Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perbedaan Halusinasi dan Delusi

Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata

KOMPAS.com - Penderita gangguan mental semakin bertambah setiap tahunnya. Hal ini diperkuat survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada 2022 yang mengungkapkan satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental dengan gejala dan pemicu berbeda.

Beberapa penderita gangguan mental mungkin pernah merasakan halusinasi dan delusi. Pasalnya, dua kondisi ini merupakan salah satu gejala atau tanda psikosis adanya gangguan kesehatan mental yang mengubah persepsi seseorang terhadap realitas.

Meski terdengar serupa, ternyata keduanya memiliki perbedaan. Bahkan, dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Ilusi, Delusi, dan Halusinasi. Bedanya Apa?” dengan tautan akses bit.ly/AnyJiwIlusi, disebutkan pula perbedaan keduanya dengan ilusi oleh dr. Dharmawan A. Purnama, PhD. Psychiatrist, Psikiater dan Founder Smart Mind Center Consulting.

Apa Itu Halusinasi dan Delusi?

Sebelum memutuskan untuk menjalani pengobatan, kita bersama dengan psikolog harus mengidentifikasi gejala yang diderita. Baik itu halusinasi atau delusi. Hal ini dilakukan agar kita bisa mendapatkan pengobatan yang tepat.

Mengutip Healthline, halusinasi adalah pengalaman indrawi yang dirasakan seseorang seolah-olah nyata padahal sebenarnya tidak. Ada pun gejala ini dapat dipicu oleh konsumsi obat-obatan, penggunaan zat, atau kondisi kesehatan medis (demam tinggi) atau mental tertentu.

Halusinasi dapat memengaruhi kelima indra kita, yaitu penglihatan, penciuman, perasa, pendengaran, atau sentuhan. Misalnya, merasa ada sentuhan di kulit, mendengar orang sedang berbicara di sekitar, hingga yang paling sering adalah melihat sesuatu yang tak ada.

Sementara itu, delusi adalah keyakinan tetap palsu yang menantang untuk diubah meskipun ada bukti yang bertentangan. Misalnya, seseorang dapat memiliki khayalan bahwa pasangannya selingkuh. Terlepas dari buktinya tak benar, kita tidak dapat mengubah apa yang dipikirkan orang tersebut.

Biasanya, kondisi ini termasuk ke gangguan dalam berpikir. Keyakinan ini tidak disebabkan oleh latar belakang budaya, agama, atau kecerdasan seseorang. Akan tetapi, keyakinan ini dipegang teguh oleh seseorang meski bertentangan dengan bukti yang ada.

Mengutip Baton Rouge Behavioral, ada beberapa jenis delusi jika dikategorikan berdasarkan tema. Pertama adalah delusi terhadap sesuatu yang agung atau superior. Misalnya, kita percaya bahwa diri kita lebih baik daripada orang lain.

Kedua adalah delusi terhadap pasangan melakukan hal-hal buruk. Biasanya, orang yang memiliki gejala delusi ini merupakan korban perselingkuhan. Mereka pun jadi lebih sensitif sehingga mudah mencurigai pasangannya.

Ketiga, yaitu delusi erotomania yang percaya bahwa orang penting (misalnya, artis) jatuh cinta padanya. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa mengacu pada perilaku menguntit.

Keempat adalah delusi somatik. Orang-orang dengan kondisi delusi ini percaya bahwa seseorang menderita kondisi medis yang tidak dialami. Kelima adalah delusi penganiayaan yang merupakan jenis paling umum. Delusi ini membuat penderitanya bersifat paranoid karena takut ada yang menyakitinya.

Keduanya pun kerap diderita oleh penderita skizofrenia, namun lebih dominan halusinasi. Pasalnya, penderita rentan mengalami gejala psikotik, seperti kehilangan kuasa diri dengan kenyataan. Jadi, ada kemungkinan mereka mungkin tidak tahu mana yang nyata dan mana yang tidak.

Pengobatan Halusinasi dan Delusi

Pengobatan delusi atau halusinasi akan sangat bergantung pada kondisi para penderitanya. Mengutip Very Well Mind, ada beberapa alternatif pengobatan yang bisa dilakukan.

1. Terapi Perilaku Kognitif (CBT)

Terapi ini dapat membantu penderita mengenali gejala serta mengendalikan reaksi mereka terhadapnya. Biasanya, jika penderita tak mengalami kondisi psikotik yang parah, terapi ini bisa dilakukan sembari rawat jalan.

Pasalnya, CBT menawarkan penderitanya untuk mendiskusikan kemungkinan alternatif tentang ketidakpercayaan mereka. Jika perlu, terapi ini juga akan dibarengi dengan obat-obatan.

2. Obat Antipsikotik

Obat antipsikotik dapat mengurangi delusi dan halusinasi jika terapi masih tak kunjung menunjukkan kemajuan. Obat ini bekerja dengan menghalangi efek neurotransmitter dopamin di otak. Nantinya, ia akan membantu penderita agar mampu membedakan hal yang nyata dan tidak.

3. Rawat Inap dan Rehabilitasi

Opsi terakhir dilakukan jika penderitanya mengalami episode psikotik parah yang dapat melukai diri sendiri dan/atau orang lain. Selain itu, halusinasi yang disebabkan penyalahgunaan zat narkotika juga wajib dilakukan rehabilitasi. Sebab, kondisi ini tak bisa hilang dalam jangka waktu yang sebentar.

Dibutuhkan bantuan profesional untuk merawat dan mengevaluasi kondisi mereka yang disebabkan oleh kecanduan.

Lantas, bagaimana perbedaan halusinasi, delusi, dan ilusi menurut dr. Dharmawan? Dengarkan jawaban lengkapnya melalui siniar Anyaman Jiwa episode “Ilusi, Delusi, dan Halusinasi. Bedanya Apa?” dengan tautan bit.ly/AnyJiwIlusi.

Akses sekarang juga playlist YouTube Medio by KG Media untuk mendapat informasi lebih banyak seputar kesehatan mental yang bisa menunjang kehidupan sosial, karier, hingga romansamu. Tunggu apalagi? Yuk, ikuti siniarnya sekarang juga.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/02/06/180427120/perbedaan-halusinasi-dan-delusi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke