Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Melawan Sabotase Industri dan Melepas Belenggu Makanan Ultra Proses

Petuah itu sudah berusia ribuan tahun. Namun, muatan dan konteksnya masih tetap relevan untuk kondisi kita saat ini. Intinya, dengan jumlah nutrisi dan olahraga yang tepat, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak, kita akan menuju ke cara paling aman untuk tetap sehat.

Hippocrates adalah Bapak Kedokteran. Sumpah yang secara tradisional dilakukan para dokter tentang etika yang harus mereka lakukan dalam menjalan praktik profesinya disebut dengan Sumpah Hippocrates.

Namu, sangat disayangkan sekarang ini masih sangat banyak pelaku industri makanan modern yang kerap menampilkan sisi kelam kapitalisme dengan memunculkan banyak perubahan baru yang sungguh mengganggu.

Salah satu contoh yang paling menonjol adalah evolusi produksi pangan industri yang mengubah pola makan masyarakat, dari sebagian besar makanan utuh (whole food) ke ultra-procesed food (UPF) atau makanan ultra-olahan/ultra-proses.

Pada pola itu, proses pengolahan makanan dirancang untuk membuat konsumen ketagihan dengan memasukkan banyak gula, garam, lemak, dan perasa, yang pada akhirnya memicu krisis obesitas.

Hal tersebut merujuk pada paparan Prof Geoffrey E Schneider (2021) dari Bucknell University, Pennsylvania, dalam pertemuan tahunan Association For Evolutionary Economics (AFEE).

Hal itulah yang di Amerika Serikat disebut sebagai “sabotase industri”. Frasa ini digunakan untuk menggambarkan perilaku destruktif para pemimpin industri, yang terus mencari dan meningkatkan keuntungan demi kepentingan perusahaan atau pemegang saham.

Sayangnya, upaya tersebut selalu didukung sistem politik yang ada.

Seperti diketahui, obesitas adalah pemicu berbagai jenis non-communicable disease atau penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi, ginjal kronis, diabetes melitus (DM), kanker, dan stroke.

Lalu bagaimana kondisi di Indonesia? Secara empiris, keadaan tidak jauh berbeda. Konsumen dimanjakan dengan kemudahan akses untuk mendapatkan UPF yang memenuhi hampir semua kriteria keinginan konsumen, yaitu harga yang terjangkau, rasa lebih enak dan praktis, serta lebih awet.

Umumnya makanan itu masih dalam keadaan alami atau hampir alami seperti wortel, apel, ayam mentah, melon, dan kacang mentah tanpa garam. Sifat utama WF adalah rendah kalori, tinggi serat, dan awet kenyang.

Sementara itu, makanan ultra-olahan atau ultra-processed food (UPF)adalah makanan yang sudah mengalami banyak tahap proses pengolahan.

Umumnya, UPF memiliki banyak bahan tambahan seperti gula, garam, lemak, dan pewarna, pengental, penstabil, pengawet, dan pemanis buatan.

Contoh UPF yaitu makanan beku, soft drink, potongan daging dingin, makanan cepat saji, kue kering kemasan, makanan ringan asin, sereal sarapan, biskuit, jus buah kemasan, keripik kemasan, sosis, dan nugget.

Ciri mendasar UPF adalah tinggi kalori dan sangat nikmat rasanya, sehingga sering disebut juga sebagai hyper-palatable food (HPF) atau makanan yang sangat enak.

Riset Martínez Steele E, et al. (2016) menyebutkan UPF merupakan sumber utama kalori (hampir 58 persen) yang dimakan di Amerika Serikat dan menyumbang hampir 90 persen energi yang didapatkan dari gula tambahan.

Mencermati semakin mudahnya kita mendapatkan UPF di minimarket atau supermarket terdekat, bisa ditebak bahwa di Indonesia pun angkanya tidak akan jauh berbeda.

Ada adagium yang sangat populer, The dose make the poison. Hal itu menunjukkan prinsip dasar toksikologi. Prinsipnya semua bahan kimia, termasuk makanan, bahkan air dan oksigen sekalipun, bisa menjadi racun jika terlalu banyak dimakan, diminum, atau diserap.

Inilah akar persoalan yang dikhawatirkan dari efek UPF, di mana konsumen menjadi susah berhenti mengudap makanan, sehingga jumlah asupannya berlebihan tanpa disadari.

Melepas belenggu dengan menciptakan kebiasaan baru

Makan sesungguhnya sesederhana kebiasaan. Urusan enak atau tidak enak, doyan atau tidak doyan, sebenarnya juga sekedar masalah kebiasaan.

Namun terkadang makan dan makanan juga bisa menjadi sesuatu yang kompleks karena food is not just nutrition. Makanan juga terkait erat dengan banyak hal, misalnya cinta, contohnya masakan Ibu, masakan nenek, ataupun masakan rumah.

Makanan juga terkait dengan budaya. Ada masakan Jawa, Padang, atau lainnya. Makanan terkait dengan kebangsaan, seperti masakan Chinese, Western, dan Indonesian. Makanan juga terkait dengan seni. Cara pengolahan dan penyajiannya punya ciri khas tertentu.

Makanan tak lepas juga dari tradisi, diwariskan secara turun temurun.

Oleh karena itu, menciptakan kebiasaan baru bukanlah perkara mudah. Apalagi kebiasaan lama telah terbentuk dalam puluhan tahun. Mengubah pola makan dan jenis makanan bak mengubah gaya hidup.

Perlu dimulai dengan kesadaran lalu komitmen, kerja sangat keras disertai support system seperti dari keluarga dan lingkungan yang memadai.

Bagian tersulit dari penerapan pola baru adalah konsistensi, keberlanjutan dan kepatuhan. Kebiasaan baru bisa dimulai dengan membuka kesadaran untuk mengembalikan UPF ke WF sedikit demi sedikit.

Harus diingat, perubahan yang drastis dan dramatis umumnya tidak bertahan lama. Kesadaran bisa dibangun dengan memperbaiki literasi gizi dari sumber-sumber yang kredible seperti buku atau media arus utama.

Agar tidak terkontaminasi dengan hoaks, hindari literasi gizi dari media sosial yang sering tidak jelas sumbernya.

Berikut beberapa strategi dalam menciptakan kebiasaan makan baru yang bisa diterapkan secara kombinasi atau bertahap. Pertama, “piring makan model-T”, dimana 50 persen bagian diisi buah dan sayur, 25 persen karbohidrat, serta 25 persen protein dan lemak.

Kedua, mindful eating, yaitu menikmati rasa, aroma, dan tekstur makanan, mengunyah makanan secara perlahan, tidak makan sambil menonton TV atau aktivitas lainnya. Otak memerlukan waktu sekitar 20 menit untuk mendapatkan sinyal kenyang.

Ketiga, strategi substitusi, misalnya mie kuning diganti dengan sirataki.

Strategi keempat yaitu “strategi cermat camilan cerdas”, di mana dipilih camilan yang tinggi protein, karena memiliki thermo effect food/TEF yang tinggi dan membuat awet kenyang.

Kemudian camilan yang tinggi air dan serat seperti buah-buahan, atau tinggi karbohidrat jika memang ingin digunakan untuk berolahraga.

Strategi tambahan misalnya masak makanan sendiri, karena kita tahu bahan dan kandungan kalorinya. Atau strategi katering sehat, dimana kandungan kalori dan makronutrisinya telah diukur, proses pengolahan dan bahan telah dimodifikasi agar rendah kalori, juga dapat memilih paket menu sehat dan sesuai kebutuhan.

Harus dicamkan, kebiasaan baru mesti didukung juga dengan manajemen ghrelin, hormon yang mengendalikan rasa lapar. Olahraga ternyata dapat menurunkan sensasi rasa lapar serta ghrelin (Vatansever-Ozen, Serife, et al., 2011).

Petuah Hippocrates di awal tulisan ini sungguh merupakan paket lengkap yang tepat untuk “Melawan sabotase industri dan melepas belenggu makanan ultra-processed” menuju hidup yang lebih sehat.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/09/16/095818420/melawan-sabotase-industri-dan-melepas-belenggu-makanan-ultra-proses

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke