Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tingkatkan Rasa Syukur, Hilangkan Rasa Ketidakberdayaan, Atasi Distress

BANYAK orang menyadari pentingnya rasa syukur, tetapi mungkin tidak semua orang mensyukuri kehidupan yang tengah dijalani dari hari ke hari.

Seseorang akan lebih mampu mensyukuri sesuatu jika sebelumnya ia pernah mengalami kehilangan sesuatu dan membuat dirinya merasa kurang atau bahkan tidak berdaya.

Padahal, sesungguhnya amat banyak hal dalam keseharian yang layak untuk disyukuri karena keberadaannya membuat diri berdaya. Hanya saja sesuatu yang rutin berlangsung sering diabaikan dan kurang disyukuri.

Sebagai contoh, sering individu tidak peduli dengan adanya udara untuk bernapas dan energi untuk bergerak.

Sebaliknya ketika ia mengalami sesak napas atau nyeri otot, hidupnya merasa amat terbebani. Ketika ia kembali mampu bernapas lega dan nyeri ototnya hilang, ia merasa jauh lebih bahagia dan sejahtera.

Pada saat individu mengalami rasa kehilangan (kehilangan dukungan sosial, kehilangan daya) umumnya mereka akan mengalami distress; dan kondisi distress tersebut baru mungkin teratasi ketika hal yang hilang itu didapati kembali.

Distress adalah kondisi tertekan atau terancam yang dirasakan berlebihan dan melebihi kapasitas kemampuan untuk ditanggulangi.

Individu akan mengalami distress ketika sumber keberdayaannya relatif terbatas untuk menanggulangi tantangan yang dihadapi.

Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi dapat membuat individu mengalami stress berkepanjangan jika ia tidak mampu mengelola pemasukan dan pengeluaran dengan baik. Kondisi ini termasuk distress.

Dampak distress bisa berlangsung sementara sepanjang masalah belum tertanggulangi; bisa juga berkepanjangan, karena masalah yang harus dihadapi berkesinambungan sementara sumber dukungan kemampuan terbatas.

Dalam kehidupan kemahasiswaan misalnya, para mahasiswa berpotensi mengalami stress berkepanjangan akibat tuntutan standar prestasi tinggi di samping ada tuntutan lain dalam kehidupan kampus dan pertemanan.

Selain itu ada mahasiswa yang relatif bergantung sepenuhnya pada orangtua dan selama menjalani pendidikan mengalami kesulitan karena dukungan orangtua dirasakan kurang memadai.

Mahasiswa pada umumnya berada dalam rentang perkembangan emerging adulthood, yang mungkin bisa diterjemahkan menjadi “tunas dewasa”. Rentang usia ini berada dalam rentang “early adult” atau masa dewasa awal.

Konsep dewasa awal lebih menekankan pada kronologis usia masa perkembangan, sedangkan konsep emerging adult atau tunas dewasa lebih mengarah pada tugas dan tanggung jawab.

Pada masa tunas dewasa ini mereka semakin dituntut untuk secepatnya mandiri, termasuk secepatnya berkarya dan produktif, bahkan berkeluarga; akibatnya, tuntutan sosial tersebut turut memberikan kontribusi terhadap munculnya pengalaman distress.

Mereka secara simultan menghadapi tantangan pendidikan (berprestasi baik) dan tantangan kehidupan (secepatnya mandiri).

Bagi sebagian orang hal ini tidak menimbulkan masalah berarti karena mereka cukup memiliki sumber daya.

Misalnya, kemampuan intelligensi tinggi depat menunjang indivdiu lebih memiliki peluang berprestasi unggul dalam pendidikan dan adanya dukungan serta jejaring sosial memadai lebih membuka peluang untuk dimanfaatkan dalam berkarya secara mandiri.

Namun ada banyak kondisi di mana individu harus hidup dalam berbagai keterbatasan dan pada waktu bersamaan dituntut untuk secepatnya berdaya. Kondisi ini amat berpotensi menimbulkan distress.

Pada salah satu penelitian (Mason, 2019) didapati bahwa distress berkorelasi negatif sebesar hampir 40 persen dengan kebersyukuran (gratitude); artinya, rasa kurang bersyukur memberikan sumbangan sekitar hampir 40 persen atas hadirnya pengalaman distress.

Tidak mensyukuri sesuatu memang tidak serta merta menimbulkan distress, tapi jika individu kurang mensyukuri kehidupannya, distress yang dialami cenderung lebih membebani.

Sementara itu pada penelitian sebelumnya (Kisa dkk, 2018) didapati adanya korelasi positif sebesar lebih dari 50 persen antara distress dan ketidakberdayaan (hopelessless, hilang harapan).

Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman distress itu terkait dengan rasa ketidakberdayaan sebesar lebih dari 50 persen. Jadi, semakin orang merasa tidak berdaya semakin besar peluangnya ia mengalami distress.

Mendapati adanya hasil kajian tersebut di atas kiranya kita dapat memperoleh gambaran bahwa di satu pihak kondisi distress relatif selaras dengan adanya rasa ketidakberdayaan dan di lain pihak kondisi ini seringkali disertai oleh adanya rasa tidak bersyukur (non-gratitude) atau minimal kurang bersyukur (lack of gratititude).

Dalam dunia kemahasiswaan relatif sering bahkan mungkin rutin kita dapati mahasiswa mengalami beban akademis akibat berbagai alasan.

Stress akademis (academic stress) tentunya merupakan salah satu tantangan pelajar yang tak terpisahkan dalam menjalani pendidikan.

Stress akademis ini mencakup berbagai hal terkait dengan tuntutan prestasi akademis dari kewajiban hadir kuliah hingga penyelesaikan karya tulis.

Di samping itu ada juga stress kehidupan sehari-hari (daily hassle stress) yang mencakup banyak hal termasuk keterbatasan tempat tinggal, tantangan transportasi dan kebutuhan makan serta tantangan masalah hubungan interpersonal.

Mahasiswa sering mengeluh tentang masalah-masalah yang menimbulkan distress dan sebaliknya kurang mensyukuri bahwa melalui proses pendidikan mereka justru berpeluang untuk meningkatkan taraf kehidupan di masa depan.

Melalui proses mengatasi tantangan inilah mereka akan menjadi lebih berdaya ketika kelak harus berhadapan dengan kondisi serupa di kemudian hari.

Ketidakberdayaan terkait dengan kondisi hilang harapan (hopelessness); artinya individu merasa tidak berdaya karena menganggap usaha akan sia-sia tidak membuahkan hasil.

Akibatnya, individu akan hilang motivasi untuk mengupayakan lebih lanjut karena menganggap akan membuang energi.

Kondisi ini dipengaruhi oleh pola pikir negatif ke masa depan yang mungkin dipengaruhi oleh pengalaman kegagalan di masa lampau.

Rasa tidak mampu sesungguhnya dapat diatasi dengan belajar lebih lanjut untuk meningkatkan kemampuan; rasa tak berdaya dapat diatasi dengan adanya dukungan sosial dan membangun niat lebih baik agar lebih berdaya.

Namun, pandangan akan ketidakmungkinan membutuhkan perubahan persepsi atas adanya atau tersedianya peluang jika didahului dengan usaha. Sebaliknya, jika ketidakmungkinan telah menjadi keyakinan kokoh (set), maka usaha pasti terhenti.

Kebersyukuran (gratitude) merupakan bentuk apresiasi atas hal yang kita miliki seperti mensyukuri memiliki tempat bernaung, mensyukuri memiliki sahabat, mensyukuri berkesempatan mengikuti pendidikan tertentu bahkan mensyukuri beroleh napas kehidupan, kemampuan berpikir dan merasa.

Pengukuran rasa syukur ini dapat ditelaah melalui frekuensi (seberapa sering), intensitas (seberapa kuat), densitas (seberapa padat) dan durasi (seberapa lama).

Sebagai contoh dalam pengungkapan rasa terimakasih kita sering menyertakan bentuk sifat setinggi-tingginya atau sedalam-dalamnya; hal ini menunjukkan intensitas dan densitas apresiasi.

Ketika individu berdoa tentu ada yang berdoa dengan khusyuk, ada pula yang berdoa sekadar ritual belaka; hal ini membedakan intensitas (kekuatan) doa.

Masalahnya kondisi ini amat sulit diobservasi secara eksternal dan hanya mampu disadari oleh individu yang bersangkutan.

Jadi, fungsi kesadaran individu lah yang menjadi determinan (penentu) apakah ia sering (frekuensi) bersyukur, apakah rasa syukurnya bersifat sungguh-sungguh (intensitas), apakah rasa syukurnya disertai keyakinan yang tebal (densitas), dan apakah ia telah lama melakukan hal tersebut atau baru-baru ini saja (durasi).

Sebaliknya mereka yang tidak mengapresiasi pengalaman hidup artinya tidak bersyukur (non-gratuiting).

Kedua hal tersebut di atas (ketidakberdayaan dan kebersyukuran) memiliki kontribusi besar pada munculnya pengalaman distress.

Penelitian yang berlangsung atas 210 mahasiswa usia 18-25 tahun (155 perempuan dan 55 laki-laki) dengan menggunakan kuesioner Distress Psikologi (K10), ketidakberdayaan atau hopelessness (BHS), dan kebersyukuran atau gratitude (GQ-6) menunjang hipotesa bahwa semakin tinggi ketidakberdayaan semakin tinggi distress psikologis, sebaliknya semakin tinggi kebersyukuran semakin rendah distress psikologis.

Adapun tiga masalah utama distress mereka adalah pendidikan (28 persen), keluarga (21 persen), dan keuangan (17 persen).

Masalah pekerjaan menempati urutan ke 4 sebesar 15 persen. Hal ini tampaknya berlaku bagi mereka yang kuliah sambil bekerja.

Adalah penting untuk dicermati lebih lanjut bahwa kebersyukuran tidak hanya berpotensi mengurangi distress, tetapi juga berpotensi menurunkan emosi negatif secara umum. Emosi negatif misalnya kesal, muak, dan benci.

Sebaliknya, rasa syukur turut berkontribusi dalam meningkatkan kebahagiaan, kesejahteraan, harga diri, sikap optimistis, serta kesediaan untuk membantu orang lain.

Jadi, kebersyukuran analog dengan penawar tekanan psikologis kehidupan. Lalu bagaimana penawar ini bisa berfungsi dengan baik, tentunya melalui kesadaran individu untuk sering mensyukuri kehidupan secara sungguh-sungguh dan dengan penuh keyakinan, bukan sekadar ritual ucapan atau tindakan.

Seperti halnya obat medis membutuhkan waktu dalam proses penyembuhan rasa sakit, kebersyukuran juga membutuhkan waktu (durasi) untuk menjadi penawar beban psikologis; dan dalam berproses ini tentunya membutuhkan kesabaran.

Akhirnya perlu kita sadari bersama bahwa ketidakberdayaan merupakan hal yang tidak berguna karena tidak memiliki potensi apapun untuk mengubah distress.

Hal yang tidak berguna sebaiknya dibuang atau diabaikan saja. Sebaliknya, kebersyukuran memiliki potensi membantu mengatasi distress, walaupun adakalanya membutuhkan waktu agak lama untuk bisa membuahkan hasil.

Oleh karena itu, syukurilah berbagai hal yang telah kita dapati, dan bersabarlah agar berbagai hal lainnya tidak menjadi beban berarti dalam kehidupan yang penuh dengan tantangan.

*Frida Condinata (Mahasiswa Magister Psikologi Profesi UNTAR)
Dr. Monty P.Satiadarma (Dosen Fakultas Psikologi UNTAR)

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/03/03/070000120/tingkatkan-rasa-syukur-hilangkan-rasa-ketidakberdayaan-atasi-distress

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke