Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kebaya dan Pewarisan Tradisi

Terlepas dari fakta sejarah mengenai kedua hari tersebut yang pada awalnya bermakna emansipasi dan kebangkitan perempuan Indonesia, tetapi kemudian bergeser menjadi domestikasi perempuan. Kedua "hari perempuan" ini dapat dimaknai sebagai perayaan "pewarisan tradisi" dan penggambaran tugas yang diemban kaum perempuan untuk mewariskan dan diwariskan sebuah tradisi.

Tradisi yang kita bicarakan di sini adalah kebaya, sebuah entitas budaya yang masih berlaku dari generasi ke generasi.

Subordinasi dan Domestikasi

Kebaya dalam konteks pewarisan tradisi dapat diamati dari beberapa pendapat, antara lain Arifah A Riyanto (Teori Busana, 2003) mengenai busana nasional sebuah bangsa bukan hanya untuk perempuan tetapi juga untuk laki-laki. Namun biasanya lebih dikenal melalui kaum perempuannya.

Sejauh ini kaum perempuan (Indonesia) tampak lebih peduli terhadap isu keberlangsungan busana nasional, sementara kaum pria cenderung abai. Barangkali disebabkan kurang berperan aktifnya figur ayah dalam konteks pewarisan busana nasional pada anak laki-lakinya.

Kaum pria yang memakai busana nasional ataupun kain/sarung umumnya tampil hanya dalam acara tertentu, misalnya perkawinan dengan upacara adat. Diperkirakan sebagian (besar) kaum pria Indonesia tidak mengetahui nama dan bentuk busana nasional untuk mereka selain kemeja batik/tenun yang umum dipakai.

Edward Hutabarat (Busana Nasional Indonesia, 1999) menyebut "jas tutup" dan "jas tutup lengkap" sebagai pakaian nasional laki-laki Indonesia.

Sementara Arifah A Riyanto mengungkapkan bahwa pada awalnya (tanpa menyebut tahun) busana nasional laki-laki Indonesia yang telah disepakati adalah celana seperti model piyama dipadu baju teluk belanga, dilengkapi kain sarung kotak-kotak yang dilipat dan dipakaikan di sekitar pinggang sampai panggul, memakai peci (kopiah) dan sepatu.

Namun dalam perkembangannya kurang mendapat sambutan masyarakat sehingga berganti menjadi setelan jas lengkap dan peci yang dianggap lebih praktis.

Tradisionalisasi perempuan melalui pakaian sebagaimana yang kita lihat saat ini telah berjalan semenjak pascakolonial. Henk Schulte Nordholt (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005) menyebut kaum perempuan Indonesia cenderung memakai pakaian bergaya tradisional sebagai sebuah simbol kebudayaan yang sifatnya otentik dan menggambarkan sikap pasif sekaligus subordinasi.

Sementara kaum laki-laki memakai setelan bergaya Barat yang mewakili ruang kekuasaan, kemajuan dan modernitas.

Pewarisan Tradisi

Perdebatan mengenai benar-tidaknya tradisi berkebaya berelasi dengan subordinasi dan domestikasi perempuan sesungguhnya masih belum usai. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kaum perempuan Indonesia memiliki kontribusi yang signifikan dalam menjalankan pewarisan tradisi dari generasi ke generasi.

Kita dapat melihat besarnya pengaruh ibu dan nenek kepada anak/cucu perempuan terhadap tata cara berbusana. Penulis mengambil contoh kisah Mien Uno (Kebayaku, 2014) yang ingatan masa kecilnya mendasari kecintaannya akan kebaya.

“Masih kuat terpatri dalam ingatan saya sejak berusia lima tahun, saya selalu memandang busana yang dikenakan oleh Siti Koersilah, Ibunda tercinta, yang terlihat selalu berbeda… Begitu kuatnya karakter kebaya yang dikenakan Ibu, ditambah kekaguman dan kecintaan saya pada beliau, membuat memori alam bawah sadar saya terus dipupuk oleh keindahan kebaya,” begitu kisah Mien Uno.

Sita Suryawati (Kebaya Melintasi Masa, 2021) memaparkan pengaruh lingkungan di mana dia lahir dan dibesarkan sehingga dirinya merasa tradisi berkebaya yang merupakan warisan leluhur menjadi tanggung jawabnya kepada anak-anaknya.

“Tentu saja, aku ingin mereka mengagumi dan mencintai kebaya sebagaimana keturunan ibu, eyang, eyang buyut dan semua leluhurnya. Seperti halnya aku mengagumi Ibu dan Eyangku ketika memakai kebaya, kain dan bersanggul Jawa, tampak ayu, anggun, luwes dan ramping,” tulis Sita.

Pewarisan tradisi berpakaian adat/daerah dalam beberapa tahun ini mulai melibatkan negara dengan diterbitkannya peraturan daerah yang mengimbau ataupun mewajibkan aparatur negara dan anak-anak sekolah mengenakan pakaian adat/daerah untuk beberapa kegiatan, misalnya satu kali dalam seminggu dan hari-hari besar tertentu. Melalui peraturan ini, eksistensi dan kelestarian busana nasional dan pakaian adat/daerah Indonesia diharapkan tidak hanya dikenal melalui peran dan kepedulian kaum perempuan semata tetapi juga kaum laki-laki dalam konteks pewarisan dari generasi ke generasi.

Apabila tradisi berpakaian di Indonesia tidak dirawat, tidak dilestarikan, dan tidak dipakai oleh masyarakat pemiliknya, suatu hari tradisi itu berpotensi akan lenyap, bahkan bisa jadi beralih menjadi milik masyarakat/bangsa lain.

Keutamaan busana nasional/pakaian adat/daerah sebagai identitas dan jati diri sebuah bangsa/etnis tampak dari kalimat berikut, “Pakaian berperan sebagai pajangan budaya (cultural display) karena hal itu mengomunikasikan afiliasi budaya kita.” - Desmond Morris dalam Manwacthing: A Field Guide to Human Behaviour (1977).

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/01/19/171028020/kebaya-dan-pewarisan-tradisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke