Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Intensi Membeli Pakaian Bekas Pakai

SIAPAKAH konsumen pembeli baju fesyen bekas pakai? Tidak banyak penelitian akademis yang mengungkap karakteristik konsumen khusus ini.

Di balik maraknya bisnis baju fesyen bekas pakai tentu tidak lepas dari perkembangan industri fesyen dunia.

Sebagaimana dilansir Fashion United (2020) pasar pakaian global bernilai sekitar 3 triliun dollar AS dan diperkirakan akan tumbuh menjadi salah satu industri terbesar di dunia.

Dunia fesyen dikenal sangat dinamis dan cepat berubah. Apa yang menjadi gaya hari ini bisa dengan cepat menjadi gaya kemarin. Konsumen mengubah gaya dengan membeli fesyen terbaru. Industri fesyen terus berproduksi seolah berpacu dengan waktu.

Sebelum pandemi Covid-19, produksi sandang diperkirakan meningkat 100 persen sejak tahun 2000 dan menghasilkan 92 juta ton limbah tekstil setiap tahun (Jones dan Yu, 2021).

Sebuah laporan menunjukkan bahwa terdapat 500.000 ton serat mikro dibuang ke laut dari aktivitas pencucian pakaian (McFall-Johnsen, 2019).

Produksi celana jeans membutuhkan satu kilogram kapas, dan produksi satu kilogram kapas membutuhkan sekitar 10.000 liter air, yang setara dengan sepuluh tahun air minum seseorang (Jones dan Yu, 2021).

Selain pencemaran limbah, industri fesyen juga dianggap bertanggung jawab atas sekitar 10 persen emisi karbon global (Ro, 2020), dan diperkirakan emisi akan meningkat sebesar 60 persen pada 2030, menyebabkan polusi udara yang serius.

Misalnya, kain yang paling umum digunakan untuk pakaian adalah polimer sintetik poliester, dan produksi serat poliester menyebabkan pencemaran udara yang tidak ringan (Ro, 2020).

Selanjutnya, penguraian poliester membutuhkan setidaknya ratusan tahun, yang tidak ramah lingkungan.

Pelepasan produk sampingan yang berbahaya sebagai akibat dari proses manufaktur tekstil ke lingkungan telah menjadi masalah global.

Di Malaysia, limbah tekstil menyumbang 4 persen dari total limbah. Jumlahnya setara dengan menghasilkan 1.000 metrik ton limbah tekstil setiap hari, dan jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah (Wai Yee et al., 2016).

Konsumen peduli lingkungan

Di antara sekian banyak konsumen fesyen mulai tumbuh konsumen yang peduli lingkungan. Mereka mulai mengalihkan konsumsi ke mode sekali pakai bahkan perlahan ke pakaian fesyen bekas pakai (Ferraro dan kawan-kawan, 2016).

Sejumlah akademisi menyarankan bahwa membeli pakaian bekas merupakan solusi efektif untuk mengatasi limbah tekstil dan meminimalkan polusi. (Khurana dan Tadesse, 2019)

Mungkin ini telah menjawab sebagian karakteristik konsumen yang biasa membeli pakaian fesyen bekas pakai, selain tentu saja bagi mereka yang mengincar pakaian berharga rendah namun dengan tampilan yang trendi dan modis.

Selain itu, konsumen berpenghasilan tinggi juga tertarik membeli pakaian bekas untuk memenuhi kebutuhan mereka akan eksklusivitas. Terdapat model tertentu yang dianggap “vintage” dan menjadi daya tarik tertentu.

Belum lagi bagi sebagian kalangan muda yang menganggap membeli pakaian bekas sebagai wujud kepedulian mereka terhadap lingkungan dan kecintaan mereka terhadap pakaian “retro”.

Terbentuknya segmen pasar khusus ini telah menggairahkan pasar “second”. Diperkirakan penjualan pakaian bekas dapat mencapai hingga 80 miliar dollar AS pada tahun 2029 (Kian, Chee & Hui, 2021).

Industri pakaian bekas berkembang pesat karena peningkatan baik dari sisi penawaran dan permintaan. Konsumen termotivasi oleh harga barang bekas yang terjangkau sementara penjual dapat memperoleh keuntungan dengan menjual pakaian bekas (Armstrong dan Taman, 2020; Gopalakrishnan dan Matthews, 2018).

Biasanya, pakaian bekas bisa dibeli di berbagai tempat, termasuk toko konsinyasi, pasar loak, toko daring, dan toko barang bekas.

Intensi membeli

Menurut Roux dan Guiot (2008), intensi konsumen berbelanja barang bekas secara umum bisa dibagi menjadi dimensi ekonomi (harga murah) dan rekreasi (barang retro dan “vintage”).

Seo dan Kim (2019) menemukan bahwa niat konsumen untuk membeli pakaian bekas di toko barang bekas dipengaruhi sikap mereka terhadap mode bekas.

Hasil penelitian lain mengidentifikasi kontaminasi risiko, sensitivitas harga, dan ekspresi diri sebagai tiga faktor utama yang memengaruhi kaum muda mahasiswa untuk membeli pakaian bekas (Yan dan kawan-kawan, 2015).

Liang dan Xu (2018) mengungkapkan bahwa alasan konsumen di China membeli pakaian bekas berbeda-beda di berbagai generasi, seperti Post-60-an, Pasca-70-an, Pasca-80-an, dan Pasca-90-an.

Berkaca pada uraian ini maka “keriuhan” yang terjadi mengenai impor pakaian bekas yang sesungguhnya telah dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Permendag Nomor 18 Tahun 2021, akan memiliki banyak implikasi, tidak hanya bagi konsumen tetapi juga pelaku bisnis yang sebagian adalah usaha kecil dan menengah.

Walau termasuk ceruk pasar (niche market), namun tetap menguntungkan karena berpotensi terus tumbuh.

Kepentingan yang lebih besar dan mendesak seharusnya menjadi prioritas untuk meminimalkan efek negatif yang mungkin terjadi.

Isu-isu peduli lingkungan tampaknya menjadi faktor pembeda yang positif bagi kelangsungan industri pakaian bekas ini.

*Dosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/03/24/100000020/intensi-membeli-pakaian-bekas-pakai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke