Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jangan Cuma Ikuti Tren, Anak Muda Perlu Tahu Sejarah dan Proses Batik

Sebab, semakin banyak anak muda yang mulai tampil di berbagai momen dengan berkain batik.

Bahkan, kini banyak ditemukan komunitas anak muda yang mulai mempopulerkan kembali kain batik seperti remaja nusantara, pemuda berkain, remaja berwastra, dan sebagainya.

Menurut pengamat batik dan pendiri Rasa Wastra Indonesia, Monique Hardjoko, fenomena ini sebenarnya sangat baik dilakukan anak-anak muda untuk melestarikan budaya batik di Indonesia.

Namun, ia melihat tak sedikit anak-anak muda yang mengenakan batik tanpa betul-betul memahami sejarah dan proses pembuatan batik itu sendiri.

Hal ini terlihat dari bagaimana mereka lebih banyak memakai batik printing atau tekstil yang memiliki motif batik.

"Ini sebenarnya peluang yang baik untuk membawa batik menjadi bagian dari gaya hidup mereka."

Demikikan kata Monique dalam media workshop Shopee bertajuk Cerita Batik Nusantara di Museum Tekstil Jakarta, Jumat (30/9/2022) lalu.

"Sayangnya, minat pada batik itu tidak dibarengi dengan edukasi, sehingga pemahaman anak-anak muda mengenai sejarah dan proses pembuatan batik masih sangat minim," kata dia.

Sebagai pengamat dan kolektor batik, Monique merasa anak-anak muda sekarang perlu didorong untuk tidak hanya membuat batik menjadi lebih populer, tetapi juga dapat memiliki pemahaman — paling tidak yang sederhana.

Pemahaman ini, menurut Monique penting agar anak muda bisa lebih menghargai batik dan juga prosesnya.

"Jadi batik itu kan yang menariknya di proses pembuatannya ya, di mana pembuatan batik awalnya manual menggunakan tangan seperti tulis, lukis, cap, ikat jumputan, dan lainnya," kata Monique.

Sementara batik-batik printing itu prosesnya sangat instan dan tidak bisa menggantikan nilai dari pembuatan batik dengan teknik yang masih tradisional.

Di sisi lain, hasil akhir batik tradisional dan printing juga memiliki hasil akhir yang berbeda, mulai dari pewarnaannya, kepadatan dan detail motif-motif, sampai pada bahan yang dipakai.

"Sebenarnya kalau bicara daya beli anak muda sekarang itu merek bisa kok membeli batik masih dibuat dengan cara tradisional," ujar Monique.

"Batik tye dye, misalnya, itu kan prinsipnya jumputan. Harganya pun terbilang sangat murah sekitar Rp 100-150 ribu."

"Atau batik cap yang dari pesisir dengan motif yang lebih sederhana itu sudah bisa dibeli dengan kisaran harga Rp 300-400 ribu," jelas dia.

Jika dibandingkan dengan brand-brand luar negeri yang diadopsi anak-anak muda, sebenarnya harga batik secara umum lebih murah.

"Kalau pun ada batik-batik yang memiliki harga hingga puluhan atau ratusan juta, itu biasanya punya motif yang unik dan lebih dikhususkan pada pembeli yang memang kolektor atau pencinta batik," ujar Monique.

"Saya sih tidak mengekang anak-anak muda berkain dimulai dari batik printing ya, karena yang penting kebiasaannya dulu."

"Tetapi, mereka tidak boleh terjebak dalam tren fesyen dan harus mulai membangun kesadaran tentang pentingnya memahami sejarah dan proses batik dengan memakai yang lebih tradisional," imbuh dia.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/10/02/081559020/jangan-cuma-ikuti-tren-anak-muda-perlu-tahu-sejarah-dan-proses-batik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke