Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tanggap Bencana, Seharusnya Gizi Tetap Terjaga

Gempa Cianjur, sama seperti Gempa Palu atau Lombok beberapa tahun yang lalu, sama sekali tak terduga, menelan banyak korban serta penanganan tanggap bencana yang tidak mudah.

Gempa, banjir, longsor, gunung meletus, membuat orang harus meninggalkan rumah dan mengungsi.

Perubahan hidup mendadak yang amat tidak diharapkan siapa pun. Stres, takut, bingung, sedih hingga marah bercampur aduk. Belum lagi, jika ada anggota keluarga yang terpencar, hilang entah berada dimana.

Sementara yang masih terselamatkan di tenda pengungsian, seperti biasa merasa ‘tidak terurus baik’, walaupun pemerintah dan lembaga-lembaga sosial cekatan mendirikan tenda dan dapur umum.

Komunitas penduduk yang terpencar dan jauh dari jalan utama menjadi tantangan bagi Basarnas – apalagi keengganan mereka yang terdampak untuk diungsikan. Maunya, kalau bisa tenda dan dapur umum dibangun dekat-dekat rumah mereka saja.

Bantuan susu dan makanan bayi

Masalah klasik di Indonesia di saat bencana adalah permintaan bantuan yang tak jauh dari susu dan makanan bayi.

Seakan-akan konsumsi bayi dan balita mendadak berubah di tenda pengungsian, ‘kesempatan menyicipi’ produk kekinian yang biasanya hanya bisa dipegang-pegang di mini market, karena harganya ‘lumayan’ kalau si anak sering-sering merengek minta.

Mestinya, salah satu prosedur tanggap bencana yang paling dini harus diperhatikan adalah berdirinya tenda ramah anak: di mana ibu-ibu menyusui juga bisa merasa tetap aman menyusui bayinya.

Menyusui anak tidak boleh terputus. Bahkan, ini bisa menghindari risiko diare, ketimbang membuat susu dengan air seadanya dan botol yang tidak mungkin dicuci bersih akibat krisis air.

Menyusui membuat kesatuan ibu-anak menjadi tenang, para ayah bisa lebih fokus membenahi kerusakan akibat bencana atau membantu petugas.

Dapur MPASI untuk mejaga gizi anak

Dapur umum Makan Pendamping ASI (MPASI) juga perlu didirikan bersamaan dengan dapur umum dewasa.

Dengan demikian, kebersihan, kecukupan gizi sekaligus keteraturan makan bayi dan anak ikut terjaga.

Kerap kali, justru akibat bencana, malah banyak ibu akhirnya ‘belajar gratis’ cara membuat MPASI yang berkualitas dengan bahan pangan lokal dari para relawan gizi.

Suatu edukasi berharga yang bisa dibawa pulang, saat tahap pemulihan dan rehabilitasi sudah usai dan masyarakat terdampak kembali menata hidupnya.

Saat saya berada di Lombok Timur bersama relawan Wahana Visi Indonesia 4 tahun yang lalu, di saat gempa hebat nyaris menyentuh magnitudo 7.0 skala richter, tenda ramah anak kami selalu diisi aneka edukasi: mulai dari tips pola hidup bersih dan sehat hingga soal cara pemberian makan bayi dan anak.

Betapa mirisnya saat ibu-ibu mengakui, anaknya justru doyan makan karena resep-resep sederhana.

Bahkan mereka bisa merasakan manisnya bayam, gurihnya sup telur walaupun tanpa bumbu kemasan yang menjadi andalan mereka sehari-hari.

Ketika pasar rakyat belum pulih, warung-warung lebih dahulu berlomba menjajakan aneka produk kemasan, yang mereknya saja di kota besar seperti Jakarta tidak pernah terdengar.

Biskuit-biskuit murah sarat gula dan lemak trans menjadi andalan ibu-ibu ketika anaknya rewel.

Dan yang paling menyedihkan, saat di tenda ramah anak sedang berlangsung edukasi cuci tangan pakai sabun, mendadak beberapa anak berlarian keluar, karena ternyata ada sekelompok donatur sedang membagikan kantong-kantong warna warni berisi susu kotak aneka rasa (yang gulanya selangit), wafer, camilan keripik tinggi garam dan lagi-lagi lemak trans, plus segenggam permen.

Saat kami berdiskusi dengan beberapa orangtua, mereka justru menunjukkan sikap tak senang, seakan-akan kami mempertanyakan niat baik para donatur: sudah bagus ada yang menyumbang, masa ditolak? – begitu raut wajah mereka yang bisa kami tebak.

Lain bencana, lain tenda, lain cerita. Saat membantu masyarakat pasca tsunami Selat Sunda di Pandeglang, kami juga berhadapan dengan orang-orang yang sama sekali tidak peduli akan bahaya merokok di lingkungan anak.

Dengan santainya para bapak merokok sambil menjaga beberapa anak balita, karena ibunya sedang sibuk di dapur MPASI.

Sementara, beberapa anak itu juga batuk berdahak dengan ingus meleleh, yang mana sudah menjadi pemandangan biasa.

Sekali lagi, ketika kami bersama para ibu berlatih membuat MPASI, tiba-tiba terdengar keriuhan di pekarangan depan yang ternyata beberapa mobil pick up berbaris menurunkan berkarton-karton mi instan aneka rasa dan ‘susu balita’.

Padahal, baru saja pagi sebelumnya ada seorang ibu yang menangis meraung-raung, karena anaknya diare dan tidak mau makan.

Hampir saja yang dituduh dapur anak, diandaikan membuat dan membagi MPASI yang tidak higienis.

Padahal anak-anak lain tidak ada yang diare. Ternyata setelah diusut, benar saja, anak yang diare itu sengaja mau disapih ibunya dan diberi susu kotak. Dan rupanya anaknya intoleransi laktosa.

Yang akhirnya menurut pengakuan sang ibu, memang sudah pernah diare setiap kali diberi aneka jajanan berbahan susu.

Membentuk kerangka pikir para pemangku kepentingan, termasuk pemda, seputar masalah gizi amat pelik – terutama jika kita sudah terpola sedemikian rupa tentang ‘apa sih gizi baik dan pangan sehat itu?’.

Di tanah air yang kaya akan bahan pangan utuh dan segar, betapa mirisnya fakta statistik menunjukkan, rata-rata konsumsi dan pengeluaran per kapita penduduk Indonesia di ranking paling atas ditempati oleh makanan dan minuman, lalu tepat di bawahnya adalah… rokok.

Bagaimana mungkin buah-buahan dan umbi hanya mendapat tempat di bawah 5% dari pola konsumsi masyarakat kita?

Di kampung-kampung, para ibu dengan bangga saling berlomba pamer susu formula mahal untuk konsumsi bayinya, diperparah dengan sindiran sinis beberapa nakes yang menuding ASI sudah tak ada gunanya di atas usia 6 bulan.

Tak heran jika akhirnya kita masuk dalam pusaran kemiskinan dan kebodohan, yang fenomenanya semakin kentara saat para relawan gizi berjuang mengoreksi pemahaman yang keliru tentang pemberian makan bayi dan anak di tenda-tenda bencana.

Bencana alam barangkali fenomena kerusakan yang dampaknya langsung terlihat hari ini, tapi di balik itu semua terselubung juga fenomena kerusakan kualitas pangan masyarakat kita.

Hal itu mestinya tidak perlu terjadi. Asal kita mau berkolaborasi, membuat rakyat bangga akan pangan lokalnya sendiri, dan menjamin kebutuhan gizi anak juga tercukupi.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/11/30/090300120/tanggap-bencana-seharusnya-gizi-tetap-terjaga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke