Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pernikahan Dini yang Tidak Dinantikan

“Negara kok ribet amat sih ngatur usia pernikahan? Kalau udah sama-sama cinta dan saling yakin, siapa takut?”

BEGITU ujaran sekumpulan remaja yang nampaknya masih berada di tingkat awal semester di salah satu perguruan tinggi.

Pemerintah Indonesia jelas mengatur usia pernikahan yang diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 bahwa, “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.”

Lalu kenapa usia begitu pentingnya diatur oleh negara? Baru-baru ini ada satu film yang dapat dijadikan contoh untuk penggambaran pernikahan dini, yaitu “Ginny and Georgia”.

Banyak orang mengatakan film itu merupakan cerita kehidupan seseorang yang nyata, lalu dikemas sedemikian rupa agar menciptakan alur yang menarik dan dapat dinikmati oleh banyak orang.

Digambarkan mengapa usia itu menjadi salah satu indikator kelayakan pasangan dapat menikah.

Dalam film tersebut, diceritakan bahwa ada seorang ibu muda, yang mempunyai anak berusia remaja. Ia sendiri mengalami pernikahan diri sewaktu usianya 15 tahun.

Saat ini suaminya sudah meninggal, sehingga ia terpaksa harus mengasuh dua anak yang masih berusia remaja.

Selanjutnya film ini mengisahkan bagaimana perjalanan sang ibu dalam membesarkan anak-anaknya tersebut.

Seperti juga yang sudah diberitakan di Kompas tanggal 1 Februari 2023, bahwa kasus perkawinan anak terus bertambah di Indramayu dan juga daerah lain di Indonesia. Pengadilan Agama Indramayu menerima 572 pengajuan dispensasi untuk menikah.

Dispensasi pernikahan anak adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah, walau anak tersebut belum mencapai batas minimum usia pernikahan, yaitu 19 tahun.

Anak-anak tersebut menikah pada umumnya karena sudah mengalami hamil terlebih dahulu, sehingga terpaksa dinikahkan. Ada juga karena faktor ekonomi dan kemiskinan, sehingga lebih baik dinikahkan.

Dampak dari pernikahan dini ini pada umumnya adalah kekerasan dalam rumah tangga dan/atau perceraian.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan suatu pernikahan di antaranya:

Pertama, faktor usia. Idealnya orang menikah ketika mencapai usia dewasa. Usia sangat erat dengan tahap perkembangan sesorang, mulai dari perkembangan fisik, kognitif, psikososial, emosi dan moral.

Menurut Erikson (salah satu tokoh Psikologi Perkembangan), remaja sedang berada dalam tahap Identity versus Identity Confusion. Di mana sesorang sedang berusaha mencari jawaban untuk dirinya sendiri, siapa saya, masa depan saya akan menjadi seperti apa, apa tujuan hidup saya.

Proses berpikir sedang diasah agar remaja dapat mempersiapkan diri, agar di fase perkembangan selanjutnya ia dapat menjadi pribadi yang matang dalam mengambil keputusan.

Banyak keputusan yang ia buat bahkan untuk dirinya sendiri, bukan berdasarkan pertimbangan matang, melainkan berdasarkan trial and error. Kadang bisa jadi penyelesaiannya benar, kadang emosi lebih memengaruhi keputusannya ketimbang faktor logika.

Kedua, faktor pendidikan atau sekolah. Ada peribahasa menyebutkan bahwa ‘kejarlah ilmu setinggi-tingginya’.

Dalam film yang penulis sebutkan di atas, diceritakan bahwa sang ibu terpaksa tidak menyelesaikan tingkat pendidikan SMA-nya.

Tanpa bermaksud mengatakan bahwa lulusan Diploma, Sarjana, Master atau Doktoral pasti lebih baik dalam mengurus anak. Namun, semakin tinggi pendidikan yang kita bisa capai, mendukung kita untuk mempunyai lebih banyak wawasan yang kita miliki.

Semakin kompleks permasalahan yang kita harus hadapi di jenjang Pendidikan, membuat kita terbiasa untuk mengambil keputusan dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap keputusan yang kita ambil.

Bukan hanya itu, di sekolah kita bertemu dengan sebagian kecil komunitas masyarakat tempat kita tinggal, kita dihadapkan pada aturan yang harus dipatuhi.

Sekolah mengajarkan kita bagaimana harus berinteraksi secara tepat dengan berbagai karakter orang, serta bagaimana kita menjalankan aturan di masyarakat agar tidak merugikan banyak pihak.

Wawasan seseorang adalah salah satu aspek kecerdasan yang membedakan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan persoalan.

Penulis masih ingat satu adegan dan dialog yang menarik dalam film tersebut, ketika sang anak mengatakan “saya tahu yang kamu lakukan itu baik untuk saya, tapi setidaknya lakukanlah dengan cara yang benar.”

Ketiga, faktor keluarga. Keluarga merupakan bentuk lain selain sekolah, yaitu pendidikan non-formal yang memiliki peran sangat besar.

Keluarga memberikan contoh dan ilmu bagaimana seseorang dapat berperilaku secara adaptif. Sedari kecil pasti kita akan dihadapkan pada situasi-situasi yang tidak menyenangkan, dalam hal ini orangtua memiliki peran sangat besar memberikan contoh bagaimana cara yang tepat untuk mengatasi situasi yang tidak menyenangkan maupun sebaliknya.

Keluarga merupakan ‘sekolah’ non formal yang memiliki aspek paling penting untuk mendampingi setiap individu, dalam melewati krisis setiap tahap perkembangannya.

Dalam keluarga anak belajar bagaimana mengekspresikan dan menerima afeksi yang tepat. Keluarga juga mengajarkan bagaimana Anda menghadapi dan menyelesaikan konflik, bahkan dengan orang yang paling dekat sekalipun.

Intinya keluarga memberikan contoh yang mempermudah anak dalam menyelesaikan persoalan secara adaptif. Keluarga membentuk karakter anak dengan berbagai pengalaman yang diperoleh anak.

Kesimpulannya adalah menjalani peran baru sebagai orangtua bukanlah perkara mudah, terlebih pada orangtua yang masih berusia remaja.

Pernikahan merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Kita tidak lagi bertanggung jawab untuk diri sendiri, melainkan bertanggung jawab juga terhadap kehidupan orang lain sepanjang hidupnya, yaitu anak.

Maka pernikahan pada usia remaja seharusnya dapat dihindari. Peran kontrol diri sendiri, orangtua, teman, dan lingkungan masyarakat sangat penting, sehingga menjaga anak dan remaja tetap berperan sesuai dengan usianya.

Menjadi orangtua muda bukanlah pilihan yang ideal, seharusnya remaja dapat mengembangkan diri, produktif, serta berprestasi di sekolah dan di masyarakat.

Tentunya peran pemerintah dalam hal ini sangat krusial, karena salah satu pemicu remaja menikah muda adalah permasalahan ekonomi atau kemiskinan.

*Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/03/06/112158620/pernikahan-dini-yang-tidak-dinantikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke