Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pangan Asli yang Terinvasi

Berkesempatan bertamu di beberapa posyandu sekaligus berbagi pembekalan gizi, keluarga Papua memberi semangat ekstra untuk tidak berdiam diri dan mengajak lebih banyak orang peduli.

Pencegahan stunting dan penanganan anak yang sudah terlanjur stunting kerap diandaikan sebagai ranah masalah gizi belaka.

Padahal, kita perlu mengkaji lebih bijak apabila sumber daya manusia Indonesia yang akan menjadi taruhannya.

Gangguan gizi kronik hanyalah apa yang tampak di permukaan. Ibarat rayap yang merusak pintu, kusen dan sudah hampir meruntuhkan kuda-kuda rumah.

Mengusir rayap dengan mengganti kayu yang lapuk atau ‘menyuntik’ lubang-lubang celah rayap bersliweran dengan pestisida, sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Sebab, rayap berkembang biak juga di dalam tanah. Rongga-rongga sarang berisi jutaan telur dan larva rayap siap menyerang setiap saat.

Jangankan rumah bikinan orang, pohon besar nan kuat berumur puluhan tahun pun akan tumbang.

Pengentasan gangguan gizi tidak bisa semata-mata hanya ‘menembak’ sasaran di depan mata dengan tambahan asupan pangan, bahkan mengganti pangan sehari-hari dengan produk industri yang katanya sudah terformulasi. Yang dipahami dengan sudut pandang klinisi.

Mengkaji bagaimana masyarakat, terutama ibu dan anak memilih apa yang mereka makan melibatkan banyak aspek. Termasuk pergeseran budaya – di mana akan semakin banyak pihak mestinya bertanggung jawab.

Perubahan masif oleh-oleh kuliner

Sepanjang perjalanan saya keliling Nusantara, hati ini rasanya ‘terpotek habis’ menyaksikan perubahan masif yang dimulai dari oleh-oleh kuliner dari barat ke timur tanah air.

Sangat tidak masuk akal, oleh-oleh dari Papua justru roti gulung bertabur abon yang amat fenomenal itu.

Yang dari sisi rasa, bagi yang tinggal di ibu kota tentu tidak dipandang sebelah mata. Begitu pula populasi ABG yang duduk-duduk sore santai di kota Timika, kelihatan menikmati betul jajanan sosis goreng dan teh boba yang dijual dari gerobak seadanya atau mobil bak terbuka.

Pun Balikpapan, lebih dikenal roti mantau (yang di Tiongkok dikenal sebagai ‘manthou’ – bakpao kosong).

Medan pun jangan ditanya, naniura yang lebih bergizi malah susah dicari ketimbang bolu gulung manis bertabur keju olahan. Padahal, terigu tidak tumbuh di bumi Nusantara. Duh.

Masuk ke pemukiman keluarga-keluarga sederhana, nasi kuning dengan lauk mi instan goreng menjadi ‘juara’.

Sementara ikan laut murah dan melimpah, begitu pula telur. Jangan ditanya ayam – yang dalam keadaan beku dijual seharga 90 ribu-an seekor.

Betapa sedihnya saat papeda dan ikan kuah kuning tersingkir, bahkan kami perlu memperagakan cara pembuatan selingan makanan pendamping ASI bernama bubur tepis sagu.

Dengan modal cukup telur kocok, pisang, dan sagu yang diaduk dalam air mendidih. Durasi pembuatannya lebih singkat dan amat murah, ketimbang pakai sandal pergi ke warung beli jajan kemasan.

Stunting bukan hanya karena kurang makan

Seperti yang telah saya singgung di awal tulisan ini, stunting bukan hanya perkara kurang makan.

Literasi tentang manajemen laktasi, pengolahan sumber pangan lokal, pengadaan sumber air bersih di setiap rumah, tersedianya jamban yang berfungsi baik, dan lantai pemukiman yang bukan lagi gundukan tanah penyebab transmisi cacing, merupakan celah-celah rongga raksasa yang luput dari perhatian dan setiap saat meruntuhkan kekuatan sumber daya manusia Indonesia.

Di semua kantong-kantong wilayah dengan angka stunting-nya tinggi, kita temui rumah penduduk yang tipikal kumuh, tanpa ventilasi yang baik, bahkan dapur dengan asap kayu bakar memenuhi ruang kecil berdinding rapuh tempat bayi berjuang untuk tumbuh. Apalagi jika ayahnya merokok.

Ditambah anak tetangga tiba-tiba muncul mengajak adik bayi main sambal dicium-cium, sementara anak tetangga ini sedang batuk dan meler tak henti. Orangtua kemudian menyalahkan cuaca.

Ibu mengatakan, bayi berperawakan kecil karena keturunan. Bahkan, ketika bayi diare disebut ‘mau tambah pintar’.

Sang nenek melarang makan ikan dan aneka protein hewan sebab amis – bikin kulit gatal dan cacingan, sehingga bayi cukup diberi bubur nasi encer dengan wortel atau kentang saja.

Susu jadi pengisi celah

Bayangkan potret keluarga seperti di atas mendapat ‘bantuan donatur’ susu dan biskuit.

Yang terjadi, anaknya makin diare karena intoleransi laktosa, atau susu dan biskuitnya hanya bertahan sebulan – habis itu sang ayah kebingungan mau beli dengan cara apa kelanjutan susu dan biskuit tersebut.

Ditambah lagi ASI sudah macet dan ibu tidak paham membuat makanan anak, apalagi bicara perkembangan tekstur bubur bayi.

Setiap saat bayi disuapi bubur, yang terjadi perang penuh teriakan: dilepeh, tersedak, atau bayinya malah muntah.

Ibu makin merasa gagal jadi ibu, apalagi terminologi stunting kerap mengambil istilah ‘anak gagal tumbuh’.

Padahal, sang ayah bekerja menangkap ikan. Di kebun melimpah pisang, pepaya, dan aneka jenis umbi dan pohon sagu besar-besar.

Suatu ironi apabila masalah stunting yang ‘laris manis’ digoreng hanya isu seputar gizi. Lebih mengerikan lagi, jika narasi tentang stunting diangkat oleh jurnalis media yang pengetahuannya pas-pasan saat wawancara.

Sehingga, opini masyarakat kian tergiring pada kondisi kemiskinan kronis yang harus ditolong dengan donasi susu ibu hamil bagi para ibu yang sedang mengandung dan susu (lagi) bagi bayi dan balita yang sedang tumbuh.

Padahal, jargon 4 sehat 5 sempurna sudah digusur lebih dari satu dekade dan pilihan protein hewani yang mudah dicerna, serta kaya mineral termasuk kalsium dan zat besi melimpah ruah di negri ini.

Publikasi dari Braun dkk dalam Journal of Clinical Nutrition 2016 berjudul Dietary Intake of Protein in Early Childhood Is Associated with Growth Trajectories between 1 and 9 Years of Age menunjukkan dengan jelas, bahwa tidak ada perbedaan tumbuh kembang anak yang mendapat asupan protein hewani non susu dan yang mendapat protein dari turunan susu.

Sebaliknya, ada perbedaan signifikan antara tumbuh kembang anak yang diberi protein hewani dibanding yang diberi protein nabati.

Begitu pula di tahun 2013 Hildegard Przyrembel dan Carlo Agostoni dalam publikasinya menjelaskan, bahwa sekali pun susu bukan merupakan suatu keharusan (dan kalimat ini sering tidak dibaca baik-baik), tapi bisa mengisi celah kekurangan pada keluarga dengan pola makan buruk.

Betapa menyedihkannya, jika pola makan buruk keluarga ini tidak ditangani, sementara susu akhirnya hanya menjadi ‘pengisi celah’ di rentang usia tertentu (dan berbalik dijadikan ‘keharusan’) hingga menjadi problematika berkasta.

Sebab jika anak mengalami intoleransi laktosa, maka dibutuhkan susu khusus yang harganya tak terjangkau (dan mustahil disubsidi pemerintah).

Risiko penyakit metabolik

Dengan maraknya makanan dan minuman manis berperasa yang disukai anak-anak, maka lebih banyak anak Indonesia memilih susu dengan imbuhan gula tinggi dan aneka rasa tambahan.

Jebakan menuju penyakit metabolik di usia remaja kian mengerikan, belum lagi beban ekonomi keluarga membuat para ibu dengan berat hati mengencerkan susu anak-anaknya dengan lebih banyak air. Lalu apa gunanya ini semua?

Tak kalah ramai, di media sosial bersliweran aneka resep makanan selingan ‘bocah masa kini’, yang membuat para ibu lebih kenal banana pancake ketimbang pisang barongko.

Atau puding panacotta nan lembut dengan aneka toping gaya bule, ketimbang talam ubi atau serabi dengan abon ikan buatan sendiri.

Fenomena di atas menjadi konsekuensi logis dengan bergesernya pangan remaja dan dewasa yang sudah kehilangan karakter etnik.

Bahkan, ada remaja yang sama sekali terheran-heran dengan pecel kecipir dan bunga kembang turi. Ulat sagu yang kaya protein dan nutrisi dianggap makanan menjijikkan, sementara lidahnya sudah terbiasa dengan sosis berlumur saos ‘tomat’ (yang tidak lagi dibuat dari tomat) atau ‘chicken popcorn’ berlumur ‘saus teriyaki’ botolan.

Merupakan panggilan bagi semua penggiat nutrisi di tanah air, untuk kembali mendekatkan masyarakat dengan kekayaan lokal dalam artian sesungguhnya.

Membuat anak-anak makan ubi ungu kukus atau bakar – bukan brownies berwarna ungu. Tambahkan protein sebagai pendongkrak nilai gizinya.

Jangan lagi kita berusaha ‘membela’ produk instan agar kelihatan ‘lebih bergizi’, sementara produk industri tidak bisa disamakan dengan pangan utuh yang asli.

Apalagi, produk-produk kemasan kita saat ini menjadi sorotan dunia, akibat aneka imbuhan yang di luar sana dikritisi, sementara disini masih dinikmati – sebab masalah tidak (belum) datang hari ini.

Dan tak terlalu berlebihan jika saya mengutip istilah: There is no right way to do the wrong thing. Mari kita makan seperti tuan di tanah air sendiri. Menikmati kekayaan yang Allah beri.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/10/31/090500620/pangan-asli-yang-terinvasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke