula yang awalnya dibagikan gratis dan akhirnya jadi kebutuhan utama.

Ketidaktahuan awam, bahwa dalam 72 jam pasca persalinan ASI belum diproduksi melimpah menjadi pintu gerbang promosi pengganti ASI, yang bukan hanya didukung oknum nakes, tapi juga para mertua dan ibu sepuh yang merasa ibu baru ini ‘kurang ASInya’.

Bayi menangis selalu diidentikkan dengan lapar. Untuk mencegah ini semua, proses menyusui harus menjadi ‘bahan mata pelajaran’ seorang calon ibu, yang dipahami semua orang yang terlibat dalam pengasuhan anak, termasuk suami dan calon nenek.

Begitu pula saat bayi sudah lebih berkembang aspek sensorik dan motoriknya, kerap di usia 4-5 bulan mulai ‘gagal fokus’ di saat menyusu.

Mendengar suara-suara, ia menengok dan menyusu sebentar-sebentar. Alhasil ASI akhir yang kaya akan lemak tidak terkonsumsi dan berat badan bayi mulai stagnan.


Ancaman susu pengganti dan makanan pendamping ASI (MPASI) dini mulai muncul. Seakan-akan memberi makan bayi di usia 4 atau 5 bulan bisa mengganti kebutuhan ASI nya.

Padahal, di usia 6-8 bulan saja kebutuhan ASI masih 70%. Makanya makanan pertama tersebut disebut makanan pendamping ASI. Bukan pengganti ASI. Sekali lagi, saatnya seorang ibu harus belajar.

Bukan rahasia umum lagi, media sosial sudah menjadi sarana ‘panduan praktis’ para orangtua masa kini.

Aneka anjuran hingga jualan ramai bersliweran. Sementara buku panduan nasional Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang disusun oleh 13 organisasi kesehatan Republik Indonesia (termasuk Ikatan Dokter Anak Indonesia dan Ikatan Bidan Indonesia) jarang ditengok apalagi dipahami. Banyak nakes pun tidak memberi edukasi sesuai buku KIA tersebut.

Lebih mengenaskan, ASI hanya dipromosikan selama 6 bulan pertama. ASI eksklusif saja. Sesudah itu, nakes menganjurkan aneka susu pengganti.

Ada yang berani bilang bahkan, ASI cuma buat anaknya ‘lengket’ sama ibunya saja. ASI miskin zat besi. Orangtua dicap pelit tidak mampu membelikan sufor buat anaknya.

Betapa mirisnya ranah edukasi PMBA (pemberian makan bayi dan anak) di negri ini. Sementara badan kesehatan dunia, WHO sendiri menganjurkan ibu tetap menyusui hingga anak 2 tahun atau lebih – dengan MPASI berkualitas di usia 6 bulan, sebagai PENDAMPING ASI.

Sekali lagi, menyusui anak bukan hanya cuma memberi ASI.

Saat seorang ibu menyusui, baik ibu dan anak sama-sama belajar hal-hal baru sebagai modal tahapan tumbuh kembang selanjutnya, mulai dari stimulasi oromotor bayi, mengenali lapar dan kenyang, memahami perilaku anak yang belum bisa bicara, hingga melatih kesabaran, ketelatenan dan keuletan.

Hal yang amat langka di generasi gas pol yang dihujani banyak tawaran kepentingan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/07/31/190500820/mengapa-asi-penting-untuk-mencegah-stunting-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke